Jonathan & Velibra

11 1 1
                                    


"Dimana?" tanya sebuah suara di ujung telepon. Gadis itu memindahkan ponselnya dari telinga kanan lalu menempelkannya di telinga kirinya.

"Di danau," jawabnya singkat dengan nada lirih.

"Loh ngapain?"

"Berenang sambil mancing," jawab gadis itu asal.

"Ga sekalian sambil buang air?"

"JO!!!"

"Iya iya yaampun bercanda, Vel. Tumbenan banget lo minta jemput jam segini, udah kelar emang di lab?" cerocosnya hingga membuat gadis itu memutar bola matanya dengan malas dan memilih untuk tidak menjawabnya. "Gausah dijawab, tunggu ya, sebentar lagi gue sampe," lanjut lelaki itu.

"Hmm," gumam Velibra sebelum menutup sambungan telepon itu. Ia menarik napas panjang dan menghembuskannya dengan gusar. Berharap semua beban yang kini ia punya akan ikut pergi bersama karbondioksida yang ia lepaskan.

"Sendirian aja neng?" sebuah suara membuat Velibra menoleh. Lelaki itu datang dan langsung duduk di samping Velibra, di sebuah kursi panjang di tepi danau kampus.

"Basi tau," jawabnya dengan ketus.

"Yeee galak banget sih, lama-lama lo gue kandangin deh biar jinak," ucap Jonathan seraya mengunci leher gadis itu dengan sikunya.

"Ih sakit dodol!" pekik Velibra dengan sedikit meronta.

Lelaki itu terkekeh ringan dan melonggarkan rangkulannya namun tetap membiarkan lengannya bertengger di bahu gadis itu.

Jonathan memerhatikan gadis itu dengan seksama, menunggu sang empu membuka suara untuk menumpahkan semua beban dan keluh kesahnya. Ia tahu betul gadis itu sedang ingin mengeluh, tapi ia juga tahu bahwa gadis itu tidak ingin membebani orang lain dengan keluhannya.

"Kenapa, hm? Pasti capek ya?" lelaki itu akhirnya membuka suara sebab sejak tadi sang gadis lebih memilih bungkam. Velibra tampak menghela napas dan menunduk. "Hey, loh kok nangis?"

Gadis itu langsung mendongak dan menatap Jonathan. "DIH SIAPA YANG NANGIS?? NIH LIAT NIH GUE GA NANGIS!!!" ucapnya sambil melebarkan matanya, menunjukkan bahwa ia tidak menangis. Sedangkan Jonathan tersenyum simpul.

"Terus kenapa matanya keliatan berkaca-kaca gitu?"

"Itu karna gue nguap tapi ga mangap tau, bukan karna nangis," elak gadis itu.

"Alesan."

"Gak percaya yaudah," gerutunya sembari menepis lengan Jonathan dari bahunya. Ia lagi-lagi memberengut.

"Oke, oke, sekarang serius. Hari ini kenapa? Ada yang bikin sebel, hm?" tanya lelaki itu dengan lembut dan mengusap puncak kepala Velibra.

"Boleh cerita?" tanyanya sedikit ragu.

"Ya boleh dong."

"Tapi jangan bilang mama papa ya?"

Jonathan mengangguk dan membenarkan posisi duduknya sebelum mendengarkan curhatan gadis itu.

"I know that everything happened for a reason, but what the fucking hell for all the things that I've been through so far. Jujur aja gue capek, seolah hidup gue udah didikte dari awal. Gue cuma kayak jalan di jalan yang emang udah di sediain, tanpa bisa nyoba belok di persimpangan atau jalan setapak, gue gatau apa yang ada di luar sana. Gue bener-bener pengen ngelakuin apa yang gue suka, Jo. Oke selama sekolah gue ngelakuin apa yang harusnya gue lakuin, tapi kenapa pas kuliah gue gabisa milih jalan gue sendiri? Empat tahun gue kayak robot yang cuma bakal ngejalanin perintah. Bahkan sampe penelitian skripsi gue pun, bukan hal yang gue suka. Entah gue yang terlalu bodoh atau emang yang gue ambil tuh terlampau susah, hari ini gue gagal lagi dan harus ngulang ganti metode, di saat temen temen gue yang lain satu per satu sidang dan lulus. Gue takut ngecewain dan gabisa banggain mama sama papa, tapi nyatanya gue udah kecewa sama diri sendiri."

Kedua sudut bibir Jonathan tampak terangkat, ia tersenyum melihat gadis itu akhirnya menumpahkan sebagian keluh kesahnya. Mungkin itu belum seberapa dibandingkan seluruh beban yang sebenar-benarnya ia tanggung, yang mungkin bahkan jika diibaratkan danau di depan mata mereka tak mampu menampungnya.

"Lo pernah denger cerita tentang Raja dan Prajuritnya ngga?" tanya lelaki itu alih-alih menanggapi curhatan Velibra.

Gadis itu menoleh dan menggeleng.

"Jadi, ceritanya ada seorang raja yang hebat, kuat, tangguh, fisiknya juga rupawan, bisa dibilang sempurna lah. Nah si raja punya satu prajurit yang dia percaya banget karena orangnya jujur, ga serakah dan selalu bersyukur. Suatu hari, si raja ngajak prajurit itu buat berburu di hutan. Tapi tanpa sengaja, senjata si prajurit ngelukain si raja waktu berburu, jari si raja sampai putus. Nah si raja murka dong karena fisiknya jadi cacat padahal dia seorang raja. Gara-gara kecelakaan itu, si raja minta prajurit itu buat dipenjara. Tapi anehnya si prajurit tetap mengucap syukur meskipun ia dipenjara.

Gadis itu mengernyit mendengar pemaparan kisah yang diceritakan Jonathan, menerka-nerka alur yang akan terjadi selanjutnya.

"Di lain hari, si raja berburu lagi ke hutan tapi sendirian. Celakanya, si raja justru diculik orang-orang suku pedalaman dan semacam mau dijadikan tumbal. Prosesi penumbalannya tuh ga main-main, karena mereka bakal membakar hidup hidup si tumbal alias si raja. Tapi, waktu si raja mau dilempar ke kobaran api, salah satu dari mereka sadar sesuatu. Ternyata si raja fisiknya ga sempurna, dia cacat, jari tangannya ga lengkap. Sedangkan syarat tumbal untuk mereka adalah seseorang yang fisiknya sempurna. Akhirnya dia dibebasin dan balik ke istana.

"Sesampainya di istana, dia langsung pergi ke penjara dan minta buat bebasin si prajurit yang sebelumnya dia percaya banget. Si prajurit lagi-lagi mengucap syukur, sedangkan si raja berterimakasih dan meminta maaf karna sudah memenjarakan si prajurit. Lalu si raja bercerita tentang penculikannya, sedangkan si prajurit semakin banyak mengucap syukur, sebab kalau si raja tidak memenjarakannya dan ia ikut berburu hari itu, maka si prajuritlah yang bakal jadi tumbal.

"Intinya, memang kita ga akan selalu ngerti cara kerja alam semesta, Vel. Inti dari paragraf aja bisa di awal, di tengah atau bahkan di akhir kan? Kalo misal lo ga punya alesan buat jalan maju, seenggaknya lo ga punya alesan juga buat mundur dan nyerah, jadi lo bakal tetep bisa jalan meskipun pelan-pelan. Sabar ya, satu per satu, nanti juga kelar, oke?"

Tanpa sadar gadis itu menitikkan air matanya setelah mendengar tutur kata Jonathan. Saat ini gadis itu tak sanggup menanggapi apapun.

Dengan perlahan, Jonathan menarik tubuh mungil gadis itu dalam rengkuhan peluknya. Membelai surai hitam Velibra dengan lembut. "Apapun yang lo lakuin, please lakuin itu karena diri lo sendiri, jangan karna orang lain. Selesaikan apa yang udah lo mulai, dengan gitu lo bisa milih hal lain yang lo suka buat lo mulai lagi setelah semua ini selesai."

"Makasih, Jo," ucap gadis itu lirih ditengah isaknya.

"Lo hebat banget udah jalan sejauh ini, gue ga yakin orang lain bisa sanggup kalo jadi lo. Gue bangga liat perjuangan lo selama ini. Jangan nyerah ya? Gue selalu ada di belakang lo buat dukung lo."

"Makasiiihhh banyak banyak banyak, Bang Jo."

Ujung kalimatnya membuat lelaki itu menghentikan gerakan tangannya pada rambut gadis itu. Ia langsung tersadar sesuatu.

"Vel, andai lo bukan adik tiri gue... Gue bakal jagain lo bukan sebagai abang lo, tapi sebagai laki-laki yang sayang sama lo," batinnya.

 Gue bakal jagain lo bukan sebagai abang lo, tapi sebagai laki-laki yang sayang sama lo," batinnya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
One Shot StoryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang