Bab 1 : Tn. Charly

37 24 15
                                    

Alarm kembali berbunyi, untuk kali ini mampu membuatnya menggeliat lalu menguap

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Alarm kembali berbunyi, untuk kali ini mampu membuatnya menggeliat lalu menguap.

Setelah meraba benda yang masih berdering tersebut, jemarinya segera menggeser tombol, lalu keadaan, kembali senyap. Seperti yang sudah-sudah, ia akan berusaha bangun sebisa mungkin setelah alarm yang ke enam itu.

Melangkah gontai, kakinya berhenti di depan cermin setinggi tubuhnya. Matanya membuka agak lebar, “Wow! Kau seperti orang gila, Del!” katanya, lalu meringis cukup lama sambil terus memperhatikan pantulan dirinya.

Ternyata, ia lupa mengenakan pakaian tidur lengkap, atasan piama lengan panjang, dipadukan dengan celana sport seluruh.

Suara bising tak berarti muncul dari arah belakang, sebuah rutinitas lama sebelum jam menunjukkan pukul Tujuh. Masih kurang setengah jam lagi. Syukurlah, kepulan asap beraroma lezat lebih dulu menenangkan lewat indra penciuman.

Seketika itu pula meja makan mulai dipadati oleh dua gelas susu putih, semangkuk besar Sup Ceker dan, nasi.

“Gosok gigi dulu, Del.”

“Sudah berkumur, Bu,” jawabnya, menyendokkan kuah ke dalam nasi.
Wanita berusia 45 Tahun itu, menggeleng,

“Gosok gigi, bukan kumur!”

“Nanti kalau seledri menempel di gigi bagaimana? Apa Dela harus menyikat dua kali nanti?” katanya, sambil menahan senyum saat mendapati Ibunya, mendengus.

“Jangan lupa antarkan ini ke Tantemu. Kasihan dia, aku terus merepotkannya ....”

Dela, menelan nasi yang masih kasar di mulutnya, hingga terdengar bunyi glek yang cukup menyakitkan. Lalu tatapannya, menelisik sosok di depannya yang tengah memandang jauh keluar jendela, dengan jemari menggenggam erat pegangan rantang besi.

“Messie sudah delapan tahun, Bu, dia bisa pup sendiri, makan sendiri, dan tidur tepat waktu—“

“Tetap saja, Del, itu merepotkannya,” tukasnya, seraya mendesah pelan. “Saat perut Reni membesar nanti, Ibu akan mengambil cuti.”

Reni adalah mantan adik iparnya yang tengah mengandung. Tidak disangka karena hidup sebatang kara, membuat Reni tetap mengikat kekerabatan dengan keluarga almarhum suaminya.

Bahkan, ia memutuskan meninggali kontrakan yang hanya berjarak datu rumah dari rumah yang pernah ia tinggali dulu, sebelum kembali menjadi istri laki-laki berasal dari Kalimantan, lalu mulailah lembaran baru kehidupan setelah sekian tahun tak lepas dari bayangan mantan suami.

Dela tersenyum, tangannya meletakkan sendok di samping mangkuk, lalu mengangguk sekali namun tegas. “Ibu tenang saja. Aku akan meminta—“

“Lembur lagi?” selanya wanita yang dipanggil Ibu itu secara cepat.

“I—ya, y—ya, tambahan waktu dua sampai tiga jam itu sama sekali tidak berarti untukku, Bu.” Membasahi bibir, kemudian berdeham karena masih mendapati tatapan dalam dari wanita itu. “Hanya sampai Tante Rani melahirkan kan, Bu?” Tersenyum, seolah ia ingin menyampaikan bahwa—benar, pilihannya itu bukan sebuah gerakan besar dan berarti.

“Baiklah,” katanya kemudian, setelah berdiam cukup lama. Menepuk-nepuk tutup rantang. “Jangan lupa antarkan ini nanti. Ibu mau berangkat,”

“Bagaimana keadaan Kakek itu?”

“Masih sama.”

“Apa Dokter masih sering berkunjung?”

“Bukan hanya sering, tapi Dokter itu seperti tidur di sana. Ibu hampir melihatnya setiap
saat.”

“Memeriksa?” Dela memajukan wajah, setelah selesai mencuci peralatan makan yang hanya beberapa.

Mengangguk. “Tentu saja, apalagi yang akan dilakukannya? Ibu kembali dibolehkan masuk saat Dokter itu selesai. Tapi menurutku, belum ada perkembangan baik dari Tuan Charly.”

Dela memandang Ibunya dengan lekat, kembali menarik kesimpulan bahwa wanita itu punya hati yang luas. Hanya dalam pertemuan selama dua bulan, namun dapat dilihat sorot mata penuh kasih sayang, saat wanita itu menceritakan majikannya, yang gempar mencari Perawat Lansia.

“Masih sama parahnya seperti dulu?”

Mengangguk. “Bahkan Ibu lihat banyak luka baru di beberapa titik.”

Dela menghela nafas. “Bu, aku sedikit cemas ... Ibu tahu kan, itu penyakit menular yang sangat ganas.”

Menoleh, wanita itu balik menatap anak perempuannya, kemudian tersenyum lemah. “Ibu mengikuti arahan untuk menjaga jarak, bahkan Ibu selalu berganti pakaian setelah selesai menyuapi atau memandikannya.”

Ya, Dela tahu itu. Bahkan para Perawat Lansia akan mengenakan sarung tangan, dan menjaga jarak minimal satu meter lebih, segera membersihkan tangan setelah selesai dan mencuci pakaian dengan detergen khusus mengandung antibakteri.

“Apa dia tampak baik-baik saja, Bu?”  tanyanya, sambil mengingat dan termenung. “Media memberitakannya secara terus-menerus. Aku tahu ia begitu populer sebagai pencetus sekaligus pendiri GDIS. Tapi, Bu ... bukankah itu menyakitkan?”

Menggelengkan kepala. “Tidak ada akses berita di sana. Anak-anak Tuan Charly merahasiakan itu darinya, agar ia tidak semakin tertekan. Kadang aku merasa, ia bisa saja depresi.

“Tapi, kenapa mereka melakukan itu, Bu. Maksudnya, anak-anak Tuan Charly ....”

“Seperti yang Ibu bilang, agar berita-berita kelewat provokatif itu tidak memperburuk keadaan. Ibu saja kaget saat beberapa pihak menyarankan Tuan Carly agar diletakkan di ruangan bawah tanah atau, diasingkan ke tempat terpencil.”

“APA? KENAPA MEREKA BEGITU JAHAT? BERANI SEKA—“

“Mereka mati.”

“Ap—“

“Mereka yang mengatakan ide gila itu, dihukum mati.”

Dela membisu. Baru saja dadanya naik-turun saat mengetahui ada begitu banyak mulut-mulut jahat yang dengan ringan berani melukai hati salah satu orang berpengaruh besar dalam Pendidikan di Indonesia, juga ikut andil dalam bermacam program kemanusiaan.

Namun, saat mengetahui fakta jika mulut-mulut itu disumpal oleh tebasan nyawa, ia tak lagi bisa berpikir dari sisi positif. Ulah siapa itu? Benarkah anak-anak Charly itu monster yang memerangkap sebagai manusia elegan?

Ataukah, justru Charly sendiri yang hatinya sudah tertutup oleh kabut depresi sehingga melupakan bahwa ia dulunya sangat berperikemanusiaan?

Pertanyaan-pertanyaan muncul, Dela merasa otaknya akan meledak.

“Kau jangan berpikiran macam-macam! Kita tidak seharusnya mencampuri keputusan mereka, Del.” Menjeda, lalu mengambil nafas dalam. “Tuan Charly dan keluarganya itu orang baik. Percayalah."

Dela menipiskan bibir, kemudian mengangguk singkat.

***

Pour La Vie Delaney Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang