10

497 34 9
                                    

Suara ambulance terdengar membisingkan jalanan yang awalnya sunyi itu. Para tenaga medis berlarian mendorong troli pasien yang baru saja tiba. Tubuh yang penuh dengan luka dan juga darah, terbaring tak sadarkan diri.

' jadi, inikah akhirnya tuhan ? '

' Jangan dulu pergi, jangan usai secepat ini '

.

Pagi ini Kian sudah siap dengan pakain kerjanya. Setelah Jojo mengantarnya pulang semalam, ia sama sekali tidak tidur. Matanya tidak bisa terpejam begitu saja. Ia memutuskan untuk segera pergi bekerja, namun seorang wanita menahan langkahnya sesaat sebelum tangannya meraih pintu.

" Tante ? Kapan pulang ? " Tanya Kian setelah mengetahui sosok yang menghentikan langkahnya itu adalah mamah Feny.

" Kemarin Ki, ayo sarapan dulu " wanita itu berjalan dan Kian yang mengekorinya.

" Kok Kian gak tau sih, harusnya tante bilang kalau mau pulang biar Kian yang jemput " sambungnya sembari melangkahkan kakinya menuju meja makan yang terletak didapur.

"  Kata Feny kamu sibuk pacaran terus, makanya tante gak mau ganggu kamu "

Kian menatap sosok dihadapannya itu, bagaimana bisa Feny mengatakan hal itu pada mamahnya.

" Ih nggak tante, Kian sibuk kerja " ucapan Kian dengan memasang raut wajah yang cemberut dan dibalas dengan gelengan kepala oleh wanita yang kini tengah sibuk menyiapkan sarapan.

" Kan tante tau kalo Kian gak mau menjalin hubungan sama siapapun lagi, karena.. " tiba - tiba ucapannya terhenti.

" Jangan lupa bahagiain diri sendiri loh ya, jangan sampai pekerjaan membebani pikiranmu " Kian mengangguk lalu memakan sajian hidangan yang ada dihadapannya.

" Feny kemana ya tante ? " Tanya  Kian.

" Dia kemarin minta ijin sama tante gak bisa pulang, ada urusan mendadak sama bosnya. " Kian mengangguk paham lalu kembali memakan sarapannya.

Setelah menyelesaikan sarapannya, segera Kian berpamitan dan bergegas pergi menuju ke kantornya.

Sesampainya disana, terlihat beberapa karyawan yang sudah sibuk dengan pekerjaanya masing - masing. Ada juga yang masih senantiasa setia dengan secangkir teh atau kopi ditangannya. Kian segera menekan tombol lift dan menekannya kembali untuk menuju keruangannya bekerja.
Saat pintu lift terbuka, betapa terkejutnya ia saat ia melihat sosok dihadapannya yang berjalan kearahnya.
Tubuhnya gemetar, tatapannya terus tertuju pada seseorang yang kini mulai semakin mendekatinya. Ia mencoba menahan keseimbangan tubuhnya, mencoba terlihat biasa saja saat orang yang ia lihat itu kini tepat berdiri dihadapannya.
Matanya tak berkedip sedikitpun saat dada bidang milik Bian itu berhenti dihadapannya. Tubuhnya seakan mematung. Seolah ada yang menahannya untuk melangkah pergi.

" Kau menghalangi jalanku " suara itu tiba - tiba membuatnya tersadar. Dengan segera ia berjalan meninggalkan Bian, tanpa menatap kearahnya.

" Tunggu " langkahnya terhenti saat tangan itu meraih pergelangannya.
Dapat ia lihat dengan jelas genggamannya. Bian yang menyadari itu akhirnya melepaskan tangannya dari Kian.

Kian menarik nafas dalam - dalam lalu mencoba menguatkan dirinya.

" Ada apa ? " Ucap Kian.

" Aku pikir kamu tidak akan datang hari ini, tapi ternyata aku salah. "

" Maksudnya ? " Tanya Kian tak mengerti.

" Ternyata kamu masih sama seperti dulu, Lola " jawab Bian.

Kian segera memalingkan tubuhnya, menatap Bian dengan penuh keheranan. Ekspresinya itu lalu membuat Bian tersenyum mengejek. Kian semakin tidak paham lalu tanpa diduga tubuhnya ditarik kedalam pelukan Bian.

Kian terkejut, jantungnya berdegup sangat kencang. Apa yang terjadi saat ini membuatnya harus mengatur nafasnya yang naik turun. Bisa terdengar dengan jelas detak jantung Bian, hangat peluk yang sudah lama sekali ia rindukan. Kian masih mematung dalam pelukan Bian, ia sama sekali tidak membalas pelukan itu. Air matanya mulai mengalir begitu saja saat pelukan itu semakin erat ia rasakan. Ada rasa sesak didadanya, kerinduannya pada sosok yang selama ini ia cintai dan ia harapkan kembalinya akhirnya dapat memeluknya kembali.
Bertahun lamanya ia menanti, berhari - hari ia berharap Bian kembali dan kini rasanya seperti mimpi.

" Apa.. apa aku gak boleh bahagia ya Bi ? " Pertanyaan itu keluar begitu saja dari Kian, air mata yang kini mulai mengapung dipelupuk matanya.

Bian yang mendengar hal itu mulai melepaskan pelukannya pada Kian. Kakinya melangkah mundur, memberi jarak diantara keduanya. Ia menatap wajah Kian yang kini basah dengan air mata.

" Ma.. maaf " ucap Bian lalu pergi begitu saja meninggalkan Kian sendirian.
Kian masih mematung dengan air mata yang dari tadi mengalir, rasa sesak didadanya tak hentinya membuatnya harus meremas dadanya itu.

Setelah kejadian tadi pagi, Kian sama sekali tidak melihat keberadaan Bian didalam ruangannya. Bahkan saat jam kerja telah selesaipun ia tetap tidak melihatnya, seakan lenyap ditelan bumi.
Kian tersenyum tipis, kenapa sekarang ia harus bingung dengan menghilangnya sosok itu. Bukankah ini bukan pertama kalinya.

" Aku sudah memaafkanmu Bi, bahkan tanpa kamu minta sekalipun aku telah melakukannya. "

" Meski butuh ratusan hari dan juga haru, aku telah memaafkanmu tapi.. " ucapannya terhenti, Kian menarik napas panjang. Matanya kini mulai berkaca - kaca saat otaknya kembali memutar kejadian lima tahun lalu.
Kakinya mulai melemas hingga membuatnya harus bersimpuh dilantai. Kedua tangannya meremas keras paha mungil miliknya. Membiarkan air mata itu kembali membasahi wajahnya.

" Kalau boleh , aku hanya ingin tahu apa kesalahanku yang membuatmu harus pergi meninggalkanku. Kesalahan seperti apa yang membuatmu harus meninggalkanku dan juga membenciku seperti ini "

" Impianku hancur sebelum berhasil ku raih. Kau yang mengajariku tentang arti sebuah cinta, tentang bagaimana mencintai dan rasanya dicintai tapi kau juga yang pada akhirnya membuatku harus merasakan bagaimana rasanya memeluk duka "

Tanpa Kian sadari, ucapannya itu telah didengar oleh Bian dari balik pintu. Hatinya berdegup sangat kencang, ada rasa sesak menghantam dadanya saat isak tangis itu terdengar olehnya. Ingin sekali rasanya Bian menghampirinya, lalu memeluk tubuh Kian. Meminta maaf atas semua kesalahan yang ia lakukan, namun ia tidak sanggup untuk melakukannya.
Matanya kini mulai memanas. Ia hanya bisa merutuki dirinya sendiri, tentang bagaimana ia memperlakukan orang yang sangat ia cintai itu. Tentang bagaimana ia harus membuatnya harus menangis.

' Hanya dengan cara ini, biarin aku nepatin janjiku dulu Ki ' batin Bian.

Kian menyeka air matanya, kembali menguatkan diri untuk yang kesekian kalinya. Tubuhnya mulai bangkit dan segera pergi meninggalkan ruangan itu.
Sementara itu Bian yang dari tadi hanya bisa diam, akhirnya mulai membuka pintu saat suara langkah kaki Kian sudah tidak terdengar lagi.

" Aku takut kamu bakal benci sama aku, setelah mendengar kenyataan pahit yang selama ini aku rahasiakan Ki. Bahkan membayangkannya saja aku sangat takut "

" Rahasia ? "

" Kau ? "

Hi guys, lama banget ya aku gak up huhu
Maaf yaa kalau ceritanya ngegantung gini, aku bakal usahain ceritanya selesai walau alurnya yang gak jelas banget hehe
Kalau kalian suka, boleh banget di Voment yakkkk dengan senang hati aku terima 🤗

Memeluk dukaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang