"Ayah, Arga ikut les ya?" tanya Arga saat melihat Ayah pulang kerja.
Melihat wajah Arga yang memelas membuat Ayah tersenyum. “Memang mau les dimana, Ar? Terus berapa bayarnya?"
"Arga pingin les privat, Yah. Biar bisa masuk ke SMP favorit," pinta Argana sambil memeluk tubuh Ayah merajuk.
Sayup-sayup aku dengar obrolan itu, hati ini merasa sedih hingga mataku berair seperti hujan mau turun.
"Kasian Ayah pasti mikir buat bayar les entar apa? Nggak mungkin juga aku melarang Arga, semangat dia untuk jadi juara kelas sangat besar sekali," batinku.
Akupun melangkahkan kaki keluar dari kamar untuk menyaksikan langsung percakapan adik dan Ayah.
"Ya, Ayah bayar entar. Terserah kamu mau les dimana? Semangat belajar ya, Nak," ucap Ayah dengan bijak dan perhatian sambil mengelus-ngelus kepala Arga.
Argana pun tersenyum ceria dan kembali memeluk Ayah. "Terima kasih, Ayah."
"Sama-sama, Ayah hanya ingin kamu dan kakak menjadi orang yang sukses."
"Doain Argana ya, Yah? Semoga kelak menjadi orang yang membanggakan untuk Ayah dan Ibu," ucap Argana sambil melepas pelukan itu.
Melihat betapa cerianya wajah Argana, membuatku meneteskan airmata.
"Semoga cita-citamu tercapai, Arga," batinku.
Belaian kasih yang sering aku rasakan juga dari tangan Ayah dan Ibu. Sebuah belaian lembut dan menyejukkan jiwa. Buat kami miskin tak apa asal jangan miskin hati. Lakukan apapun dengan penuh tanggungjawab, karena menjadi pecundang sama saja kalah.
Tuturan dan nasehat Ayah Ibu sering juga kami dengar. Kemewahan bisa dicari, tetapi kasih sayang tulus dari orang tua lebihlah berarti. Itulah salah satu alasanku sangat sedih saat mendengar Ibu menangis.
***
Satu bulan lebih aku jalani hari-hari di sekolah SMA Nguyekan. Hal yang semula canggung aku lakukan, sekarang sudah menjadi biasa. Seperti: mengikat rambut dengan berbagai gaya, ngobrol model ala-ala anak remaja, bahkan kadang godain teman.
Awal memang kaget melihat gaya kakak kelas, tetapi sekarang menjadi biasa. Ah! Sifat usilku pun makin menjadi. Dengan wajah imut ini, membuat percaya diri pun menjadi lebih. Bukan pamer kecantikan ataupun body, tetapi mungkin inilah gaya-gaya remaja kebanyakan.
"Hana, entar kamu pulang jalan kaki lagi ya?" ucapku dengan lesu disela-sela pelajaran berlangsung.
"Kenapa emangnya, Sal?"
"Tiap pulang nggak ada temannya, 'kan nggak asyik," jawabku memelas.
"Tapi gimana lagi, kalau lewat tempat kamu kan makin jauh. Aku juga nggak ada temannya, Sal," papar Hana.
"Ya juga sih. Doain aku dapat teman ya?"
Kebiasaan kami yang suka bisik-bisik saat jam pelajaran berlangsung. Hanya untuk menghilangkan rasa ngantuk dan jenuh. Terkadang tak lepas dari sorotan dan teguran guru. Pasal bangku kami terletak paling depan, tetapi semua itu sudah menjadi hal yang biasa untukku. Bukan karena diri ini bandel, tetapi akrab dengan guru membuat terasa lebih mudah untuk menerima pelajaran.
Bel pulang sekolah pun berbunyi, kami pun berpisah. Hana gabung dengan teman-temannya yang sama-sama jalan kaki sedang aku harus sendiri menunggu minibus. Meski banyak teman, tetapi kan belum akrab.
Di bawah pohon waru aku berdiri sendirian. Menunggu minibus lainnya, karena yang sudah lewat telah penuh dan berdesak-desakan. Di sebelah sana yang tak jauh dari tempatku berdiri ada seorang teman yang sama-sama masih kelas satu. Kami hanya saling memandang dan tersenyum kecil karena belum akrab.
Tak selang lama berhentilah sebuah minibus, saat aku naik ternyata dia pun ikut naik. Duduk bersebelahan dan memasang senyum close-up.
"Kenalin," ucapnya sambil mengulurkan tangan.
Aku pun membalas jabat tangan itu. "Salwa," jawabku.
"Manda Wijayanti panggil saja Manda."
Obrolan singkat pun terjadi untuk mengisi waktu selama perjalanan pulang dan ternyata kita turun ditempat yang sama.
"Manda rumah kamu mana?" tanyaku.
"Aku ... desa sebelah utara desa kamu.”
"Terus ke utaranya naik apa entar? Kan agak jauh?"
"Dijemput kok, Sal. Kalau nggak dijemput entar minta Paman anterin."
"Emang Paman kamu di mana rumahnya?"
"Disitu," jawab Manda sambil menunjuk salah satu rumah tetanggaku.
"Lha itu kan rumah Paman Janto, kamu keponakannya, ya?"
"Ya, Paman Janto adalah adik dari Ibu Manda," jawab Manda dengan senyum kecil.
Senengnya hatiku bisa mendapatkan teman baru. Sejak saat itu kami sering berangkat dan pulang bareng. Walau beda kelas, tetapi di antara kami saling menunggu satu sama lain.
Saling berbagi cerita maupun bertukar tugas sekolah, tetapi Hana tetaplah temanku di dalam kelas. Teman yang selalu setia buat bertukar pikiran apalagi saat ulangan. Wuih kompaknya kalau lagi nyontek. Hayoo siapa yang tak pernah nyontek?
🍂🍂
Hari paling enak buat bersantai dan berbuat sesuka hati, apalagi kalau bukan hari minggu.
"Kak, ada uang nggak?" tanya Arga sambil mengoyang-goyangkan tubuhku yang lagi rebahan.
"Buat apa sih, Ar. Kamu 'kan sudah sarapan tadi."
"Ini 'kan hari minggu, Kak."
"Mang kenapa kalau hari minggu?"
"Mainlah sama teman-teman kampung, kalau haus apa yang buat beli es. Arga nggak punya uang, Kak," rengek Arga dengan wajah memelas.
"Kebiasaan kamu, kalau dikasih uang saku tak pernah sisa, nih!" ketusku sambil menyodorkan uang ke Arga. Walau tak banyak, tetapi cukuplah buat beli es dan jajan.
Walau aku kadang suka memarahinya, tetapi tetap hati ini tak tega melihatnya saat merengek.
"Hay! Nggak salam langsung saja ngacir," teriakku yang melihat Arga berlari kabur keluar rumah.
"Tanpa terima kasih pula, awas entar kalau pulang." Akupun ngomel-ngomel macam mak-mak.
Seperti apapun hariku sepi tanpa dia. Walau sering berantem, tetapi hal itulah yang sering membuat kangen. Tentang pekerjaan rumah sudah menjadi tugasku. Anggap saja sebagai balas budi ke orang tua dan membantu Ibu. Biar nggak dibilang malas oleh calon mertua. 😁
* Prinsip membedakan cara berpikir manusia dan tujuan hidupnya by Salwa *
KAMU SEDANG MEMBACA
PUPUS
Teen FictionSalwa, anak dari keluarga biasa yang kehilangan sahabat hati dan di saat dia ingin berjuang meraih cita-cita. Tuhan memberikan jalan lain. Perjalanan hidup seperti apakah yang harus Salwa terima di masa remajanya? Yuk, tengok kisah gadis polos yang...