Nasib pemeran pembantuPagi ini gue telat 20 menitan ke sekolah. Pak Andika yang lagi nerangin materi di depan kelas jadi berhenti waktu gue ngetok pintu kelas.
"Selamat pagi, pak." Sapa gue sopan.
Pak Andika noleh, terus jadi agak delik kaget ngelihatin gue. "Siswi perempuan toh, saya kira cowok. Bikin kaget aja."
Ghandi dari samping jendela kelihatan nutup mulutnya nahan ketawa.
Gue cuma ngumbar senyum dipaksa, "Maaf pak."
Gue udah terbiasa dengan keadaan ini. Bener. Bener. Terbiasa.
Dikira cowok sama guru, diledekin sama Ghandi, sampai disuruh Ghandi sdubbing suara Patrick pun gue gak tersinggung sama sekali.
Ini berkaitan dengan salah satu fakta unik tentang gue yang punya suara berat kayak cowok.
Gak mirip suara cowok banget sih, tapi emang suara gue lebih rendah dan menggelegar daripada suara cewek kebanyakan. Itu juga alasan kenapa Ravin dan Ghandi sering bilang gue adek cowok mereka.
"Kenapa telat?" Tanya Pak Andika
"Saya telat bangun, Pak." Aku gue jujur. Pak Andika cuma nyebik sambil geleng kepala, terus nyuruh gue masuk tanpa embel-embel dihukum dulu. Untung aja Pak Andika ini orangnya santai, coba kalau killer gue pasti disuruh keliling lapangan dulu sebelum masuk.
Gue duduk, nyampirin tas ke pengait di samping meja.
"Kok telat, Ta?" Bisik Kinara yang duduk di depan gue. Gue gak langsung jawab karena tertegun ngelihat Ravin duduk di samping kiri gue, di kursi yang seharusnya milik Joe.
"Pagi, Ta." Sapa Ravin dengan senyum lebar khasnya. Dia naikkin satu alis kayak bingung, lalu ngibasin tangannya depan muka gue. "Woii, kok bengong sih? Belum makan ya lo?"
Gue jadi ngerjap, "iya, gue gak sempat sarapan. "Gue iyain aja.
"Anetta!" Gue dikagetin Kinara. Gue noleh dan dapatin muka dia yang cemberut.
"Padahal gue duluan yang nanya, tapi Ravin dulu yang dijawab." Ambek Kinara, dia kerucutin bibir sebal dan mutar badan ke depan.
"Sorry, Ra. Gue salfok mulu," gue jadi gak enak gak sengaja nyuekin dia. Ravin dari samping ketawa kecil sambil geleng-geleng kepala.
"Ta, lo masih marah ya sama gue soal kemarin?" Ravin bisik-bisik dengan kepalanya yang agak tunduk di depan buku tebalnya mencoba sembunyi dari pandangan Pak Andika.
Gue senyum datar. "Gak, gue udah biasa." Jawab gue cuek. Ravin lebarin mata, terus ngerjap dan nipisin bibirnya. Ekspresinya kayak ngerasa bersalah.
"Sorry deh, kemarin gue bercanda doang. Sama sekali gak ada niat biarin lo pulang sendiri, soalnya kan lo sendiri yang bil-"
"Iya, iya. Gak apa-apa." Jawab gue sambil senyum lebih lebar kali ini biar dia gak ngerasa bersalah terus.
Gue jadi tertegun sendiri. Apa jangan-jangan dia sengaja duduk di tempat Joe buat minta maaf sama gue? Apa dia jadi gak enak karena kemarin gak ngantarin gue pulang? Dia segitu kepikirannya ya?
Entah kenapa... gue jadi agak seneng sekarang.
Di tengah kegiatan belajar, gue gak tahan untuk gak ngelirik Ravin yang serius merhatiin Pak Andika. Tangan Kirinya dijadiin tumpuan wajahnya, tangan kanannya sibuk nyatet materi di papan tulis, bibirnya gumam-gumam kecil bacain rumus terus nulis di buku.
"... ditambah x, dikali buka kurung a tambah b..."
Gue perlahan ngulum senyum gemes sendiri. Ravin kayak anak kecil.
KAMU SEDANG MEMBACA
His Point Of View
Teen FictionEmang ya, kalau seseorang udah jatuh cinta plot twist-nya gak main -main. Deketnya sama siapa, pdkt-nya sama siapa, jadiannya sama siapa. Untungnya proses panjang dan membingungkan ini berhasil gue lewatin dengan baik meskipun banyak emosi yang te...