Aku terbangun dari tidurku, semalam aku mengamati Carl sedang memisahkan beberapa dokumen milikku, seketika mengingat akan hal itu, aku hendak beranjak dari tempat tidur untuk memeriksa apakah ada beberapa dokumen yang Carl ambil atau kemungkinan lainnya, walau dokumen itu hanya sebagian besar berisikan tentang pengurusan mansion ini, mulai dari pemasukan, pengeluaran, biaya perbaikan, dan data tamu yang menginap bahkan kejadian apa saja yang terjadi di restoran kemarin juga tertulis sebagai laporan, karena restoran memang terkenal sebagai tempat yang tepat untuk menemukan atau mencari sebuah informasi mulai dari informasi biasa hingga informasi rahasia. Maka dari itu aku membuka usaha ini, untuk semakin memudahkanku dalam pekerjaanku.
Saat aku akan bangun dari posisiku ini, tubuhku tertahan sesuatu yang berat. Benda itu melingkar nyaman di pinggangku, dan benda itu adalah lengan Carl. Carl masih tertidur dengan posisi memelukku dengan nyaman dan kepalanya bersembunyi di leherku, dengan jarak seminim ini aku dapat mendengar dengkuran kecil Carl, dan tentu saja tidak terlewatkan hembusan nafas Carl yang hangat terasa di leherku.
Melihat wajahnya yang tertidur pulas kelewat tampan dan menggoda, membuatku melupakan niat untuk mengecek dokumenku yang berada di meja. Aku masih setia mengamati wajah tenangnya yang damai itu, sesekali mengusap lembut rambut hitam pekatnya dan mencium wangi aroma sampoku sendiri sebenarnya lucu untukku, namun aromanya berbeda jika Carl yang menggunakan sampoku. Aromanya wangi namun memikat. Dan tak terlewat pula aku diam – diam menciumi bibir Carl yang sangat menggoda untukku, saat aku berniat untuk melumat bibirnya. Mataku fokus ke luka di bibir Carl, luka itu karena ulahku. Aku memutuskan untuk mengecup pria tampan ini yang sebenarnya sudah menjadi milikku, karena Carl adalah suamiku sekarang. Ketika aku mengecup lembut bibirnya, Carl sedikit merintih. Apakah masih terasa sakit?
Carl : Pagi..., sapa Carl. Apa aku membangunkannya?
Aku : Pagi, Arl., jawabku.
Aku : Apa aku membangunkanmu, Arl?, ucapku bertanya spontan.
Carl : Aku sebenarnya sudah bangun dari tadi, tapi aku masih nyaman untuk beranjak dari posisi ini, apalagi dihujani ciuman darimu., jawab Carl menjelaskan.
Aku : Menyebalkan, aku kira kau masih tertidur?, gerutuku.
Carl : Hahahaa... Ada apa?, tanya Carl tiba – tiba setelah tertawa ringan tadi.
Aku : Apanya?, tanyaku. Bukannya menjawab malah tanya balik.
Carl mengubah posisinya, kini Carl menghadap samping padaku sambil menyangga kepalanya dengan tangan kirinya, sedangkan tangan kananya masih setia memeluk pinggangku.
Aku : Mau aku obati?, tanyaku sambil menyentuh luka di bibirnya.
Carl : Tidak perlu, ini menggemaskan. Seperti gigitan kucing kecilkan?, jawab Carl.
Aku : Kau menghinaku?, tanyaku tersungging, eh.. tersinggung.
Carl : Hahaha, kau kecil sekali Nal. Lihatlah, memelukmu seperti membungkusmu, sayang.
Aku : Arl... berhenti tertawa., omelku.
Carl : Ayolah, ini pagi yang ceria bukan?, ucap Carl.
Aku : Ceria? Sejak kapan tiran pembunuh brutal sadis sepertimu bisa menyukai suasana ceria?, tanyaku penasaran namun sedikit mengejeknya.
Carl : Semenjak aku memiliki istri, tentu saja, jawab Carl halus.
Aku : Hahaha... hanya karena Istri? Bukankah, akan banyak yang mengantre jika kau membuka jubah hitam besar yang sering kau pakai itu?, ejekku lagi.
Carl : Perempuan mana yang bisa tahan darah?, ketus Carl.
Aku : Aku?, jawabku spontan.
Carl : Itulah yang membuatmu menarik., kata Carl setuju.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Two Mysterious Black
FantasíaSejak kecil keberadaannya selalu dihiraukan, bahkan oleh sang ayah. Menjalani kehidupan seorang diri, di mana tempat ia menginjakan kakinya memiliki segunung rahasia akan kelahirannya... Lambat laun beranjak dewasa dengan caranya sendiri, dan ketika...