Something -- 9

776 81 3
                                    

Setelah melalui proses pemikiran yang panjang, sekarang ia sudah berada di ruang tunggu Narita International Airport. Pemuda itu duduk termenung, dengan passport dan dokumen pendukung yang berada di tangannya, meratapi kepergiannya sendiri dari tanah kelahirannya. Menarik napas dalam-dalam pemuda itu perlahan menegakkan tubuhnya.

"Ayo kita pergi," ajak Kushina. Ia ikut beranjak, dalam hatinya bergelanyut rasa bersalah.

"Bu, bagaimana kalau aku tetap di sini ? aku berjanji akan belajar sungguh-sungguh,"safir biru itu memancarkan keseriusan.

Langkah kakinya terasa sangat berat, pikirannya kalut. Berharap kepergiannya adalah keputusan yang tepat namun apalah daya masih ada sesuatu yang tersangkut dibenaknya. Keraguan menghampiri diri pemuda itu.

Kushina tampak berpikir, sorot obsidiannya juga tampak berkaca. Dalam benak penuh gejolak, ia juga sebenarnya berat untuk berpisah dengan putra semata wayangnya untuk menuntut ilmu di Britania Raya. Terlebih untuk waktu yang cukup lama.

"Naruto, sebenarnya.. "tarikan napas Kushina terasa sesak. Bibirnya sedikit terbuka kemudian menutup kembali. Lidahnya membatu.

"Narutooooooo... "mendengar sebuah teriakan dari arah dalam bandara membuat Naruto dan Kushina menoleh bersamaan ke sumber suara. Sosok itu berlari secepat yang ia bisa untuk menggapai Naruto yang akan pergi sebentar lagi.

Gadis itu tampak tenang menghadapi situasi walaupun peluh membanjiri, tarikan napasnya teratur. Wajar saja ia tampak tenang, jarak antara parkiran bandara dan ruang tunggu ini tak seberapa jauhnya. Setidaknya, latihan fisik selama menjalani pendidikan militer satu tahun tak membuat tubuhnya cepat lelah. Sosok mungil itu kini berdiri di hadapan Naruto dan menatap dalam safir biru yang penuh tanda tanya.

Kedua alis kuning Naruto bertaut satu sama lain."Ada apa kau kemari, Hinata? Aku tidak salah lihat 'kan? "Naruto mengusak kelopak tanned-nya, safir birunya berbinar senang dan jangan lupa wajah tampan yang sumringah itu, sangat kontras dengan ekspresi wajahnya beberapa detik yang lalu.

"Tidak.. Kau tidak.. Salah lihat," Hinata menjeda per kata, mencoba mencari kata yang tepat untuk menggambarkan situasi yang ia rasakan saat ini. Netra kelabunya enggan berpaling dari mata seindah batu safir itu.

"Jangan pergi," Hinata memohon. Sebuah kalimat singkat terangkai. Samar-samar Naruto mengulas senyum lebar walau sesaat. Ia sempat melirik segan ke arah sang Ibu yang berada di sebelahnya.

"Aku sudah mendengar semuanya dari Kiba, maafkan aku," Hinata tak sanggup untuk berkata, sesak di dalam dada tak sanggup untuk ia tahan lebih lama lagi. Tubuhnya kini sudah berada dalam tubuh Naruto. Kelopak tanned itu melebar senang, tangannya spontan terulur untuk mengusap lembut helaian indigo yang bersandar di dadanya.

Kushina menatap Naruto dan Hinata secara bergantian, mencoba memahami perasaan putranya. Apakah ia akan berubah pikiran?

"Hei.. Apa kalian lupa kalau ada orang tua di sini hmm?" dengan delikan jenaka, Kushina tersenyum menggoda kepada dua sosok itu hingga dekapan itu terlerai dengan rasa canggung. Wajah kedua anak muda itu memerah.

"Jadi dia ya yang membuat langkahmu terasa berat untuk meninggalkan Jepang huh?"lanjut Kushina lagi, masih mode menggoda.

Naruto dan Hinata mengulas senyum malu. Tangan mereka saling menggenggam dengan tubuh yang menghadap ke Kushina.

"Bagaimana kalau kujawab IYA?"

Speaker bandara mulai menyuarakan pesawat tujuan ke Inggris siap untuk lepas landas. Tangan Naruto yang lain bergerak untuk merobek tiket dan beberapa dokumen yang ia pegang, tak ada ekspresi murung lagi, yang ada hanya rasa senang yang sulit untuk tergambar. Naruto tak peduli lagi dengan sekolah bisnis itu, ia akan menentukan pilihan hidupnya sendiri.

Something (End) ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang