Kita bisa membeli apapun dengan uang, tapi tidak dengan keadilan dan rasa kemanusiaan.
"Kamu berani sama aku?!" gertak Laura dengan tatapan yang tajam.
"Aku berani! Kamu nantangin aku?!" Mata Nayara turut melotot tajam. "Nay, udah, Nay." Kasih terus menenangkan Nayara. Namun, Nayara tak menggubris ucapan Kasih.
"Arrrggghhh!!!" teriak Nayara ketika rambut panjangnya dijambak Laura.
"Astaghfirullah! Nayara!" Kasih menjerit histeris.
"Akan aku balas kamu!" Bentak Nayara. Sontak kedua tangannya membalas jambakan Laura.
"Awww!!!" Laura menjerit ketika Nayara menjambak rambutnya dengan kasar hingga membuat rambutnya berantakan.
Semua murid hanya menonton Nayara dan Laura berkelahi. Sedang Kasih sekuat tenaga melerai perkelahian mereka berdua. Gladys dan Mayra hanya diam mematung, tak ikut berusaha melerai perkelahian ketua gengnya dan Nayara.
Nayara dan Laura saling jambak-menjambak hingga membuat rambut keduanya benar-benar berantakan dan saat itu pula semua murid bersorak dan bertepuk tangan dengan heboh menyaksikan Nayara dan Laura bagaikan sebuah pertandingan di dalam ring.
"Ada apa ini?" tanya Bu Indah - Kepala Sekolah ketika mengetahui ada kehebohan di depan ruang kelas. Sontak, Nayara dan Laura melepaskan jambakan mereka masing-masing.
Napas mereka berdua terengah-engah. Kasih membantu Nayara merapikan kembali rambutnya yang berantakan.
"Ada apa ini, Nayara? Laura? Kenapa kalian berkelahi?" tanya Bu Indah.
Nayara dan Laura hanya saling menatap tajam.
"Yasudah, kalian harus ikut ke ruangan saya," titah Bu Indah.
Tanpa membantah, Nayara dan Laura membuntuti Bu Indah. Kasih, Gladys, dan Mayra juga ikut."Duduk," titah Bu Indah setelah dirinya duduk di kursi. Nayara dan Laura menurut untuk duduk. Masih saling menatap dengan tatapan tajam. Kasih berdiri mendampingi Nayara, sedang Gladys dan Mayra turut mendampingi Laura.
"Ada apa sebenarnya dengan kalian berdua? Kenapa kalian berkelahi?" tanya Bu Indah lagi. Di dalam ruangan kepala sekolah ini, mereka berdua benar-benar diinterogasi. Terlebih tatapan Bu Indah semakin serius.
"Laura udah buat Kasih jatuh, Bu. Makanya saya membela Kasih, Bu." Nayara memulai jawaban dengan apa yang memang sebenarnya terjadi.
"Nggak, Bu. Dia bohong!" elak Laura.
"Iya, Bu. Dia bohong. Laura nggak buat Kasih jatuh," ucap Gladys dan Mayra bersamaan membela Laura.
"Kalian berdua diam. Saya tidak berbicara dengan kalian," titah Bu Indah dengan tatapan serius ke arah Gladys dan Mayra.
"Sekarang saya tanya ke kamu, Kasih. Apa benar Laura sudah buat kamu jatuh?" tanya Bu Indah kepada Kasih. Sebelum menjawab, Kasih menoleh ke arah Laura. Kasih mendapati tatapan tajam dari Laura. Setelahnya, Kasih mrnoleh ke arah Nayara, dan Nayara mengangguk, mengisyaratkan untuk memberi jawaban yang jujur.
"Kasih?" panggil Bu Indah. Kasih menoleh. "I-iya, Bu. Laura udah buat saya jatuh ke lantai," ucap Kasih jujur. Nayara tersenyum mendengan Kasih memberi jawaban yang jujur. Bu Indah menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Bohong, Bu! Dia bohong!" elak Laura. Ia tak terima.
"Diam, Laura!" titah Bu Indah dengan nada suara agak meninggi. Laura terdiam dengan tatapan kesalnya.
"Sesuai peraturan di sekolah, kamu harus mendapat hukuman, Laura." Bu Indah menggenggam kedua tangannya di atas meja.
"Ibu lupa? Mau orangtua saya mengeluarkan ibu seperti orangtua saya mengeluarkan Bu Melati dari sekolah ini?" Laura terkekeh sinis. Sontak, Bu Indah terdiam membisu.
Kasih terkejut. "Jadi, Bu Melati dikeluarin dari sekolah karena orangtuanya kamu, Laura?" tanya Kasih memastikan. Laura tertawa.
"Iya. Emang kenapa?" tanya Laura dengan tatapan sinis. Mata Kasih berkaca-kaca.
"Gara-gara Bu Melati dikeluarin dari sekolah, sekarang Bu Melati bercerai dengan suaminya. Apalagi ditambah ibunya Bu Melati menderita sakit stroke," jelas Kasih. Bu Indah hanya diam mendengarkan.
"Bukan urusanku!" ucap Laura dengan entengnya.
"Dasar nggak punya perasaan!" ucap Nayara kemudian.
"Jangan mentang-mentang kamu anak orang kaya dan kamu bisa beli apapun dengan uang kamu, termasuk keadilan!" Nayara semakin naik pitam sembari menunjuk wajah Laura dengan jari telunjuknya.
Hati Kasih bagai diremas-remas. Laura memang tak berperasaan. Ia membeli apapun dengan uangnya, termasuk keadilan.
"Bu Indah ... di mana keadilan di sekolah ini? Di mana rasa kemanusiaan di sekolah ini?" tumtut Kasih dengan nada suara bergetar menahan tangis. Bu Indah hanya diam mematung.
"Orang kaya bisa membeli apapun dengan uang, tapi tidak dengan keadilan dan rasa kemanusiaan, Bu." Kali ini Kasih memberi ketegasan untuk menyadarkan.
"Bu Indah tau? Saya sebagai saksi di mana perempuan tidak berperasaan ini selalu menjatuhkan harga diri Kasih. Saya diam karena permintaan dari Kasih. Tapi hari ini ... saya tidak akan membiarkan harga diri sahabat saya diinjak-injak lagi sama dia! Sudah seharusnya dia mendapat pelajaran untuk bisa menghargai hak asasi orang lain!" tegas Nayara. Tangisnya pecah menceritakan kepiluannya melihat Kasih yang terus menanggung penderitaan.
"Dan kamu! Aku peringatkan kamu! Harta bisa habis, tapi tidak dengan rasa kemanusiaan terhadap manusia lain!" Nayara menunjuk ke arah Laura sembari dengan mata yang menatap tajam dan berurai air mata.
"Bu Indah ... minta maaf, ya. Bu Indah salah. Bu Melati dikeluarin dari sekolah karena ...." Bu Indah menatap ke arah Laura.
"Disuap orangtuanya Laura." Bu Indah tertunduk. Ia merasa malu. Harusnya sebagai kepala sekolah, dia bisa bertindak seadil-adilnya, bukan malah berpihak hanya karena dia orang kaya dan dengan mudahnya mau disuap.
Tangis Kasih pecah mendengar pengakuan dari Bu Indah, kepala sekolah yang Kasih percayai Bu Indah bisa menjaga amanah dengan baik.
"Lantas, kalau Laura minta Kasih dikeluarin dari sekolah, Bu Indah akan mengabulkan permintaannya, Bu?" tanya Kasih. Kesabarannya sudah menipis. Rasa sakit hatinya begitu meremas-remas hatinya. Bu Indah tertunduk. Ia tak berani lagi menatap Kasih.
"Karena Kasih dan Bu Melati orang miskin, dan kalian bisa seenaknya memperlakukan kami?" Tangis Kasih semakin pecah hingga membuat Nayara beranjak berdiri dari tempat duduknya dan menenangkan Kasih.
"Maafkan Ibu ...." lirih Bu Indah dengan mata yang berkaca-kaca.
"Kinerja Bu Melati sangat bagus, Bu. Ibu tega mengeluarkan Bu Melati dari sekolah hanya karena ibu dibayar mahal oleh orangtuanya Laura?" Bu Indah semakin merasa terpojokkan dengan ucapan Kasih.
Gadis manis itu mengusap air matanya yang membanjiri pipi.
"Ibu benar-benar minta maaf. Setelah pulang sekolah nanti, kita ke rumah Bu Melati, ya," ucap Bu Indah yang sudah menyesali perbuatannya.
Kasih tersenyum mendengarnya, begitupun dengan Nayara.
"Memang seharusnya keadilan dan rasa kemanusiaan harus ditegakkan di sekolah ini," lanjut Bu Indah sembari menatap ke arah Laura. Laura merasa harga dirinya sudah diinjak-injak di situ hanya menatap Bu Indah, Kasih, dan Nayara dengan tatapan tak suka.
"Biar kubalas kalian semua!" umpatnya dalam hati.
Tettt ...
"Yasudah, kalian boleh masuk ke kelas. Bel sudah berbunyi." Bu Indah mempersilakan mereka meninggalkan ruangannya karena bel tanda masuk sudah berbunyi.
"Makasih banyak Bu Indah," ucap Kasih.
"Makasih banyak, Bu." Nayara menimpali.
Bu Indah tersenyum dan mengangguk pelan. Sementara Laura, Gladys, dan Mayra melenggang keluar begitu saja dari ruangan Bu Indah. Benar-benar anak yang tak tahu sopan santun.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ibu Pengganti
Teen Fiction[FOLLOW SEBELUM BACA YA, GUYS] Kasih Asmara, remaja berusia 17 tahun yang masih duduk di bangku kelas 12 SMA Bakti Nusantara. Di sekolah, ia dikenal sebagai anak yang cupu, tapi cerdas. Dia selalu mendapat peringkat pertama di kelasnya. Sayangnya, d...