Part 15

582 48 1
                                    

"Hai, Ebert. Ada apa menelfonku? Oh ya maaf, aku sedang mandi tadi."

"Kau dimana?" suara Ebert terdengar khawatir. "Kemarin aku ke apartemenmu, dan penjaga disana berkata padaku bahwa sudah dua minggu kau tidak ada di apartemen."

"Ya, untuk sementara ini aku tidak tinggal di apartemenku." sahutnya merasa bersalah.

"Lalu kau tinggal dimana?"

"Di apartemen seniorku, tuan Dickson." cicitnya. Ia tahu Ebert pasti akan kaget setelah ini.

"Apa katamu?" ujarnya meninggi. Benar yang diduga Irene. "Kau tinggal bersama pria yang memberimu hutang seratus ribu euro itu?"

"Ya, Ebert."

"Kau gila, Irene!" ujarnya tak percaya. "Bagaimana bisa? Jangan bilang kau menjadi budak nafsunya?!" geramnya.

"Ebert!" kesal Irene. "Meskipun ia selalu semena-mena padaku, tapi ia tidak pernah memaksa atau melakukan hal lebih."

"Lalu kenapa kau bisa tinggal dengannya?"

"Jadi-"

"Kirimkan alamatmu sekarang! Aku menuntut penjelasan padamu!" ucapnya paksa kemudian menutup begitu saja panggilannya.

Irene menghela napas setelah sambungan terputus. Ia mengetik alamat apartemen Lucky dan bergegas mengenakan pakaian, karena ia masih menggunakan handuk saat mengangkat panggilan Ebert.

Sudah dua minggu Irene tinggal di apartemen mewah milik Lucky. Perintah Lucky yang tak bisa dibantah malam itu memaksa Irene menurutinya. Meski ada keengganan, tapi ia berpikir lagi jika ucapan Lucky tidaklah salah. Bisa saja Farrel mendatangi apartemennya mengingat apartemennya hanya apartemen sederhana yang tak memiliki penjagaan ketat.

"Kita bicara diluar." ajak Irene ketika menemui Ebert di lobby. "Kau tidak bisa masuk tanpa ijin sipemilik."

Ebert mengiyakan dan membawa Irene kedalam mobilnya yang terparkir di basement, kemudian memilih sebuah kafe yang ada disalah satu mall di pusat kota.

"Farrel menggangguku." jelas Irene setelah waitress yang mencatat pesanan meninggalkan keduanya.

"Farrel?" tanyanya dengan alis berkerut.

"Ya." angguk Irene.

"Kau bertemu dengannya lagi?"

Irene mulai menceritakan semuanya. Ambisi pria itu dan apa saja yang telah dilakukannya sampai yang terakhir saat Lucky mengakui jika ia pacarnya. Dan Irene tentu tidak menceritakan soal ciuman mereka. Bisa-bisa wajahnya memerah mengingat ciuman yang cukup bergairah malam itu. Bahkan walaupun sudah dua minggu berlalu, otaknya masih saja gagal mengenyahkan ingatan itu.

"Kenapa kau tidak pernah cerita padaku?" Ebert berucap kesal.

"Maaf. Aku pikir Farrel tidak akan segila itu."

"Kau tidak menganggapku penting ternyata." sindirnya.

"Kau marah?"

"Tentu aku marah. Harusnya aku tahu soal ini." ujarnya masih kesal. "Lalu sampai berapa lama kau tinggal bersama seniormu itu?"

Irene mengedikkan bahu. "Sampai Farrel tidak berniat menggangguku lagi. Mungkin aku perlu bicara baik-baik dengannya. Tapi tidak sekarang."

"Aku tidak yakin. Ebert itu pria gila."

"Ya, salah memang aku menerimanya sebagai kekasihku waktu itu." Irene mendesah penuh sesal.

"Kau tinggal saja denganku." ucap Ebert tiba-tiba. "Kau tidak mungkin berlama-lama tinggal dengan seniormu itu. Dia bukan siapa-siapamu. Kau sekarang terikat dengannya karena hutangmu yang belum lunas." lanjut Ebert membuat Irene berpikir.

Space Of LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang