Ujian II

1 1 0
                                    

* Burung merpati terbang tinggi
   Menuntun langkah menggapai mimpi
   Dua sejoli merangkai puisi
  Nyanyikan kidung berpantun melodi *

"Rasanya bener-bener penat, ujian nggak kelar-kelar," gerutuku sambil menumpuk buku di atas meja.

"Kakak cara belajarnya salah, sih, jadinya pening," jelas Argana yang bosen melihat aku selalu mengeluh.

"Kan kamu tahu sendiri, otakku ini pas-pasan."

"Otak pas-pas tak masalah, Kak. Asal telaten dan rajin entar juga jadi lancar."

Aku pun mengerutkan dahi bergaya seperti profesor memikirkan karya ilmiahnya. 

"Gaya kamu, Kak, bikin ketawa saja. Emang kalau mikir harus begitu gayanya," ledek Argana membuatku mendenguskan napas.

"Ah! Nggak tahulah. Kakak itu masih belum paham betul tentang kimia, fisika yang banyak rumus, belum lagi matematika sama bahasa Inggris. Meras otak tahu nggak, sih." Aku ngomel-ngomel sendirian karena jengkel.

"Tumben Kakak nyerah, nggak biasanya pusing mikir kalau lagi ujian," saut Argana.

Aku duduk sejenak dengan menaruh tangan di atas meja dan menundukkan kepala tenggelam dalam lengkupan tangan.

"Bener juga sih kamu, Ar. Kenapa dengan aku hari ini, ya?" ucapku saat mengangkat kepala.

"Paling lapar, tuh?" canda Arga yang membuat aku seperti mendapatkan sebuah ide.

"Ahay, ide cemerlang tuh. Terima kasih ya Adekku yang cakep." Akupun beranjak ke dapur mengambil makanan. Tak ada salahnya mengambil bensin dulu sebelum bertempur.

Namun, memang dasar aku yang terlalu santai menghadapi masalah. Habis makan bukannya belajar malah bermalas-malasan di depan televisi. Alhasil tenggelamlah aku dalam dengkuran tidur.
Akan tetapi, tak selang lama terdengar guncangan yang menggelegar.

"Salwaa! Dari siang kamu ini bawaannya bikin Ibu sewot terus ya." Suara Ibu begitu memekakan telinga hingga membuatku terbangun. 

Kubuka perlahan mata ini sambil mengucek pelan dan  melirik jam dinding. 

"Baru jam delapan, Bu," jawabku dengan santai lalu kembali memejamkan mata.

"Bangun! Tidur di kamar sana. Belajar-belajar apa macam gitu." Kembali protesan Ibu mengalir licin di telingaku.

"Nyari wangsit dulu, Bu. Biar besok lancar jawabnya," celotehku sambil menarik selimut tanpa pedulikan emosi Ibu yang sedang memuncak.

"Emang bisa dapat tuh wangsitnya tanpa tirakat?" balas Ibu yang malah duduk di sampingku.

"Adalah, Bu. Kan Ayah Ibu yang tirakat, aku yang dapat wangsitnya," candaku sambil menahan tawa. "Ah, Ibu bikin ngantukku ilang saja."

"Salah sendiri tidur di depan televisi," jawab Ibu sambil berbaring dan memeluk tubuhku.

Hangatnya pelukan itu, walau kini jarang aku dapatkan, tetapi masih sama rasanya seperti di masa kecilku.

Seperti apapun bawelnya Ibu, buatku itu adalah bentuk sayangnya terhadap kami, karena tak akan ada kata bawel tanpa dilandasi rasa kasih.

***

Entahlah ini ujian hari ke berapa, tetapi rasa tegang itu masih saja menghampiri jiwa ini. Mungkin bukan karena soal ujian, tetapi lirikan dan tatapan itu semakin membuat jantung ini bertambah menegang.

Lagi-lagi dia lemparkan lirikan yang begitu tajam menusuk jantung yang membuatku tak bisa berkutik. Mata ini pun terasa berat untuk berkedip ataupun mengalihkan pandangan. Hanya ada dia dalam pikiran, membuat hilang semua isi otakku tentang jawaban soal.

"Hufh! Kacau bener otakku hari ini, tetapi mata dia. Oh tidak! Kenapa aku tak bisa menghindarinya," batin ini penuh dengan gejolak.

Pandainya dia membuatku terpesona, tetapi mahirnya dia menyelinapkan jawaban lewat tatapan maut membuatku semakin klepek-klepek di buatnya. Bahkan ia bisa merangkai kalimat dalam secuil kertas yang ia selipkan ketika ijin ke kamar kecil.

"Buka," bisiknya saat melewatiku. 

Perlahan aku pandang tubuhnya yang mulai menghilang dibalik pintu kelas. Dengan cepat kubuka kertas itu.

"Wow! Isinya jawaban buat lembar easy," batinku penuh girang. Dengan berbagai cara agar tak ketahuan pengawas aku salin jawaban itu. 

Dengan penuh percaya diri, aku menggoda Hana saat Ia menoleh ke arahku.

"Hana, sudah kelar belum? Ayo keluar?" lirihku.

Hana menggelengkan kepala sebagai isyarat kalau belum selesai mengerjakan soalnya. 

Aku manyunkan bibir ini sambil menggaruk-garuk kepala yang tak gatal. Namun, malangnya nasibku.

"Hey! Kamu tak usah sok pandai, pura-pura menggaruk kepala padahal memberi kode," tegur pengawas itu mengangetkanku.

"Maaf, Pak. Saya nggak memberi kode ya," lirihku yang sedikit gemetar. "Bushet! Kenapa aku bisa takut begini."

"Bawa jawaban kamu ke depan dan keluar kelas!" bentak pengawas itu semakin membuatku seperti seorang narapidana.

Perasaan takut dan bingung serta malu bercampur menjadi satu. Terpaksa aku berdiri dan berjalan menuju meja pengawas.

"Sumpah, Pak. Saya tak memberi kode ke siapa pun," belaku saat menaruh lembar jawaban di meja pengawas.

"Nggak usah ngeles," jawab pengawas itu membuatku hanya bisa menghela napas.

Namun, percuma juga aku membela diri, seperti apa pun tetaplah menang sang pengawas.

"Untung semua dah aku jawab," gumamku sambil melangkah keluar kelas dengan langkah lesu.

Teman-teman pun melihatku sambil tersenyum meledek, tetapi aku tahu betul kalau dalam hati mereka juga merasakan takut dengan gertakan pengawas itu.

Ternyata Hastanta sudah duduk manis di teras menungguku. Senyum manisnya membuat diri ini salah tingkah. Apalagi dalam jarak yang begitu dekat. 

"Tuhan, jantungku ...." batinku.

Terlihat sekali wajah ini yang memerah, tetapi aku mencoba mengalihkan pandangan dan berjalan menjauh.

"Sal," ucapnya begitu merdu membuat langkahku terhenti. Rasanya kaki ini begitu berat untuk melangkahkan. 

Tanpa berpaling aku hanya menjawab, "Ya."

Terdengar jelas langkah kakinya menghampiriku yang membuat detak jantungku semakin tak menentu. Ingin berlari, tetapi hati ini meminta untuk menunggunya.

"Has," spontan ucapku saat merasa ada yang memegang tanganku.

"Has-Has! Ini aku Hana, Sal. Kamu lagi menunggu dia, ya?" ledek Hana sambil menoleh ke arah Hastanta yang berdiri tak jauh dari kami.

Aku dibuat malu oleh Hana karena ketahuan oleh Hastanta kalau diri ini menantinya.

Dengan cepat kutarik tangan Hana. "Ikut aku!"

"Kemana, Sal?"

"Diam! Atau kumakan kamu entar," ketusku menutupi rasa malu ini.

Sungguh aku malu bila nanti bertemu Hastanta lagi. Mau taruh mana nih muka, tetapi tak mungkin pula bercerita ke Hana. Pasti bakalan digoda entar, mampuslah aku.

Akan tetapi, hati ini bener-bener tak bisa dikendalikan saat melihat tatapan dan senyum manisnya.

 "Apakah ini yang dinamakan cinta, tetapi tahu apa anak bau kencur ini," batinku yang masih berkecamuk dengan kejadian tadi.

Ujian kenaikan kelas, pertama kalinya aku dibuat hampir pingsan oleh seorang cowok. 

Senyum itu semoga membuahkan hasil nilai yang memuaskan.

* Simpan hati sebelum ada kata pasti by Salwa *

PUPUSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang