Kasih Asmara

563 23 0
                                    

Tettt ...

Bel tanda pulang berbunyi. Kasih bergegas mengemas alat tulisnya ke dalam tas yang sudah hampir tak layak lagi untuk dipakai. Tapi, mau bagaimana lagi? Ia hanya memiliki satu tas itu. Ia tak mau membebankan ayahnya untuk membelikan tas baru untuknya. Untuk makan setiap hari saja, kadang susah. Apalagi untuk beli tas baru.

Guru dan murid-murid satu per satu keluar dari ruang kelas.

Tiga gadis berdiri di depan bangku Kasih. Tinggal mereka berempat.

"Heh! Kerjain PR-ku!" bentak Laura, gadis berambut panjang sembari dengan permen lolypop di mulutnya.

Kasih mendongak.

"T-tapi ...."

"Nggak ada tapi-tapian!" tukas Laura.

"Nih, kerjain PR-ku juga!" titah Mayra, teman Laura sembari melempar buku ke arah Kasih dengan kasar hingga membuat Kasih terperanjat.

"Aku juga, nih!" sambung Gladys, gadis berambut pendek dan berkacamata.

Mereka bertiga terkekeh sinis. Namun Kasih hanya diam dan menunduk. Hampir setiap hari Kasih diperlakukan seperti itu oleh Laura dan kedua temannya.

"Heh! Malah diem!" gertak Laura sembari menggebrak meja. Seketika Kasih gelagapan mendengar gertakan dan gebrakan meja oleh Laura.

"I-iya." Nada suara Kasih terbata-bata. Ia tak bisa menolak perintah Laura dan gengnya.

Laura menarik kedua pipi Kasih hingga membuat bibir Kasih maju ke depan. Ia mendapat tatapan tajam dari Laura.

"Awas kalo nggak dikerjain, aku bakal minta papaku buat ngeluarin kamu dari sekolah!" ancam Laura. Ia menepis pipi Kasih dengan kasar.

Kasih hanya diam. Ia tak bisa apa-apa selain menuruti perintah Laura dan gengnya. Ia tak mau dikeluarkan dari sekolah. Ia tahu, Laura tak main-main dengan ancamannya. Laura bisa melakukan apa saja karena dia anak orang kaya. Bisa saja ia membayar mahal pihak sekolah untuk mengeluarkan Kasih. Dengan banyak uang, dia bisa melakukan segalanya, termasuk tindakan yang semena-mena terhadap orang lain.

Laura dan gengnya terkekeh sinis. Lalu, mereka melenggang meninggalkan Kasih sendirian di dalam kelas.

Kasih membereskan buku milik Laura dan gengnya. Ia membawa tiga buku itu di depan dadanya. Lalu, ia menyambar tasnya dan diletakkannya di punggung dan bergegas keluar dari ruang kelas.

"Kasih!!!" seru seseorang memanggil namanya saat ia hendak melenggang dari depan pintu kelas.

Kasih menoleh ke asal suara. "Nayara?" Ia tersenyum. Ternyata yang memanggilnya adalah Nayara, sahabatnya.

Nayara berlari kecil dan menghampiri Kasih.

"Pulang bareng, yuk." Kelas Kasih dan Nayara berbeda. Itulah sebabnya mereka jarang pulang bersama.

"Ayo!" ucap Kasih dengan girangnya.

Sorot mata Nayara tertuju pada buku yang dibawa Kasih.

"Kenapa bukunya nggak dimasukkin ke tas?" tanya Nayara. Ia heran, padahal fungsi tas itu tempat alat tulis. Kenapa Kasih malah membawa buku di tangannya?

"Emmm ... ini ...."

"Sini, biar aku masukkin ke tas kamu." Nayara langsung menyambar buku yang dibawa Kasih sebelum Kasih menyelesaikan ucapannya.

"Laura? Mayra? Gladys?" Nayara mengernyitkan dahi membaca nama-nama pemilik buku yang dibawa Nayara. Sontak, Nayara menoleh ke arah Kasih dengan tatapan serius.

"Mereka nyuruh kamu ngerjain PR mereka lagi?" tanya Nayara dengan sorot mata yang penuh tuntutan.

Kasih membisu.

"Kasih, jawab aku!" ucap Nayara dengan nada suara agak meninggi.

Lalu, Kasih menganggukkan kepalanya dengan pelan.

"Kenapa kamu masih mau disuruh-suruh mereka, Kasih? Kamu itu bukan babu! Kamu nggak pantes diperlakukan mereka seperti itu!" Nayara naik pitam melihat Kasih diperlakukan seolah-olah seperti babu.

"Nggak papa kok, Nayara." Kasih mengelus lengan Nayara.

Nayara menggelengkan kepalanya, tak habis pikir dengan jalan pikiran Kasih yang selalu diam diperlakukan tak baik di sekolah.

"Nggak bisa dibiarin terus-terusan, Kasih! Mereka pasti ngelunjak! Harga diri kamu terus diinjak-injak sama mereka! Kita harus lapor ke pihak sekolah!" tegas Nayara. Dia sudah benar-benar emosi sekarang. Jika dulu dia hanya diam memantau, tapi sekarang dia akan bertindak dengan tegas.

"Nayara, jangan memperpanjang masalah ini. Aku mohon. Aku nggak papa diperlakukan kayak gitu. Aku nggak mau dikeluarin dari sekolah." Tampak raut wajah Kasih yang begitu memohon kepada Nayara.

"Dikeluarin dari sekolah? Apa maksud kamu, Kasih?" tanya Nayara dengan terheran-heran hingga ia mengernyitkan dahi.

"Mereka semua anak orang kaya, Nayara. Mereka bisa ngelakuin apa aja yang mereka mau, termasuk membayar mahal pihak sekolah buat ngeluarin aku. Sedangkan, aku ini anak orang yang kurang mampu. Aku bisa apa, Nayara?" ucap Kasih dengan nada suara yang bergetar menahan tangis.

Nayara bungkam. Ia tak bisa berkata-kata. Ia sangat tahu kondisi sahabatnya itu. Tapi, apa masalah ini dibiarkan begitu saja?

Mata Nayara berkaca-kaca. Sontak, ia mendekap tubuh Kasih.

"Sabar ya, Kasih." Nayara mengelus punggung Kasih. Ia tak dapat menyembunyikan rasa ibanya kepada sahabatnya itu. Sebesar itu rasa sabar yang Kasih miliki. Di dunia ini, adakah orang sesabar Kasih dalam menghadapi segala ujian dalam hidup?

"Kasih, tas kamu rusak," ucap Nayara ketika sorot matanya tertuju pada tas punggung milik Kasih yang sudah tak layak pakai. Kasih hanya membalas dengan senyuman.

"Nggak papa, Nayara. Yang penting masih bisa dipakai," ucap Kasih meyakinkan.

Nayara menggelengkan kepala. "Kasih, tas kamu udah nggak layak pakai! Nanti aku belikan kamu tas yang baru, ya." Nayara tersenyum.

Dengan cepat Kasih menggeleng. "Nggak usah, Nayara. Jangan repot-repot. Lagipula, aku nggak bisa ganti uangmu." Kasih menunduk lesu.

Nayara terkekeh. "Kasih ... Kasih. Kamu nggak usah bayar, aku kasih gratis buat kamu."

Kasih mendongak. "Tapi, Nayara ...."

"Pokoknya nggak boleh nolak!" Nayara menyerobot ucapan Kasih yang belum rampung. Kasih menatap haru.

"Kenapa kamu baik banget sama aku, Nayara? Kenapa kamu mau bersahabat sama aku? Aku ini nggak punya apa-apa. Sedangkan kamu ...."

"Husssttt!!!" Nayara meletakkan jari telunjuknya di bibir Kasih, mengisyaratkan Kasih untuk tidak melanjutkan ucapannya.

"Kapan kita pulang?" Nayara terkekeh. Sontak, Kasih pun ikut terkekeh. Ia baru ingat kalau mereka berdua berbincang cukup lama hingga mereka berdua tak kunjung pulang.

Kasih dan Nayara berjalan menuju ke gerbang sekolah. Di sana, sopir pribadi Nayara sudah menunggu.

"Kasih, aku anter kamu pulang," ucap Nayara.

Kasih terperanjat. "Nggak usah, Nayara. Aku pulang naik angkot aja. Lagipula, rumah kita beda arah." Kasih menolak ajakan Nayara untuk pulang bersamanya.

"Aku nggak suka ditolak! Pokoknya kamu harus terima! Tadi aku yang ngajak kamu pulang bareng, terus kamu setuju. Masa sekarang ditolak? Huh! Dasar labil!" Nayara memaksa Kasih untuk menerima ajakannya untuk pulang bersamanya. Nayara memanyunkan bibirnya.

Kasih tertawa kecil. Pasrah, ia mengangguk dan menerima ajakan Nayara untuk pulang bersamanya.

Ibu PenggantiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang