* Jerami terbang menyambut pagi
Kicau burung mengalun merdu
Kawan hati jangan kau risau
Kita bersama melepas angan menggapai rindu *"Heleh kamu, Sal. Coret-coret puisi ala bau-bau bucin." Hana mengomel seperti mak-mak saat melihat bukuku yang penuh dengan kata-kata puitis.
"Kamu sudah sarapan belum sih, Han?
"Kenapa emangnya?" Hana balik bertanya.
"Makan dulu saja kalau lapar. Sepertinya lupa kalau kita kaum hawa diciptakan untuk ngebucin." Aku melirik Hana sambil tersenyum.
"Kumat kamu, ya? Atau jangan-jangan -" Hana menghentikan ucapannya dan melirikkan mata menuju meja sebelah.
Aku yang paham maksud Hana langsung memukulnya dengan buku yang kupegang.
"Aow! Sakit tahu," lirihnya.
"Awas godain lagi," ucapku sambil mengibaskan rambut bergaya sok sinis.
"Malu boleh, tetapi jangan jaim, entar nyesel sendiri kamu," ketus Hana balik.
"Hana sayang ... kita masih sekolah, ya?" ucapku bergaya sok manis.
"Iya Salwa sayang, Hana juga masih pingin sekolah," ledeknya membuat kami geli sendiri.
Entah apakah kami yang culun atau tak tahu apa itu cinta sedang mata sering bermain lirik sana lirik sini.
Mungkin jiwa yang masih labil dan tak ingin mengecewakan orang tua yang menjadikan kami masih seperti anak-anak polos.
***
Rasanya waktu berlalu begitu cepat. Tak terasa Argana sudah memasuki ujian akhir. Perjuangannya begitu keras untuk meraih kata juara.
Pengorbanan ayah ibu membuahkan hasil yang membanggakan. Keringat yang lelah itu diganti dengan hasil yang memuaskan oleh Argana.
Kata juara dikantongi dengan bangga di tangan Argana.
"Masya Allah, kamu hebat sekali Arga. Selamat ya, Dik," ucapku sambil memeluk erat Arga.
Airmata bahagia menetes begitu saja. "Kakak ingin kamu menjadi orang sukses, jangan sia-siakan kemampuanmu, ya?"
"Arga, terimakasih telah membuat Ayah bangga dengan prestasimu," ucap Ayah sambil memeluk kami. "Kalian adalah harta terindah yang Ayah miliki."
Indahnya pelukan dan ucapan Ayah, melebihi rumah dan perhiasan mewah.
"Ayah, Arga akan selalu berusaha menjadi yang terbaik untuk kalian." Argapun mencium tangan Ayah Ibu sebagai bakti dan rasa terima kasih.
Inilah keluarga kecil dan sederhana kami.
***
Lain Arga lain dengan diriku. Dia sudah tenang dengan ujiannya sedang diriku baru mau ujian kenaikan kelas.
Bagaimanapun yang namanya ujian pasti membuat hati deg-degan. Bukan ged-degan karena kata-kata mantan, tetapi deg-degan karena tegang soal ujian.
Belajar seharian, mondar-mandir bawa buku, tetapi dasar otakku yang agak lelet hingga tak ada satu pun yang menempel. Alhasil bertenggerlah aku di depan televisi.
"Salwa! Katanya belajar malah asik nonton televisi, sudah nggak bantuin Ibu alasan belajar, malah bersantai ria," omelan Ibu pun meluncur dengan licin di telingaku.
"Sekali-kali Salwa santailah, Bu. Entar kalau tegang terus bisa stres, nggak sayang nih sama Salwa," ucapku merajuk sambil tersenyum kecil dan menikmati acara televisi.
KAMU SEDANG MEMBACA
PUPUS
Teen FictionSalwa, anak dari keluarga biasa yang kehilangan sahabat hati dan di saat dia ingin berjuang meraih cita-cita. Tuhan memberikan jalan lain. Perjalanan hidup seperti apakah yang harus Salwa terima di masa remajanya? Yuk, tengok kisah gadis polos yang...