Babu dua minggu
Pagi itu gue datang ke sekolah seperti biasa. Awan cerah di bulan Juli, terik matahari pagi, ditemani suara motor sport Ravin, asap mobil yang lewatin kita, hingga suara bel dan pengumuman di pagi hari. Semua berjalan normal layaknya satu semester yang gue lewatin selama di sini.
Gak ada yang spesial atau aneh selama gue berjalan seperti biasa di koridor disambut tatapan kagum anak-anak cewek ke arah Ravin yang di samping gue, ataupun Ghandi yang masih pagi udah ngacak rambut gue sambil teriak "yooooo my brother!"
Sampai akhirnya kita sampai di kelas gue berhenti di meja paling depan, ngelihatin kursi gue yang sudah tidak kosong. Diduduki oleh sosok malaikat pencabut nyawa yang akhir-akhir ini gue hindari.
Jay duduk di kursi gue menghadap ke samping di tempat Joe duduk sambil ketawa-ketawa heboh dengerin Levin dan Azel lagi debat.
Seolah sadar gue udah datang, Jay ngelihat ke arah gue. Tawanya pudar, tatapan matanya yang semula ceria berubah serius, dan gue bisa lihat rahangnya mengeras dari tempat gue berdiri. Ujung bibirnya ditarik sedikit ke atas, ekspresi seolah udah siap untuk merubah hidup gue yang damai menjadi neraka seutuhnya.
Gue mencoba terlihat tenang, megang erat tali tas ransel gue sambil jalan pelan. Lalu berdiri di samping meja, Jay buang muka.
Gue nelan ludah agak gugup. "Engg, Jay itu tempat duduk gue."
Jay noleh, ngangkat sebelah alisnya. "Ya terus?"
"Boleh minggir gak? Gue mau duduk."
"Gak, lagi males jalan, lo duduk gih sana di tempat gue." Jay mengarahkan dagunya menunjuk kursinya yang di ujung kelas dengan cuek.
"Tapi bentar lagi bel masuk bunyi, guru mungkin bakal datang."
Jay bersedekap santai, ngelihatin gue yang masih tenang- atau lebih tepatnya mencoba terlihat tenang meski dari tadi jantung gue udah kayak lagi senam aerobik.
Joe, Azel dan Levin yang tadi heboh mendadak ikutan diam ngelihatin kita.
"Weiss, Jay lo minggir kaliii yang punya tempat duduk udah dateng.." Levin mencoba bujuk Jay yang gue gak tahu dia serius atau cuma basa-basi.
"Males ah, kenapa gak dia aja yang duduk tempat gue."
Gue diam, ngerjap lalu ngelihatin matanya bentar.
"Oke." Sebelum pergi dari sana, gue sempet lihat ekspresi muka Jay yang agak berubah. Mungkin dia gak nyangka gue nyerah semudah itu. Tapi gue benar-benar gak mau cari ribut sama dia.
"Jay, itu kan tempatnya Netta." Ravin yang tadi di belakang gue mencoba bicara dengan tenang.
Jay ngangkat bahu, "ya emang kenapa? Dia aja gak terlalu permasalahin, dia mau kok ganti tempat duduk sama gue." Sahut Jay tak acuh.
Gue hela napas panjang. Biarin deh. Semoga setelah ini dia gak lebih jauh gangguin gue karena gue bukan anak yang seru untuk diajak berantem.
"Tolong bersihin juga ya laci gue, kemarin gue bawa bakso aci dari kantin, lupa balikin. Sebagai penghuni baru, beresin ya. Balikin ke mang Aji, nanti gue ditagihin."
Gue yang baru mulai duduk, mencium bau kecap yang pekat. Gue coba cek ke laci, lalu narik mangkok keramik dari dalam dan– "AARGGHHHH!!!!"
KAMU SEDANG MEMBACA
His Point Of View
Teen FictionEmang ya, kalau seseorang udah jatuh cinta plot twist-nya gak main -main. Deketnya sama siapa, pdkt-nya sama siapa, jadiannya sama siapa. Untungnya proses panjang dan membingungkan ini berhasil gue lewatin dengan baik meskipun banyak emosi yang te...