Bab 5 : Kelas

30 26 32
                                    

"Waw

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Waw ...!"

"Hai!"

Berkedip sebentar, namun gesturenya tidak menunjukkan sebuah kecanggungan. Dengan gerakan meloloskan gantungan ransel dari bahu, ia membalas singkat sapaan-sapaan tersebut. Selanjutnya, ia tak akan menatap ke mana pun lagi.

Kau grogi?
Dela mencibir suara hatinya sendiri. Sangat tidak sopan karena tiba-tiba hadir saat ia mulai yakin dengan suasana. Padahal, sejak tadi ia berusaha untuk bercakap-cakap dalam diam, berharap dirinya yang berdiam di dalam hati mengeluarkan sepatah kata yang membuatnya semangat. Ya, benar. Siapa yang akan memberikan semangat kalau bukan diri sendiri? Ini lebih menyehatkan, ketimbang menunggu angin lalu.

Dari sudut matanya, ia bisa menangkap bayangan cowok yang terduduk seperti manekin hidup. Kakinya yang panjang menjulang sampai menembus kolong meja, ujungnya dibalut pantofel hitam mengkilap. Sudah dikatakan bahwa Dela tidak akan menatap ke mana pun sampai waktu yang tidak ditentukan. Tapi dari siluet yang ditangkap sang ekor mata, sepertinya, itu adalah kekasih dari Jill.

Masih ingat Jill, kan?

Entahlah, saat kepalanya mulai miring, bertepatan dengan itu pula dari pintu muncul dua sosok gadis.

"Nah kan! Apa aku bilang! Em, dia sudah mencuri pandang pada Matte! Dia sangat ...." Tidak mampu meneruskan kata-kata karena nadanya seperti sudah berada di pucuk.

Dela mengembuskan nafas pasrah.
"Kau terlalu berlebihan, Jilly! Dia sama sekali tidak ingin menatap Matte! Siapa tahu dia ingin ..." Emily menjeda kalimatnya dengan nada menggantung, itu membuat seisi kelas penasaran. Ah, ternyata mereka memang sudah menjadi pusat perhatian. Seketika jentikan jari di udara dilakukannya, "Arraz! Cowok di sini bukan hanya Matte, Jilly! Kau memang kebanyakan drama."

"Em!" geramnya. "Kau akhir-akhir ini memang jahat padaku!"

Emily mencibir. Jujur saja, bingkai wajah yang tomboi itu memang kelihatan sangat menyebalkan.

"G-Star memang diisi oleh mahluk seperti dewa dan dewi. Tapi kadang-kadang, salah satunya seperti orang gila ...." ungkapnya berbisik.

"EM!" Dengan mulut mengerucut lucu dan tingkah yang tidak setengah-setengah saat memperingatkan orang lain soal siapa yang telah diklaim sebagai miliknya, mungkin sebagai perkiraan akan mengira kalau selanjutnya gadis itu akan bergelayut manja atau meminta pembelaan pada cowok bernama Kai--dengan mimik menjijikan karena kelewat lebay, tetapi nyatanya tidak, Jill terlalu istimewa dan berkelas untuk melakukan hal murahan seperti itu, meski sorot matanya tidak bisa bohong.

Jill kembali mencebik, begitu pun dengan Emily. Keduanya seakan tengah berperang batin. Baru setelah Emily melengos, menyembunyikan tawa kecilnya, ia mulai berfokus pada seseorang yang duduk dengan nyaman di samping.

"Jangan hiraukan dia."

Kembali melirik ke daerah belakang, tempat di mana dua orang tengah mengobrol secara tidak sefrekuensi. Dela menarik bibirnya, menjawab, "Jill baik."

Emily tidak langsung menyahut. Saat kembali sepasang manik tersebut terarah ke belakang, justru pandangannya menguar tatapan lain. "Ya, dia memang baik. Kau menilainya dengan sangat baik. Kukira ... kau akan jengkel."

"Sedikit."

Tawa keduanya bersambut.

Setelah beberapa menit berselang, Dela terbeliak dengan fakta yang baru diingatnya. Mungkin karena sejak tadi mereka selalu bersama, bahwa pada dasarnya mereka, atau G-Star, bukanlah sekumpulan pelajar yang berada dalam satu kelas. Justru, kelimanya berpencar dalam tiga kelas. Jill bersama Emma, sedangkan Arraz sendirian di kelas A-070.

Jangan tanyakan pada Dela, ia berada dalam kelas bersama siapa.

"Dela, tolong maju sebentar ...! Ayo perkenalan dirimu."

Sebelum berjalan ke bagian muka kelas, lebih dulu tubuhnya membungkuk setajam 90°. Berjalan pelan ke depan, mengedarkan pandangan ke setiap penjuru secara cepat, tanpa berniat menatap mereka semua satu per satu.

"Perkenalkan, nama saya Delaney Anisha Andreaz," jedanya sebentar. "17 tahun ...."

***

[Kau bersekolah sampai sore?]
Kepalanya tertunduk oleh pertanyaan tersebut, lantas senyuman singkatnya muncul seketika disertai bingkai kecil di bawah kelopak mata.

[Iya, Bu. Apa apa?] Dugaannya adalah sang ibu akan pulang kerja larut malam atau si kecil yang seperti monster akan merindukannya.

[Mampir minimarket sebentar, ya ...] Pesan tersebut disusul oleh beberapa list, stok bahan masakan di kulkas habis.

Tubuh setinggi 160 cm-nya menegak, sehingga kembali jemarinya harus sibuk menarik-narik ujung rok. Sangat pendek baginya, bahkan kulit pahanya terasa tergelitik saat bersentuhan dengan benda bertekstur kasar, angin pun membuang kulit di sekitar sana jadi meremang.

"Bolehkah pakai stoking ..."
Ternyata, gumamannya menimbulkan suara tanpa disadari.

"Sayangnya tidak boleh."

Dela menoleh, kemudian tersenyum. "Mm, aku hanya kurang terbiasa."

"Memangnya, rok sekolahmu sebelumnya seperti apa?"

"Seperti ..." Dela tak mendapatkan jawaban hanya dengan memutarkan bola matanya. Baru setelah mengetuk beberapa kali pada layar virtual miliknya, gadis itu agak mendekat. "Seperti ini." Entah kenapa suaranya jadi menciut. "Sama-sama pendek, ya?" katanya lagi, diakhiri kekehan.

Cowok tersebut melepas permen dari mulutnya hingga menghasilkan bunyi blup. "Em ... menurutku memang yang sekarang lebih pendek dua senti. Benar, kau hanya perlu terbiasa. Tubuhmu ..." Ia mulai menilai, tubuhnya menjauh dan masih belum melahap lagi si permen, "sangat cantik. Kau tidak perlu khawatir!" riangnya.
Benar, kalimat tersebut diucapkan dengan nada riang. Dela jadi merasa aneh.

"Kau ..."

"Aku Arras," tukasnya cepat. Sadar akan arah pandangan lawan bicaranya tersebut, ia ikut melurus, "nah, dia Matte. Matteo."

Seketika, ia harus memastikan tidak ada Jill.

Karena namanya disebut, orang bersangkutan jadi mendongak, meninggalkan tatapan lekat dari ponselnya. Memerhatikan keduanya, ah bukan, tapi memerhatikan Dela dengan biasa saja.

Pour La Vie Delaney Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang