Rahasia?

81 8 0
                                    

Kasih dan Nayara keluar dari ruangan Bu Indah. Setelah menutup pintu, Kasih menghela napas panjang. Kali ini ia benar-benar lega sekarang. Tak sadar hingga air matanya kembali membanjiri pipi. Tak tahu harus berkata apa lagi, hanya buliran air matanya yang menggambarkan kebahagaiannya sekarang.

Nayara mengelus lembut punggung Kasih. "Hasil dari kesabaran yang dulu pernah kamu tanam, Kasih. Kamu hebat bisa sesabar ini," ucap Nayara yang turut menangis melihat Kasih.

Kasih menoleh dan memeluk Nayara. "Makasih banyak, Nayara. Kamu udah bantu aku melewati semuanya." Kasih menangis sesenggukan hingga membuat baju seragam Nayara basah karena air matanya.

"Ayo, kita ke kelas. Pasti bentar lagi guru masuk ke kelas," ajak Nayara. Kasih mengangguk. Lalu, mereka melenggang dan masuk ke dalam kelas masing-masing.

Melihat Kasih yang masuk ke dalam kelas, Laura, Gladys, dan Mayra menatap Kasih dengan tatapan tak suka. Namun, Kasih tak menggubrisnya. Dia bergegas duduk di tempat duduknya.

"Akan aku beri kamu pelajaran, Kasih!" umpat Laura dalam hati dengan api yang bergejolak di dalam dendamnya.

***

Tettt ...

Bel tanda pulang telah berbunyi. Semua murid satu per satu keluar dari kelas setelah guru keluar. Laura dan gengnya langsung keluar dari kelas tanpa mengganggu Kasih seperti biasanya. Hanya tatapan tajam yang Laura tampilkan ketika melihat Kasih.

Setelah Laura dan gengnya keluar dari kelas, Kasih menghela napas lega. "Semoga setelah ini, masalahnya selesai," ucap Kasih penuh harap.

"Kasih?" panggil Nayara yang baru saja berdiri di depan pintu kelas Kasih. Kasih tersenyum.

Ia beranjak berdiri dan menyelempangkan tasnya di punggung. Lalu, ia berjalan ke arah Nayara. Baru saja mereka hendak menuju ke ruangan Bu Indah, tapi Bu Indah tampak sedang berjalan ke arah mereka berdua sembari menenteng tas dan kunci mobil di tangannya.

"Ayo Kasih, Nayara. Sekarang juga kita ke rumah Bu Melati," ucap Bu Indah ketika sudah berdiri di depan Kasih dan Nayara. Kasih dan Nayara mengangguk bersamaan.

Kasih yang hendak berjalan, namun tiba-tiba ia merasakan kepalanya pusing. Wajahnya mulai pucat pasi. Kasih yang tengah memegangi pelipisnya, sontak mengundang keheranan Nayara dan Bu Indah. "Kasih, kamu kenapa?" tanya Nayara sembari memegangi tubuh Kasih. Kasih menggeleng. "Nggak papa kok, Nay. Cuma pusing aja," ucap Kasih. "Kasih tidak apa-apa?" Giliran Bu Indah yang bertanya. "Kasih nggak papa kok, Bu," jawab Kasih dengan jawaban yang sama.

"Kenapa rasa pusingnya kambuh lagi?" batin Kasih. "Yasudah, ayo kita ke rumah Bu Melati," ajak Bu Indah. Kasih dan Nayara mengangguk. Mereka bertiga berjalan menuju ke mobil dan bergegaslah mereka menuju ke rumah Bu Melati.

***

Sesampainya di rumah Bu Melati. Kasih mengetuk pintu rumah Bu Melati. "Iya, sebentar." Suara Bu Melati menyahut dari dalam rumah. Tak lama kemudian, Bu Melati membukakan pintu. Raut wajahnya tampak bingung ketika melihat Kasih, Nayara, dan Bu Indah yang datang ke rumahnya.

"Bu Indah? Kasih? Nayara?" sapa Bu Melati dengan ekspresi wajah yang terkejut. Kasih, Nayara, dan Bu Indah menyunggingkan senyum, pun Bu Melati yang juga membalas dengan senyuman. Kasih dan Nayara mencium tangan Bu Melati. Bu Melati dan Bu Indah saling bersalaman.

"Emmm ... silakan masuk," ucap Bu Melati mempersilakan mereka bertiga untuk masuk ke dalam rumahnya. Lalu, mereka bertiga berjalan masuk.

"Silakan duduk," titah Bu Melati. Lalu, mereka bertiga duduk di ruang tamu.

"Saya ke dapur dulu, permisi," pamit Bu Melati dan melenggang ke dapur.

Tanpa berkata apapun, Kasih, Nayara, dan Bu Indah hanya saling memandang dan melempar senyum satu sama lain.

Tak lama kemudian, Bu Melati datang dengan membawa tiga gelas air putih di atas nampan. "Silakan diminum. Maaf, saya hanya bisa menyediakan air putih untuk tamu," ucap Bu Melati tersenyum ramah.

Mereka bertiga pun turut tersenyum. "Tidak apa-apa, Bu Melati," ucap Bu Indah. Lalu, Bu Melati duduk dan meletakkan nampannya di atas meja.

"Emmm ... maaf, Bu Indah. Ada maksud apa kedatangan ibu, Kasih, dan Nayara ke sini?" tanya Bu Melati yang memulai pembicaraan.

Tampak Bu Indah, Kasih, dan Nayara saling berpandangan. "Emmm ... begini, Bu Melati. Kedatangan kami bertiga ke sini, terkhusus saya. Saya ...." Bu Indah menggantungkan ucapannya.

"Saya ingin meminta maaf kepada Bu Melati karena sudah mengeluarkan Bu Melati dari sekolah. Saya menyesal, Bu. Saya sudah disuap oleh orangtuanya Laura. Sekali lagi maafkan saya, Bu." Panjang lebar Bu Indah meminta maaf atas kesalahannya kepada Bu Melati.

Dengan hati yang lapang, Bu Melati tersenyum tipis. "Saya sudah memaafkan ibu." Bu Indah tersenyum lebar mendengarnya. "Bu Melati mau mengajar kembali di sekolah, kan?" tanya Bu Indah. Tampak Bu Melati terkejut.

"Bu Indah ... serius?" tanya Bu Melati tak percaya. Ia menatap Kasih dan Nayara. Mereka berdua menganggukkan kepalanya.

"Iya, saya serius." Bu Indah tersenyum.

"Alhamdulillah, iya saya mau mengajar lagi, Bu." Mata Bu Melati berkaca-kaca. Inilah yang ia harapkan, bisa mengajar kembali.

"Alhamdulillah," ucap syukur semua orang.

Benar kata pepatah. Orang baik pasti akan dikelilingi orang-orang yang baik. Kejahatan orang lain jangan dibalas dengan kejahatan pula, karena kau dan dia tak ada bedanya. Balaslah kejahatan dengan kebaikan, niscaya Allah akan menolongmu.

***

Tiba di rumah. Kasih mendapati ayahnya tengah duduk di ruang tamu sembari dengan secangkir teh.

"Assalamu'alaikum, Ayah." Kasih masuk ke dalam rumah ketika pintunya sudah terbuka lebar.

"Wa'alaikumussalam." Tampak ayahnya menyeruput teh manis yang diraciknya sendiri. Kasih mencium tangan ayahnya.

"Baru pulang, Nak?" tanya ayahnya kemudian. Kasih mengangguk pelan dan duduk.

"Kasih habis dari rumahnya Bu Melati, Yah." Kasih melepas tasnya.

"Bu Melati?" Ayahnya mengernyitkan dahi.

"Iya, Ayah. Bu Melati itu guru matematika di sekolahnya Kasih." Ayahnya mendengarkan cerita Kasih dengan cermat.

"Ayah tau nggak? Ibunya Bu Melati itu dulunya bidan. Tapi, sekarang sakit stroke. Namanya Bu Halimah," lanjut Kasih.

Uhuk ...

Ayahnya terbatuk ketika menyeruput teh manis. "Bu Halimah?" Ayahnya terkejut mendengar nama itu.

"Iya, Ayah." Kasih manggut-manggut.

"Bu Halimah? Apa dia bidan yang membantu istriku melahirkan Kasih dulu?" batin ayahnya Kasih.

"Ayah, ada apa?" tanya Kasih yang sontak membuyarkan lamunannya.

"Emmm ... nggak papa, Nak." Ayahnya tersenyum tipis.

"Nanti sore Kasih mau temenin ayah ke rumahnya Bu Melati?" tanya ayahnya. Sontak Kasih mengernyitkan dahi. "Emang mau ngapain, Yah?" tanya Kasih penasaran. "Nanti ayah ceritain semuanya," jawab ayahnya. Kasih hanya manggut-manggut.

Setelah itu, Kasih berpamitan masuk ke dalam kamar untuk berganti pakaian.

Di dalam kamar, rasa penasarannya masih merasuki pikirannya. Ia duduk di tepi ranjang. "Sebenarnya ada apa, sih? Apa ada yang disembunyiin ayah dariku?" Kasih bertanya-tanya dengan dirinya sendiri.

"Udahlah, nggak usah terlalu dipikirin. Nanti ayah juga bakal ceritain semuanya ke aku," ucap Kasih sembari menggeleng-gelengkan kepalanya.

Ibu PenggantiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang