Hidup Ini Tempat Perjuangan

75 8 2
                                    

Kasih sayang orangtua sepanjang masa. Ketika anak sakit, orangtualah yang merawat. Dan ketika orangtua sakit, giliran anaklah yang merawat. Berbaktilah dan berbalas budilah atas perjuangan mereka merawat dan membesarkan kita.

Mendengar suara benda jatuh ke lantai, sontak Kasih mendekatkan telinganya ke pintu rumah Bu Melati.

"Kalo kayak gini, gimana nasib kita ke depan?! Kamu udah dikeluarin dari sekolah! Gajiku aja nggak cukup buat makan kita sehari-hari!" Suara marah-marah seorang pria dari dalam rumah Bu Melati. Telinga Kasih maaih normal, meski lirih namun isakan tangis Bu Melati terdengar di telinganya.

"Maaf ya, Mas. Aku ...." Dengan kalimat yang menggantung dan nada suara yang bergetar.

"Udahlah! Kamu urus aja ibu kamu yang stroke itu! Bisanya menyusahkan aja! Hari ini juga aku talak kamu!" gertak pria itu.

"Mas, aku mohon ... jangan talak aku, Mas ...."

Dobrak!
Pintu dibuka dan dihentakkan dengan kasarnya ke dinding oleh seorang pria dengan menenteng ranselnya. Melihat Kasih yang tengah mematung di depan pintu, pria itu terkejut.

"Siapa kamu?" tanyanya dengan nada suara yang dingin.

Melihat perangai pria itu yang garang, membuat bulu kuduk Kasih merinding. "A-aku ...."

"Kasih?" sapa Bu Melati sembari mengusap air matanya.

Tanpa berkata apapun, pria itu melenggang meninggalkan Kasih dan Bu Melati. Melihat suaminya melenggang, Bu Melati hendak mengejarnya. "Mas ... jangan pergi," ucapnya menahan suaminya agar tidak pergi. Namun sayang, suaminya dengan cepat masuk ke dalam angkot.

Kasih langsung menghampiri Bu Melati yang terduduk lemas di tanah sembari berteriak histeris menyaksikan kepergian suaminya. Mendengar Bu Melati yang berteriak histeris seperti itu, tetangganya hanya menontonnya. Tak ada yang menenangkannya atau bersimpati padanya. Mereka acuh tak acuh. Di mana rasa kemanusiaan dan belas kasih di antara sesama manusia?

Kasih mengelus lembut punggung Bu Melati. Sebagai seorang wanita, dia turut merasakan apa yang tengah dirasakan oleh Bu Melati, guru matematika yang sangat bagus kinerjanya dan entah karena apa ia dikeluarkan dari sekolah.

"Bu Melati yang sabar, ya." Kasih terus menenangkan Bu Melati. Sesekali air matanya jatuh. Hatinya ikut teriris pilu.
"Biar Kasih bantu berdiri, Bu." Gadis baik itu membantu Bu Melati untuk berdiri. Lalu, gadis itu menuntun Bu Melati untuk duduk di kursi depan rumah. Dengan tangis yang masih sesenggukan, Kasih dengan setia menemani Bu Melati hingga tenang dan berhenti menangis. Gadis itu memang baik hatinya, terlebih seperti malaikat dengan kebaikan yang tersembunyi, tak diketahui banyak orang.

"Kenapa Kasih ada di sini?" tanya Bu Melati setelah hati dan pikirannya lumayan tenang. Kasih menatap wajah Bu Melati lekat-lekat.

"Ibu digantikan sama Bu Rosa. Apa benar kalo ibu dikeluarin dari sekolah?" Kasih balik bertanya. Ia datang ke rumah Bu Melati dengan membawa rasa penasarannya setengah mati. Dan ia berharap ketika pulang membawa jawaban atas rasa penasarannya, bukan tangan hampa.

Bu Melati terdiam, seakan membisu setelah mendengar pertanyaan dari Kasih. Kasih dengan sabar menunggu jawaban dari Bu Melati. Namun sayang, Bu Melati tak kunjung menjawab pertanyaan Kasih.

"Ibu dikeluarin dari sekolah karena Kasih? Benar begitu, Bu?" Pertanyaan kedua yang kembali mendesak Bu melati. Namun sayang, Bu Melati tak kunjung menjawabnya.

"Kasih nggak perlu tau kenapa ibu dikeluarin dari sekolah. Kasih cukup fokus dan lanjutkan sekolahnya sampai perguruan tinggi. Ibu yakin, kamu akan jadi anak yang sukses," ucap Bu Melati sembari mengulum senyum. Bukan, bukan jawaban seperti itu yang Kasih mau.

"Kalo emang Bu Melati dikeluarin dari sekolah itu karena Kasih, biar Kasih perjuangkan Bu Melati untuk bisa ngajar lagi di sekolah," tekad Kasih.

"Kasih ...." lirih Bu Melati dan menatap kedua netra Kasih dengan tatapan sendu.

"Kinerja Bu Melati sangat bagus, nggak masuk akal kalo Bu Melati dikeluarin dari sekolah tanpa sebab. Pasti ada yang nggak beres," lanjut Kasih. Bu Melati hanya menyunggingkan senyum miris. Muridnya yang satu ini begitu peka terhadap keadaannya. Baginya, Kasih adalah muridnya yang limit edition. Budi pekerti yang dimiliki Kasih sangat jarang dimiliki anak seusianya di zaman sekarang ini.

"Emmm ... tadi suami ibu?" tanya Kasih ragu. Ia takut peetanyaannya membuat Bu Melati kembali menangis.

"Iya, Kasih. Dia suami ibu," jawab Bu Melati dengan raut wajah yang sedih. Kasih tak melanjutkan pembicaraannya mengenai suami Bu Melati. "Ibu yang sabar ya, Bu. Ibu nggak sendirian, ada Allah dan juga masih punya ibu. Sedangkan Kasih ...." Kasih tak kuat untuk melanjutkan ucapannya. Sontak, Bu Melati langsung mendekap tubuh Kasih.

"Jangan sedih, ya. Kasih boleh anggap ibu kayak ibunya Kasih sendiri," ucap Bu Melati yang gilirannya menenangkan Kasih yang tampak sedih. Kasih menyunggingkan senyum manisnya mendengar ucapan Bu Melati.

"Kasih sayang banget sama Bu Melati," ungkap Kasih. Meski Bu Melati bukanlah ibu kandungnya, namun Kasih mengungkapkan betapa sayangnya ia pada Bu Melati.

"Bu Melati juga sayang banget sama Kasih. Kasih jangan sedih lagi, ya." Bu Melati mengelus punggung Kasih. Kasih hanya menanggapinya dengan anggukan pelan.

"Oh iya, Bu. Ibunya Bu Melati sedang sakit?" tanya Kasih ketika ia teringat ucapan suaminya Bu Melati ketika marah-marah. Bu Melati menanggapi dengan anggukan. "Ibunya Bu Melati sakit stroke udah lumayan lama. Kasih mau liat?" tawar Bu Melati dengan senyuman tipis di bibirnya. Kasih pun membalas senyuman Bu Melati dan menganggukkan kepalanya, mengisyaratkan bahwa ia menyetujui untuk bertemu sang ibunda dari Bu Melati.

Kasih membuntuti Bu Melati untuk masuk ke dalam rumahnya. Kasih mengedarkan pandangannya ke seluruh ruangan. Banyak pecahan guci yang berantakan di atas lantai. Ya, benda yang mungkin dibanting suaminya Bu Melati ketika marah-marah tadi.

Bu Melati membuka pintu kamar ibunya dan mempersilakan Kasih untuk masuk ke dalam. Tampak seorang wanita yang hampir memasuki usia senja yang terbaring kaku di tempat tidur.

"Itu ibunya Bu Melati. Namanya Bu Halimah atau biasa dipanggil Bidan Halimah. Sudah lama beliau menderita sakit stroke. Dulu, ibunya Bu Melati itu seorang bidan di sini. Sejak beliau mulai sakit-sakitan, beliau berhenti jadi bidan," jelas Bu Melati dengan mata berkaca-kaca. Wanita berusia hampir renta itu terbaring di tempat tidur dengan mata yang masih terpejam.

"Hidup ini memang tempat perjuangan, Kasih. Adakalanya kita berada di atas, dan adakalanya kita berada di bawah. Adakalanya kita sehat, dan adakalanya kita sakit," lanjut Bu Melati. Kasih mengangguk-anggukkan kepalanya. Apa yang dikatakan Bu Melati memang benar. Hidup ini tempat perjuangan. Setiap makhluk yang hidup di muka bumi ini tak luput dari yang namanya ujian, namun orang-orang yang berimanlah yang yakin bahwa ujian yang diberikan oleh-Nya adalah bentuk kasih sayang-Nya agar hamba-Nya mendekatkan diri pada-Nya, bukan malah semakin jauh dari-Nya.

Tanpa Bu Melati dan Kasih sadari, ibunda Bu Melati membuka matanya perlahan dan sorot matanya tertuju pada Kasih.

Bu Melati mendekat dan duduk di tepi ranjang sembari menggenggam tangan ibunya. "Bu, ada murid Melati yang mau jenguk ibu. Namanya Kasih," ucap Bu Melati mengenalkan Kasih pada ibunya.

Mendengar nama Kasih, Bu Halimah menatap Kasih dengan pandangan yang nanar. Tampak ia seperti ingin mengatakan sesuatu. Kasih hanya tersenyum tipis pada Bu Halimah.

Jari-jemari Bu Halimah bergerak. Entah apa yang dimaksudkannya.








Ibu PenggantiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang