Prologue: July's teardrop

112 17 26
                                    

July, 27

Summer night, with
the moon and rain

-

Rembulan di pucuk angkasa begitu setia menggemakan sinar platinanya, kendati tetes air terus menghujani sebagian Negeri Ginseng begitu lebat. Semesta begitu tunduk pada amanat Sang Maha Pencipta lagi Maha Pemberi.

Embusan angin menyelinap melalui jendela yang dibebaskan terbuka oleh si pemilik kamar, semilirnya membelai surai lepek kecokelatan gadis yang enggan menyudahi kesibukannya mengagumi sang purnama.

"Halo, apa kabar?"

Ia menumpu punggungnya pada salah satu sisi tempat tidur, memeluk lutut, manik cokelatnya tak lepas dari benda elok yang tergantung di langit sana. Sepasang pendengaran dibiarkan menyerap habis monolog seorang pemuda di seberang layar ponselnya yang menyala.

"Kuharap kamu masih mau menyungging senyum, tertawa lebar."

Seumpama kehadiran pemilik suara itu berdiri di hadapannya, atau ikut bersandar pada sisi tempat tidurnya. Dengan percaya diri ia akan menahan air yang telah menggenang di ujung netranya, sok tegar, jikalau pemuda tersebut ada di dekatnya.

"Saat-saat aku nyeruin nama kamu lagi."

Jemari sang gadis semakin menarik kedua lututnya, memeluknya begitu erat. Masih enggan meraih ponsel yang tengah memutar voice chat di atas kasurnya, memilih untuk mengindahkan tiap getaran kata yang diucapkan pemuda nan lucu favoritnya. Pemuda yang senantiasa menghuni relung hatinya, hingga detik ini.

"An Yujin."

Ia memejamkan kedua mata, membenamkan kepalanya di antara kedua lutut dan tidak lagi mengagumi purnama malam itu. Rintihan menyesaki seluruh sudut kamarnya yang ditelan kesunyian dan kekelaman.

Dua tahun memori tentang hari-hari indah yang telah ia tempuh bersama pemuda itu kembali memutar jelas dalam ruang ingatan. Gelak tawa juga letih sendu, kini harus lenyap dari keseharian mereka. Serta tak ada yang tahu, jika untaian merah yang telah tersimpul erat kini renggang diseret masa juga keadaan.

Hingga ia tak menyadari kehadiran seseorang di sisinya, menaruh handuk kecil biru muda di atas surai cokelatnya yang masih lepek.

Pemuda itu tak berniat menggosok rambut si gadis dengan handuk itu, atau justru menyeka air mata yang sudah mengalir deras di sepasang pipi gembul itu. Ia bersimpuh, ikut bersandar pada sisi tempat tidur, menikmati tiap rintik-rintik hujan dan menatap sayu purnama di atas sana.

"Kamu, gimana hari ini?" suara baritonnya menyapu keheningan. Sepasang atensinya beralih mengamati gadis di samping, terlihat jelas bahwa tubuh itu sedikit menggigil; si gadis kian mengeratkan dekapan pada kedua lutut. Malam semakin ditelan dingin. Ia beranjak menutup jendela yang sudah sekian menit ditinggalkan melompong, tak lupa untuk membentangkan gorden putih tulang, memalangi perhatiannya pada langit malam.

"An Yujin," lafal si pemuda memanggil nama gadis itu cukup jelas. Kakinya yang jenjang membawa dirinya kembali menghampiri Yujin, kali ini ia berada di hadapan sang gadis, berdiri di atas kedua lutut. Tanpa sadar jemarinya meraih handuk kecil biru muda yang masih berdiam di pucuk kepala itu, menyeka air yang menembus sela-sela rambut si empunya.

"Kamu bisa masuk angin nanti." Ia menyudahi kegiatannya dan meraih kedua pipi si jelita yang telah basah, mengangkat wajahnya ke atas hingga pandangan mereka saling bertemu.

Air mata tiada hentinya menetes dari sepasang manik cokelat pekat itu; kedua bibir itu terbuka kecil melihat sosok pemuda di hadapannya, bukan terkejut. Hanya saja, ia kembali merasa terjaga dan sedikit tenang ketika mendapati pria bertubuh jangkung yang setahun lebih tua, hadir di saat sedihnya.

"Kak Minhee.." lirih Yujin. Jarinya menjiwit ujung kaus lavender pucat yang pemuda itu kenakan.

"Aku masih ingin mengenalmu."

Ah, mereka tidak menyadari voice chat yang masih menyuarakan perasaan seseorang dari ponsel Yujin. Lekas pemuda yang kerap disapa 'kak Minhee' itu meraih kain tebal dari atas kasur dan menyelimuti tubuh itu, merengkuh gadis yang sedikit lebih pendek darinya. Isakan tak kunjung reda, mengalahkan kesangsian Minhee untuk membelai surai milik teman kecilnya, Yujin.

"Aku di sini. Gak bakal hilang, kok," desiran suara menggelitik di telinga, Yujin menanggapi hanya dengan sekali anggukan kecil, tak menahu lagi perlu bersikap bagaimana.

Gadis itu menarik tubuh kurus si pemuda, kian mengeratkan dekapannya, membenamkan wajah kusutnya pada dada bidang Minhee, dan hanyut dalam perhatian si lelaki bersama detak jam yang jarum pendeknya melewati angka sembilan.

Rasanya, dua puluh empat jam merotasi bumi cukup lamban hari ini. Bumantara malam ini terus mengutus awan kelabu, menerjunkan miliaran tetes air terhadap metropolitan Seoul. Lamun waktu silih-berganti, dingin serta sunyi tak jua kalah atas masa, kian mengangkasa. Paling tidak, secercah afeksi hangat berpendar menyelinapi ruang logika dan relung hati. An Yujin kembali terlalu nyaman, dan ia amat berterima kasih.

 An Yujin kembali terlalu nyaman, dan ia amat berterima kasih

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

___

Meet the characters.

An Yujin (IZ*ONE & Starship)1 September, 2003

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

An Yujin (IZ*ONE & Starship)
1 September, 2003.

An Yujin (IZ*ONE & Starship)1 September, 2003

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Kang Minhee (CRAVITY)
17 September, 2002.

____

felisfuscus

How goes the world with you?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang