6

203 58 15
                                    


Seminggu lebih berada di rumah sakit dengan Afan yang selalu setia di samping Berta membuat sedikit banyak Berta tenang dan akhirnya diijinkan pulang saat emosinya semakin stabil, selama di rumah sakit pun Laksmi mengajak temannya yang seorang psikolog memberikan pendampingan pada Berta, Berta yang sebenarnya malas mendengarkan hanya mengangguk-angguk saja.

Sesampainya di rumah, Berta segera menuju kamarnya, rumah besar itu terasa sepi karena ibunya pasti sedang berada di kantor hanya beberapa orang pembantu yang menyambutnya dan membawakan tas yang diberikan oleh Afan lalu meletakkannya di kamar Berta.

"Ibu istirahat saja dulu, kan baru dari rumah sakit, saya mau ke kantor, pasti Ibu sepuh akan nyari saya bentar lagi."

"Nggak usah ke kantor kamu Fan, di sini saja tungguin aku, kalo Ibu nelepon ya bilang saja kalo kamu nungguin aku."

"Oh iya iya Ibu."

Berta membuka bajunya dengan santai di depan Afan, menyisakan dalaman yang melekat di tubuhnya dan melangkah menuju lemari mengambil baju rumah lalu memakainya dan merebahkan diri di tempat tidur.

Afan hanya melongo saja, dan mengusap wajahnya berkali-kali, dan menyadari bagian lain dari tubuhnya yang bangun tanpa ia rasakan.

Ni orang apa nggak tau ya kalo aku normal masa buka baju gak ada malunya, mana itunya gede banget kayak mau loncat aja dari tempatnya

"Faaaan kamu sana ke dapur makan, kalo aku panggil baru ke sini lagi."

"Oh iya iya Bu, saya ke belakang ya."

"Hhmmmm ...."

Dan Berta memejamkan matanya, berusaha tidur meski ia tetap merasa rindu lagi pada Satria.

"Dimana kamu Satria? aku rindu, kapan kita bisa bertemu lagi? aku nggak mau hidup kalo kamu ngilang kayak gini."

Rintihan perlahan Berta membuatnya kembali menangis hingga ia lelah dan matanya terpejam.

.
.
.

Steve mulai beraktivitas seperti biasa, berusaha melupakan sakit hati meski ia tetap tak bisa melupakan Laksmi.

"Mulai besok ada perawat baru yang diperbantukan di sini Steve, karena aku akan sering ke puskesmas kecamatan sebelah, nggak ada dokternya di sana, malah aku dengar dari kepala dinas kesehatan yang ke sini kapan hari kamu yang akan menggantikan aku di sini dan untuk seterusnya aku berdinas di kecamatan sebelah."

Steve mengangguk dan membasuh tangannya di washtafel.

"Mungkin lebih baik aku keluar dari kontrakan Kakak, nggak enak, karena Kak Ayumi kan sendirian hanya berdua sama Aleesha sementara Kakak di kecamatan lain yang aku yakin paling cepat lepas Isyak Kakak baru sampai."

Frans menatap Steve yang duduk di depannya.

"Justru aku mau nitip Ayumi, kalo dia sendiri gimana kalo ada apa-apa? Lagian loh kamar kamu jauh di belakang, kalian malah jarang bertemu, sudahlah aku percaya padamu Steve, kau sudah aku anggap kayak adik sendiri, selain itu Aleesha yang sering sakit bikin aku nggak tenang kalo kamu pindah dari rumah kontrakan itu, aku nggak mau nempatin rumah dinas lagi karena kamu jadi nggak bisa tinggal sama aku. Tetap tinggal di sana ya Steve, aku titip Ayumi dan Aleesha."

Steve mengangguk pelan meski hatinya sebenarnya sangat tak ingin tinggal di sana jika tak ada Frans.

"Yah, baiklah tapi aku akan kembali ke kontrakan jika Kakak sudah datang."

Frans mengembuskan napas.

"Kamu ini gimana sih, ya sama aja bohong, kan Ayumi sama Aleesha tetap berdua Steeeve, aku takut ada apa-apa kalo mereka cuman berdua, kasihan Ayumi pasti dia kebingungan, sudahlah aku percaya padamu, aku percaya pada istriku."

"Nggak gitu Kak, etikanya memang lebih baik jangan sampai kami yang tak ada hubungan apapun tinggal satu atap saat Kakak tidak di rumah."

"Steeeeve, Steve, kamu ini orang baik, mengapa juga sampe tergila-gila sama Mak Lampir, gini aja loh kamu sampe mikir beneran, semua tetangga di kontrakan kita tahu, siapa kamu, siapa istriku dan bagaimana kalian, aku percaya kau tak akan macam-macam pada istriku lagian kamu loh nggak normal, maunya cuman sama Laksmi."

"Iya sih."

"Makanya, udahlah nggak ada alasan lagi, tetap tinggal di sana."

.
.
.

Berta mulai masuk kantor lagi, ia menyibukkan diri meski pikirannya tak bisa lepas dari Satria. Tak lama ia mendengar ponselnya yang berbunyi nyaring, ia lihat nama ibunya di sana.

Ya Ibu

Hari ini Bram pulang, Berta, aku sudah menyiapkan makanan kesukaan Bram dan nanti dia juga akan aku siapkan untuk segera menempati perusahaan yang ibu pegang ini untuk ia lanjutkan

Terserah Ibu

Kamu bersiaplah juga ke bandara untuk menjemput Bram

Aku nggak enak badan Ibu, aku nggak ikut

Ini adik kamu yang pulang!

Iya aku tahu tapi aku sakiiit!

Dan Berta menangis sekerasnya, bagaimana mungkin ibunya tak memahami kondisinya yang baru saja pulih, malah memaksakan dirinya untuk menyambut Bram. Selalu saja Berta merasa jika dirinya tak dianggap, sejak almarhum Bapaknya hidup selalu saja Bram nomor satu padahal dirinya juga tak kalah dari Bram. Bahkan setelah semua pengorbanannya untuk Bram yang hanya enak sekolah di luar negeri sementara dirinya banting tulang untuk membantu perusahaan keluarga agar tetap berdiri tegak.

"Apa mungkin jika aku mati pun mereka tak akan kehilangan aku? Biar apa aku hidup jika hanya menanggung beban hidup dan tak dianggap, mungkin mati akan menjadi hal terbaik bagiku."

"Ibu."

Pintu terbuka dan terlihat wajah Afan.

"Apaaa? Ada Apaaa?" Suara kemarahan Berta terdengar keras dan wajah Afan menjadi takut.

"Maaf, saya disuru Ibu Sepuh agar mengantar Ibu ke bandara untuk menjemput Pak Bram."

Berta menghela napas, ibunya benar-benar tak bisa mengerti dirinya yang masih lemas dan lelah, lelah lahir dan batin.

"Duduklah, tunggu aku mau ke toilet."

Berta mencari-cari sesuatu di mejanya dan tersenyum miring saat ia temukan.

Semuanya hanya memanfaatkan tubuh dan otakku, bapak, ibu bahkan adikku Bram tak tahu jika aku manusia dan bukan robot yang tak mengenal lelah ...

Afan gelisah melihat jam di dinding yang sudah setengah jam lebih.

"Kok lama amat sih ke kamar mandi masa buang hajat sampe lama? Mau aku ketuk kok gak sopan, apa Ibu ganti baju ya? Tapi tadi gak bawa baju, ini gimana? Aku tunggu dulu deh, lima belas menit lagi terpaksa aku ketok itu kamar mandi, biarin aku dimarahi lah nanti kalo terlambat ya aku juga yang dimarahin Ibu Sepuh."

Lima belas menit berlalu, Afan akhirnya tak tahan dan memberanikan diri mengetuk pintu kamar mandi sambil memanggil Berta.

"Ibuuu, Ibuuuu, kok lama? Mari segera berangkat Buuu, sudah ditunggu Ibu Sepuh di bandara."

Afan kembali mengetuk berulang.

"Haduuuh ini gimana sih, dibuka apa nggak ya? Nanti dibuka aku dimarahi dibilang gak sopan, haduh enaknya gimana ini? Udahlah bismilah aja paling juga kena semprot seperti biasanya."

Perlahan Afan membuka pintu kamar mandi dan Afan berteriak keras hingga sekretaris Berta tergopoh-gopoh masuk segera menuju  Afan yang terlihat ketakutan dan Desti memegang dadanya saat melihat Berta yang terkulai di lantai kamar mandi dengan pergelangan tangan berlumuran darah, juga darah yang mengalir ke mana-mana di kamar mandi menambah mual dua orang yang terkaget-kaget di depan pintu kamar mandi itu.

💗💗

25 Agustus 2021 (05.52)

Selamat pagi selamat beraktivitas 💖💖

Fragile (Sudah Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang