Bara & Moria

14 1 0
                                    

Wanita itu termenung menatap selembar kertas yang disodorkan suaminya barusan. Sejenak ia menatap pria yang tengah duduk di hadapannya, tak menunjukkan sedikitpun rasa bersalah. "Kenapa Mas?" suara wanita itu bergetar, seperti menahan seluruh getir yang seolah mencambuknya tanpa ampun.

"Harta gono-gini sudah saya atur, kamu hanya perlu tanda tangan surat cerai itu," ucapnya alih-alih menjawab pertanyaan istrinya.

"Mas Bara, saya tanya kenapa? Kenapa Mas tiba-tiba minta cerai? Salah saya apa?" tangan wanita itu telah mengepal begitu keras di balik meja, kukunya menancap di telapak tangannya, tapi sama sekali tak mengalahkan atau sekedar mengalihkan nyeri didadanya.

"Moria, saya punya wanita lain," tukas Bara tanpa ragu.

Seolah ratusan belati menghujamnya di waktu bersamaan, Moria tak lagi mampu mendefinisikan perihnya. Rumah tangga yang sudah dibangun selama ini, kini berada di ujung jurang kehancuran hanya karena wanita lain?

Memang sebulan belakangan suaminya tampak berbeda, ia sering pulang larut malam, bahkan tak jarang juga ia memilih untuk tidak pulang, ia juga tidak menyentuh makanan yang Moria buat untuk sarapan.

Namun, Moria bukan wanita bodoh yang akan langsung kalut diliputi emosinya. Ia sebenarnya tidak percaya begitu saja dengan apa yang dikatakan Bara. Wanita lain? Yang benar saja? Moria ingat betul betapa Bara memujanya sebelum ia berubah.

Moria meraih dokumen di hadapannya, ia melihat surat cerai yang telah ditanda tangani oleh Bara, lalu ia membaca rincian harta gono-gini pada kertas lainnya.

"Saya mau tandatangani ini, tapi nggak sekarang, Mas."

Kedua alis pria itu bertaut. "Moria, saya nggak bisa nunggu lebih lama, cepat atau lambat kita harus bercerai."

"Satu bulan. Kasih saya waktu satu bulan, Mas. Saya janji akan tanda tangan terhitung satu bulan mulai hari ini, tapi dengan satu syarat."

"Saya mohon jangan memperumit keadaan, kamu butuh apa lagi, Moria?"

Wanita itu tampak menunduk sejenak sebelum menjawab, ia memilin ujung pakaiannya seolah ia sedikit ragu, lalu ia mendongak dan menatap manik mata suaminya, ya, setidaknya Bara masih suaminya. "Saya mau selama sebulan Mas Bara sarapan dan makan malam di rumah, sama saya."

Sejak hari itu mereka tidur di kamar terpisah. Namun, nyatanya tidak sulit membuat Bara mengikuti kemauannya. Di minggu pertama mereka berdua hanya makan bersama dalam hening, sesekali Moria bertanya tentang rasa masakannya, tapi Bara hanya berkomentar seadanya. Dan saat Moria menanyakan, "Mas mau makan apa malam ini?" Bara hanya akan menjawab, "Terserah." Pernah dua kali Bara pulang larut namun Moria tetap menunggunya untuk makan malam sampai ia ketiduran di sofa ruang tamu.

Minggu kedua tidak jauh berbeda dengan minggu pertama, ia berkomentar seadanya dan tidak ada permintaan menu makan untuk Moria. "Besok saya berangkat dinas ke Bali, dua hari. Saya nggak bisa sarapan dan makan malam sama kamu," ucap Bara setelah mereka selesai makan malam hari itu.

Moria memaksakan sebuah senyum, "Nanti biar saya bantu packingnya, Mas." Bara hanya mengangguk.

Minggu ketiga, Bara mulai merequest menu makanan pada Moria, bahkan ia tak lagi ragu memberikan pujian. Pada satu malam, ia masuk ke kamar Moria. Bara melihat moria sudah tidur, ia menghampirinya dan memposisikan dirinya disamping Moria dan memeluknya. "Kalau permintaan kamu begini, gimana saya bisa lepasin kamu? Kamu buat saya semakin sulit lepasin kamu, Moria, tapi saya benar-benar nggak mau egois," bisiknya lirih.

Minggu keempat. Meja makan yang di minggu-minggu sebelumnya penuh keheningan, kini terasa lebih hangat dengan obrolan santai mereka berdua. Bara bahkan tak ragu memeluk Moria dari belakang dan meletakkan dagunya di bahu istrinya ketika wanita itu memasak. "Mas kamu kayanya makin kurus ya, hari ini makan yang banyak ya, hm?"

"Iya, sayang," ucapnya dengan diiringi kecupan di pipi Moria.

Sampai dimana tepat satu bulan sejak hari dimana Bara meminta cerai. Namun tampaknya Bara tak lagi mengingat soal itu. Kini keduanya sedang duduk santai di balkon, ditemani sebotol anggur. Bara terus menyesap anggur itu sampai ia tak lagi sepenuhnya sadar, ia mulai merasa pusing, mual dan pengar.

Tanpa ia duga, Moria menyodorkan sebuah dokumen pada Bara. "Ini... apa?" tanya Bara dengan mata menyipit namun tidak benar benar bisa membaca dokumen itu.

"Surat cerai, Mas."

Bara hanya menatap Moria penuh tanya.

"Surat waktu itu saya sobek, jadi Mas Bara perlu tanda tangan lagi disini," ucap wanita itu sambil menunjuk kolom tanda tangan.

"Saya pikir kamu... sudah.. berubah pikiran..." ucap pria itu sembari meraih tangan Moria dan menggenggamnya. Tatapannya tampak sayu.

"Nggak, Mas. Saya sudah janji hanya satu bulan," jawab Moria sebelum menarik tangannya dari genggaman Bara.

"Moria... apa saya... boleh... egois?"

Moria menggeleng. Sedangkan Bara tertawa getir, meski ia mabuk, ia masih ingat alasannya menggugat cerai istrinya. "Ah... iyaaa.. sejauh ini saya sudah menyulitkan kamu... saya tidak.. mau lagi..." Lalu ia meraih bolpoin yang disodorkan Moria dan menandatangani surat itu. Tak lama setelah itu ia merasa kesulitan bernapas lalu tak sadarkan diri.

"Saya tahu betul Mas Bara tidak berselingkuh, Mas hanya sekarat dan saya hanya sedikit membantu mempersingkat penderitaan Mas Bara. Terimakasih Mas, sekarang seluruh harta dan perusahaan Mas Bara jadi milik saya."

"

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
One Shot StoryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang