Freund

19 12 1
                                    

Pagi hari ini, Ae-Cha sudah bersiap-siap berangkat kesekolah. Ia, Yeri, Bibi dan Pamannya sedang duduk dimeja makan sambil memakan makanan yang tersedia. 

"Yeri, bagaimana nilaimu disekolah?" Bibi Park bertanya pada Yeri.

"Ya begitulah". Ucap Yeri sambil mengangkat bahunya.

"Yeri, kau tidak boleh menyepelekan nilaimu jika ingin masuk ke Universitas Seoul yang kau inginkan. Untuk masuk ke Universitas itu harus mempunyai nilai yang sangat bagus". Kini Paman Park yang berbicara.

"Baiklah Appa, aku akan belajar bersungguh-sungguh mulai sekarang". Balas Yeri memelas. Ae-Cha yang berada dilingkup keluarga itu hanya menyimak dengan diam. Sejujurnya Ae-Cha tidak suka jika mereka membahas hal seperti itu didekat Ae-Cha. Karena jika membahas tentang nilai, Yeri sangat protektif padanya. Mungkin bisa saja Yeri merasa nilainya tidak lebih bagus dari Ae-Cha. Walaupun memang itu kenyataannya.

"Sudahlah, ayo berangkat". Ajak Paman Park pada putrinya, Yeri.

"Baiklah Eomma, aku berangkat". Pamit Yeri pada ibunya. Yeri menyusul Ayahnya yang sudah menunggu diluar.

"Ae-Cha, sebelum kau berangkat cucilah semua piring kotor terlebih dahulu". Bukan hal yang jarang bibinya yang selalu menyuruh Ae-Cha untuk mencuci piring dirumahnya. Peran Ae-Cha dirumah itu sudah seperti pembantu. Ae-Cha tau jika dia harus membantu Bibinya mengerjakan pekerjaan rumah tangga karena dia juga tinggal dirumah itu. Tapi dipikiran Ae-Cha mengapa bibinya suka sekali menyuruh diwaktu yang tidak pas. Seperti sekarang, Bibinya menyuruhnya untuk mencuci piring yang kotor disaat dia harus segera berangkat kesekolah.

"Bibi, maaf Ae-Cha tidak bisa. Ae-Cha harus berangkat sekarang, jika tidak Ae-Cha akan tertinggal Bus".

"Apa kau melawan Bibimu?"

"Bukan begitu, tapi-".

"Seharusnya kau berterima kasih padaku karena sudah memberimu makanan!". Marah Bibi Park terlalu berlebihan pada Ae-Cha.

"Baiklah Bibi, akan kulakukan". Ae-Cha menuju wastafel dan mencuci piring-piring kotor yang sudah menumpuk. 

Setelah beberapa waktu, Ae-Cha melihati jam tangannya yang sudah menunjukkan pukul 7:20 yang saatnya waktu bus itu untuk datang di halte tempat pemberhentiannya. Dengan cepat Ae-Cha membilas piring-piring itu hingga selesai lalu ia segera mengambil ranselnya dan segera pergi menuju halte bus.

Ae-Cha berlari ke halte bus agar ia tidak tertinggal oleh busnya. Sayangnya, saat Ae-Cha baru sampai bus itu sudah menghilang dan pergi dari halte itu.

Untuk meyakinkan, Ae-Cha bertanya pada seseorang yang sedang duduk di tempat menunggu bus. "Permisi, apa bus nomor 0017 sudah pergi?" 

"Ya, bus itu baru saja pergi". ucap orang itu sambil menunjuk arah bus pergi.

"Ah begitu, baiklah terima kasih". Tunduk Ae-Cha berterima kasih.

"Haruskah aku naik taksi?" Ae-Cha pun akhirnya memesan taksi untuk berangkat kesekolahnya.

"Ini paman uangnya, terima kasih". Ae-Cha keluar dari taksi dan segera berlari menuju gerbang sekolah yang saat ini hampir tertutup.

"Seonsaengnim!" Ae-Cha berteriak pada gurunya yang terlanjur menutup pagar.

"Hai Ae-Cha, kita bertemu lagi". Sapa Pak Hajoon si guru penjaga keamanan dan ketertiban sekolahnya. 

"Ssaem, saya mohon bukakan pagarnya". 

"Tidak bisa Ae-Cha, kau boleh masuk jika sudah melewati hukuman terlebih dahulu". Ae-Cha memelas, ia melihat ada beberapa murid disampingnya yang juga terlambat dan memohon pada Pak Hajoon agar dibukakan pintu pagarnya.

PossibleTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang