RAHASIA

11 5 4
                                    


* Angin malam menghembus raga

Menerpa dedaunan rapuh berguguran 

  Pekat dan hitam menyelimuti udara

  Menenggelamkan jiwa dalam ilusi nyata*

Baru saja aku pejamkan mata menelusur alam bawah sadar, tetapi hal itu membuatku harus terbangun untuk kesekian kalinya.

"Uh! Blong apa ya rem nih, capek tahu bolak-balik kamar mandi," gerutuku sambil perlahan bangun dan berjalan menelusuri remang ruang tengah, dengan mata yang masih sedikit terpejam.

Panggil saja aku Salwa Pramidyta, putri sulung dari dua bersaudara. Ayahku pekerja buruh biasa, boleh dibilang apapun Ayah kerjakan selagi ada yang membutuhkan bantuan sedang Ibu hanya penjual kelontong di pasar. Aku anak dari keluarga biasa layaknya teman-teman sekampung. 

Karena keuletan Ayah dan jiwanya yang suka menolong dan humoris membuat orang-orang sekeliling menghormati beliau walau hanya pekerja buruh.

Apakah aku masih bermimpi atau nyawa ini yang belum sepenuhnya melekat di raga, sayup-sayup kudengar isak tangis. Spontan membuat mataku terbelalak.

"Jangan-jangan ...," batinku yang membuat bulu kuduk berdiri. Berhubung ini rem sudah tak dapat ditahan aku mencoba tak menghiraukan suara itu.

Namun, disaat melintasi kamar Ayah-Ibu, suara itu semakin terdengar jelas. Kuberanikan menghentikan langkah sambil menempelkan telinga di dinding kamar mereka. Yiah! Ternyata pendengaran ini masih normal dan suara isak tangis itu bukan suara han-

"Itukan suara Ibu menangis," batinku. "Tapi kenapa ditengah malam Ibu menangis?"

Agak terlupa olehku kalau sedang menahan kebelet pipis, rasa penasaran membuat diri ini menguping dan ingin mendengar sebabnya. Sayup-sayup tertangkap oleh panca dengar ini. 

"Terus kapan kita terlepas dari lilitan hutang, Yah?" suara Ibu dalam isak tangisnya. 

"Hah! Hutang, apa Ayah Ibu sedang memikul hutang untuk biaya kami hidup?" batinku yang terkejut mendengar keluhan Ibu.

"Sabar ya, Bu. Entar kalau anak-anak sudah selesai sekolah kan kita bisa pelan-pelan terbebas. Ini semua juga untuk anak-anak, tugas kita menyekolahkan," jawab Ayah menenangkan hati Ibu.

"Ya sih, Yah. Terkadang Ibu pening memikirkan itu semua," timpal Ibu yang terdengar masih sedikit tersedu-sedu. 

"Biar Ayah yang mikir ya? Ibu jualan saja dengan tenang dan lakukan yang membuat hati senang. Ingat jangan sampai anak-anak tahu tentang hal ini. Kasian mereka belum saatnya memikirkan hal ini, bobok lagi yuk?" bujuk Ayah pada Ibu.

Perlahan suara isak tangis Ibu semakin melemah. Tak terasa membuat airmata ini menetes mendengarkan ini semua. Sambil menyeka airmata, kulangkahkan kaki gontai menuju kamar mandi. 

Ayah yang selalu terlihat riang, ceria dan seakan-akan tak menyimpan kepedihan, ternyata memikul beban yang dalam untuk anak-anaknya. Dan Ibu pasti sedih banget dengan beban ini. 

Pengorbanan orangtua untuk anak-anaknya sungguh luarbiasa. Mereka rela menahan kepedihan dan kesusahan hanya untuk melihat anak-anak bisa hidup layak seperti teman-temannya. Karena tanggungjawab itulah yang membuat mereka tegar.

Aku pun kembali ke kamar dengan langkah sangat berhati-hati, takut terdengar oleh Ayah Ibu. Perlahan kurebahkan kembali tubuh ini, mengingat besok pagi adalah hari pertama masuk sekolah SMA. Namun, sayang hampir dua jam berbaring mata ini tak dapat terpejam, masih teringang jelas obrolan Ayah Ibu barusan.

Air mataku menetes membasahi bantal. "Ayah Ibu, Salwa janji setelah lulus nanti tak akan merepotkan kalian lagi," lirihku dalam isak tangis. Mungkin karena capek menangis akhirnya tanpa terasa terpejamlah mata ini.

🍂🍂

Entah karena mata kebo atau kecapean nangis hingga aku tak mendengar adzan subuh. Sedang Ibu sudah berangkat ke pasar setelah subuh dan Ayah membantu membawa barang dagangan. Aku dan adik sudah terbiasa bangun dan melakukan apa-apa sendiri.

"Kak-kakak, bangun sudah jam enam nih," ucap Adik sambil menggoyang-goyangkan tubuhku. 

Dialah Argana Fusena adik laki-laki yang berumur empat tahun dibawahku. Cowok periang, humoris seperti Ayah, bertanggungjawab dan pandai.

Namun, aku hanya menggeliat dan kembali menarik selimut. Biasa hawa di kampung akan terasa dingin bila menjelang pagi.

"Kakak, bangun ya!" bentak Argana sambil menarik selimutku.

"Kenapa pagi ini kamu bawel banget sih, Ar!" teriakku sambil mengucek-ngucek mata. Sedikitpun tak teringat olehku kalau ini hari pertama masuk sekolah SMA.

"Molor lagi sana tuh, biar entar kena hukum sama ketua OSIS," sinis Argana lalu keluar dari kamarku.

Sontak aku terkaget dan terbelalak mata ini. "Mampus aku!" ucapku sambil terburu-buru lari kekamar mandi saat tersadar.

"Nggak usah mandi.Cuci muka saja, biar pada pingsan teman-teman Kakak mencium bau ompol," ledek Argana sambil tertawa.

"Rasain, nih," ucapku sambil menjewer telinga Argana saat melewatinya dan membuatnya sedikit nyengir kesakitan.

Arga pun mengusap-ngusap telinganya.

“Kakak, sakit tahu!” protesnya.

Tak pedulikan rengekan Arga, aku berlari secepat kilat.

Mandi bebek pun terpaksa aku lakukan untuk mengejar waktu. Kemudian buru-buru mengenakan seragam. Rasanya waktu sepuluh menit terlalu cepat untuk mempersiapkan diri. Tapi apa boleh buat daripada harus terlambat. Mata bulat, rambut lurus sepunggung terikat manis dan wajah imut. Dengan setelan seragam agak seksi, terasa pas dan nyaman di badan.

"Sudah cantik kok, Sal," pujiku didepan cermin sambil memiringkan badan ke kanan dan ke kiri.

Rasanya lega sudah rapi dan tinggal sarapan gabung dengan Argana. 

"Kakak, ngelindur apa masih ngantuk?" tanya Argana membuatku bingung.

Aku hanya melirik dan mengambil sarapan, duduk dengan santai sambil menyantap. Namun kembali Argana melirik dan tertawa nyengir-nyengir hingga membuat emosi menghampiriku.

"Tertawa saja terus!"

"Siapa yang nggak tertawa bayangin kakak dihukum dan hormat ke bendera ditengah panas terik matahari, pasti lucu tuh wajahnya," ledek Argana.

"Aku kan nggak bakalan telat," jawabku sambil menjulurkan lidah meledek.

Bukan jawaban yang aku dengar dari mulut Argana, namun lirikan mata yang mengarah keseragaman yang kukenakan sambil mengangkat kepalanya.

"Ya Allah!" teriakku sambil menepuk jidat dan buru-buru kembali ke kamar untuk ganti seragam.

Ternyata bukan seragam SMA yang kukenakan melainkan seragam SMP. Padahal seragam sudah aku pisahkan tetapi masih juga keliru.

Argana pun melanjutkan tertawanya dan menyantap sarapan dengan santai. Beberapa saat kemudian.

"Kak, Arga berangkat dulu," teriaknya tanpa pedulikan aku yang masih kebingungan.

Tak selang lama aku pun buru-buru kabur dari rumah menuju pinggir jalan raya untuk menanti minibus lewat. Tetapi bener-bener pagi ini membuatku harus bersabar.

Kecerobohan akhirnya membuat ketinggalan minibus yang biasa kutumpangi. Terpaksa harus menunggu minibus lain yang lewat. Takut dan was-was memenuhi pikiran, perasaan tak tenang pun menghampiri. Sekejap-kejap kulirik jam tangan dan melihat kanan kiri. Tak ada satu pun teman yang nampak.

"Mereka pasti sudah pada berangkat. Huh! Bagaimana nasibku entar," gerutuku yang terlihat begitu gusar.

Teman sekampung pun sudah tak ada kelihatan, mungkin karena hari pertama masuk sekolah membuat mereka berangkat lebih awal. 

* Apapun yang terjadi hadapilah karena menghindar dari masalah sama saja seorang pengecut by: Salwa *

PUPUSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang