Kelas Baru

0 0 0
                                    


* Teman bukan hanya sekedar kata
   Mengerti dan memahami
   Mendengar dan merasakan
   Sejati sulit didapat
   Tetapi teman banyak dicari
   Sedang sahabat sulit didapati *

Hati Argana begitu gembira karena keinginan untuk sekolah di sekolahan favorit terkabul. Wajahnya terlihat begitu ceria dan penuh semangat. Sepatu dan tas baru semakin membuat rasa percaya dirinya bertambah.

"Sudah ok belum, Kak?" tanyanya sambil menyisir rambut.

Aku pun tersenyum melihat gaya barunya.

"Cakep dan memesona," jawabku begitu antusias.

Dia pun membalikkan badannya kembali menghadap cermin.

"Selamat datang di sekolah baru," ucapnya dengan penuh bangga bergaya.

"Bismillah dan jangan lupa salim Ayah-Ibu," sahutku memberi semangat.

"Siap, Kakakku," jawabnya sambil bergaya memberi hormat.

Dia kini sudah beranjak remaja, tahu bergaya dan bersikap.

"Semoga kelak kamu tetap jadi anak yang sholeh dan membanggakan," batinku saat melihat Arga melangkahkan kaki berangkat sekolah.

Sikap disiplin ayah-ibu menurun ke kami, tepat waktu dan bertanggungjawab. Di mana pun berada manusia akan disegani karena sikapnya bukan tutur katanya. Karena sikap yang baik sudah pasti bisa bertutur kata baik, tetapi bertutur kata baik belum tentu memiliki sikap yang baik.

Tak selang lama keberangkatan Arga, Hana dan Manda datang menungguku untuk berangkat sekolah bersama. Aku bersyukur kampung berada di dekat jalan raya sehingga tak harus membuat diri ini di kejar-kejar waktu.

"Manda, kira-kira nanti kita bisa satu kelas nggak, ya?" tanya Hana yang sembari menunggu aku selesai sarapan.

"Semoga saja kita bertiga bisa satu kelas, ya?" jawab Manda.

"Wah, betapa senengnya aku bila bisa satu kelas bersama kalian," sahutku dari dalam rumah.

"Sarapan habisin dulu! Sudah siang, nih," teriak Hana.

"Tapi bener juga kata Salwa, Han. Kalau kita bisa satu kelas bakalan seru, nih," timpal Manda penuh semangat.

"Bukan seru lagi, tuh kelas bakal jadi pasar kalau ada kita," tawa Hana membuatku buru-buru menghabiskan sarapan.

"Ngobrolnya tungguin aku wey!" teriakku yang tak terima karena ketinggalan obrolan.

"Salah siapa makan lambat banget!" protes Manda.

Memang kalau cerewet dan jutek, aku bisa jadi jagonya, tetapi kalau masalah makan bisa paling lambat. Entahlah bagaimana aku mengunyah makanan itu, yang pasti belajar kata dokter harus 60 kali kunyahan.

***

"Kamu di kelas mana?"

"Ada aku nggak di kelas itu?"

"Kita satu kelas nggak?"

Terasa bising teriak teman-teman di lobi sekolahan yang kebingungan mencari kelasnya. Apakah kebiasaan sekolahan kami saja atau mungkin semua sekolahan SMA yang tiap kenaikan kelas selalu diacak murid-murid.

Namun, aku, Hana dan Manda begitu santainya melihat satu persatu tulisan di papan mading sekolahan itu.

"Sudah ketemu belum?" tanya Manda.

"Ini mata aku yang kabur atau memang nggak ada namaku, sih?" ucapku sambil mengucek-ngucek mata.

"Sudah baca berapa pengumuman sih kamu, sampai bilang begitu?" tanya Hana kepadaku.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Oct 07, 2021 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

PUPUSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang