Bel pulang sekolah baru saja berbunyi tepat ketika (Y/n) memasukkan buku terakhirnya ke dalam tas. Ia pun ikut berdiri untuk mengucapkan salam terakhir sebelum sensei-nya berjalan ke luar kelas.
Karena hari ini bukanlah jadwal piketnya, maka gadis itu segera bergegas untuk pulang. Ia sudah tak memiliki urusan lain di sekolahnya lagi.
Namun, ketika ia hendak berbelok di ujung koridor sekolah, seketika namanya pun dipanggil. Salah satu teman sekelasnyalah yang ternyata memanggilnya.
"(F/n)-san, kau dipanggil oleh Gin-Sensei!"
Seruan itu membuat (Y/n) berhenti melangkah. Ia pun menoleh dan kemudian mengangguk singkat. Setelahnya, teman sekelasnya itu pun berlalu dari sana.
Tanpa berpikir panjang, (Y/n) segera berbelok menuju ruang para sensei di mana Gin-Sensei yang menjabat sebagai wali kelasnya itu memanggilnya. Ia sudah tahu apa yang akan dibicarakan oleh pria yang menurutnya masih cukup muda untuk menjadi seorang wali kelas tiga di sekolah menengah atas ini.
"Silakan masuk."
(Y/n) pun masuk setelah mengetuk pintu sebanyak satu kali. Ia pun kemudian duduk di kursi di hadapan wali kelasnya.
"(F/n)-san, hanya kau yang belum mengumpulkan Survei Rencana Kelulusan."
Sesuai dengan dugaan (Y/n), apa yang dibicarakan oleh Gin-Sensei pasti tentang rencana kelulusannya itu. (Y/n) memang tahu, hanya dirinya seorang yang belum mengumpulkan kertas berisi rencananya setelah kelulusan nanti. Namun, ia tidak terlalu memusingkannya. Toh ia hanya ingin hidup dengan tenang saat ini.
"Apakah ada yang bisa Sensei bantu?" tawar pria itu lagi. Wajahnya yang ramah tidak membuat (Y/n) segera mengatakan apa yang ia pikirkan tentang masa depannya nanti.
Namun, bukannya langsung menjawab pertanyaan sensei-nya itu, manik (e/c)nya tertuju lurus ke balik punggung sensei-nya. Bukan ke arah jam dinding yang masih bergerak melainkan ke arah sebuah kepala tanpa tubuh yang menggantung di sana. Darahnya yang terlihat kental menjadi sebuah tali yang menahan kepala itu agar tidak terjatuh ke atas lantai.
Seketika jantung (Y/n) berdetak dengan sangat kencang kala bola matanya melirik ke arah (Y/n). Meskipun ia sudah sering melihat hal-hal seperti ini, nyatanya gadis itu tetap masih merasa takut dan gemetar.
"(F/n)-san? Ada apa?"
Pertanyaan Gin-Sensei yang dilontarkan kepada (Y/n) membuat sosok menyeramkan itu menghilang secara tiba-tiba. Sontak helaan napas dihembuskan oleh (Y/n) setelahnya.
"Tidak. Tidak ada apa-apa, Sensei," sahut (Y/n) kemudian. Lagi pula, ia juga tak mungkin bisa mengatakan jika di belakang sensei-nya tadi ada sebuah kepala yang menggantung, bukan?
"Lalu, apakah ada yang bisa Sensei bantu?" ulangnya lagi.
(Y/n) menunduk. "Aku hanya masih tidak tahu harus berbuat apa nanti, Gin-Sensei," jawabnya jujur.
"Begitu, ya."
Pria itu memasang gestur berpikir. Menurutnya, memang wajar apabila masih ada murid kelas tiga yang bingung dalam menentukan rencana mereka setelah lulus nanti. Di umur mereka seperti ini memang masih labil dan mudah goyah untuk membuat pilihan yang tetap.
"Bagaimana dengan jika kau kuliah saja?" usul Gin-Sensei.
Kuliah memang tidak buruk. Namun, (Y/n) tidak suka belajar. Baginya, belajar hanyalah sekedar kewajibannya dalam masa sekolahnya. Tetapi, tidak berlaku jika ia telah lulus dari masa-masa sekolah itu.
"Dari apa yang Sensei lihat, nilaimu sangat bagus dan memuaskan bahkan sejak kau duduk di bangku kelas satu. Sensei yakin, kau pasti bisa masuk ke Universitas Tokyo."
(Y/n) hanya mendengus. Sensei-nya terlalu melebih-lebihkannya. Selama ini, (Y/n) hanya belajar ketika akan ada ulangan. Itu pun ia lakukan selama satu hari sebelumnya. Lalu, bagaimana mungkin jika nilai rapornya bisa tembus untuk masuk ke Universitas Tokyo yang terkenal itu?
"Itu mustahil, Sensei."
Wali kelasnya itu tidak merasa terkejut dengan jawaban yang diberikan oleh (Y/n). Memang ada banyak murid di sekolah ini yang memiliki ketidakpercayaan diri padahal sebenarnya mereka mampu.
"Tidak sebelum kau mencobanya. Jangan mengibarkan bendera putih sebelum kau berperang, (F/n)-san." Ia tersenyum. "Tidak perlu terburu-buru. Yang terpenting kau merasa yakin dengan tujuanmu itu."
(Y/n) hanya menunduk dan sibuk dengan pikirannya sendiri. Ia tidak memiliki tujuan untuk masa depannya. Mungkin belum atau tidak saat ini.
Lantas, kapan?
***
Seusai konsultasi singkat namun penuh makna itu, (Y/n) pun berniat untuk pulang. Ia merogoh saku rok seragam sekolahnya untuk mencari obat yang selama ini selalu ia bawa. Namun, yang ia dapat hanyalah seplastik kecil kosong tanpa ada apapun di dalamnya.
(Y/n) menghela napas panjang. Mau tidak mau, ia harus membeli obat mimisan yang baru sekarang.
Alhasil, setelah keluar dari gedung sekolahnya, (Y/n) berbelok ke arah rumah sakit yang berada cukup dekat dari sana. Awalnya (Y/n) berniat untuk membelinya di apotek. Namun, ia mengurungkan niatnya karena obat yang ia butuhkan jarang tersedia di apotek.
Setelah berjalan beberapa saat, (Y/n) pun tiba di rumah sakit yang ia tuju. Rumah sakit itu cukup besar jika dilihat dari luar. Ketika ia masuk ke dalam, tidak ada banyak orang yang berlalu lalang di dalam sana. (Y/n) pun bisa berjalan dengan leluasa.
Beruntung, selama di perjalanan tadi (Y/n) tidak melihat sosok apapun. Namun, ia tidak yakin jika hal yang sama akan berlaku kala ia memasuki rumah sakit ini. Pasalnya, rumah sakit sangat identik dengan hal-hal berbau mistis.
"Terima kasih."
Seusai membeli obat yang ia butuhkan sesuai resep dari dokter, (Y/n) pun berlalu ke taman di rumah sakit. Sudah menjadi kebiasaan bagi gadis itu untuk datang ke taman setelah membeli obat di rumah sakit.
(Y/n) duduk di salah satu kursi. Kemudian, ia menatap ke arah angkasa yang berwarna jingga. Terlihat cerah dan cukup enak untuk dipandang.
Puas memandangi langit itu, (Y/n) mengalihkan pandangannya dari sana. Ia menoleh ke arah sebuah pohon sakura yang sedang tidak mekar di sebelahnya. Namun, seseorang yang duduk di bawah sana menarik perhatian (Y/n).
(Y/n) menatapnya selama beberapa saat. Memastikan jika apa yang ia lihat saat ini apakah benar-benar orang atau roh tak kasat mata yang sering dilihatnya.
Matanya yang sejak tadi tertutup seketika terbuka perlahan. Ia menatap ke arah (Y/n) yang tertangkap basah tengah memperhatikannya sejak tadi. Sontak gadis itu langsung mengalihkan pandangannya. Khawatir jika apa yang ia bayangkan benar-benar akan terjadi.
Lelaki itu pun tersenyum. Ia menatap (Y/n) lagi. Lalu, mulutnya mengucapkan satu pertanyaan yang membuat (Y/n) terkejut luar biasa.
"Nee, kau bisa melihatku 'kan?"
***
KAMU SEDANG MEMBACA
END ━━ # . 'Twilight's Reverie ✧ Chifuyu Matsuno
FanfictionSelama ini, (Y/n) selalu menganggap dirinya sial. Terlebih semenjak kematian neneknya, gadis itu pun 'terpaksa' harus menerima sebuah warisan dari neneknya; yaitu berupa Mata Lavender. Dengan Mata Lavender itu, (Y/n) pun bisa melihat 'mereka' yang t...