SATU

871 70 4
                                    

---“A cousin is a childhood playmate who grows up to be a forever friend.”—

*****

        “Kami senang kau telah kembali dan menyelesaikan S2 di umurmu yang masih dua puluh tahun, Zayn.” ucap seorang pria paruh baya yang sedang menyantap hidangannya.

          “Ini semua juga berkat bantuan Paman, aku sangat berterima kasih untuk itu.” jawab pria yang mengenakan jas hitam rapi itu sambil tersenyum simpul.

          “Bagaimana dengan, um.. kekasihmu?” kini giliran wanita paruh baya dengan gaun ungu mewah yang membaluti tubuhnya.

          “Astaga Bibi masih saja membahas soal itu,” jawabnya sambil terkekeh. “Aku belum berfikir sejauh itu. Lagipula, aku masih harus mempertimbangkan banyaknya tawaran kerja dari perusahaan-perusahaan besar di Amerika.” ucapnya sambil tersenyum tipis.

          “Dia tidak laku, Ma.” celetuk seorang pria lain yang mengenakan jas hitam serupa dan diikuti tawa oleh empat orang lainnya.

          Malam itu, kepulangan seorang Zayn Malik dari Amerika disambut hangat oleh Paman, Bibi, dan kedua sepupunya. Sudah empat tahun lamanya Zayn meninggalkan Manchester untuk pergi melanjutkan studinya di Amerika.

          “Aku yakin pasti banyak gadis di luar sana yang sangat tergila-gila padamu.” ujar seorang gadis manis menyela pembicaraan. Gadis itu mengenakan gaun hitam yang begitu elegan yang membuatnya tampak lebih menarik.

          Zayn yang mendengar hal itu mengedipkan sebelah matanya pada gadis yang duduk berseberangan dengannya.

          “Zayn itu sangat pintar dan tampan, tidak sepertimu, Connor.” ucap gadis itu lagi sambil melemparkan tatapan meledek pada pria di sebelahnya.

          Dan setelah itu, mereka tertawa bersama. Menikmati malam yang begitu hangat dengan kepulangan Zayn. Melepas kerinduan dengan cukup puas karena mereka dapat melihat Zayn tertawa seperti ini kembali.

 

Tertawa seperti ini kembali.

 

          Memang sudah empat tahun lamanya tawaan Zayn yang begitu khas tak menghiasi raut wajahnya. Ada satu alasan mengapa Zayn memilih untuk melanjutkan studinya di Amerika. Alasan yang membuat Zayn terpuruk dan memilih untuk meninggalkan Manchester—semata-mata untuk mengubur kenangan masa kecilnya. Kenangan masa kecil saat pria itu masih dalam lindungan kedua orang tuanya. Dan sekarang, inilah Zayn. Kembali dan mengukir kehidupan barunya di Manchester tanpa kedua orang tuanya.

          Zayn yakin kedua orang tuanya sedang tersenyum bangga melihat kesuksesan yang sudah ia raih di usianya yang masih dua puluh tahun. Tersenyum bangga di satu tempat abadi yang menyimpan sejuta keindahan.

          “Melamunkan seorang gadis?”

          Zayn tersentak dalam lamunannya saat dirasakannya tangan seorang gadis menyentuh punggung tangannya. Mata gadis itu berbinar dan senyuman tipis yang mengembang di wajahnya terlihat sangat khas dan manis. Tiga orang lainnya ikut menatap Zayn seakan menuntut jawaban atas pertanyaan gadis tadi.

          “Tidak, maksudku.. seriously apa tidak ada topik lain selain membicarakan seorang ‘gadis’?”

          “Beberapa tahun ke depan kau akan menikah. Astaga aku sangat tak sabar untuk mengetahui siapa gadis beruntung yang akan dipilih olehmu!” ucap gadis itu dengan antusias.

He Is My CousinTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang