Laguh-lagah kekecewaan mengawali pagi Jimin yang kacau.
Naluri keingintahuan bocah itu teramat besar. Tidak ada lagi padang ilalang beraroma embun, juga bunga-bunga lavender yang terhampar sebegitu luasnya. Tidak ada kupu-kupu raksasa yang ia jumpai petang-petang. Jimin masih hidup, tidak mati. Jimin juga kembali kepada rutinitasnya yang itu-itu saja.
Sebagai seorang pemimpi, Jimin jenuh. Bocah laki-laki itu merindukan petualangannya di padang ilalang tempo lalu. Ada banyak pertanyaan yang ingin ia ajukan kepada kupu-kupu raksasa─termasuk siapa namanya, dan semua hal mengenai Negeri Kunang-Kunang. Mama bilang, Negeri Kunang-Kunang tidak ada. Negeri Kunang-Kunang hanya dongeng, barangkali Jimin hanya memimpikan sekelibat dongeng yang dilisankan oleh guru. Di sekolah, guru-guru memang sering mendongengkan banyak hal yang luar biasa. Alasan satu-satunya Jimin masih pergi ke sekolah adalah ingin mendengar lebih banyak dongeng yang bisa dikisahkan oleh guru-guru.
Bagi Jimin, dongeng adalah peta yang memandu para pemimpi. Pembuka jalan untuk menyambangi berbagai sudut di semesta jagad ini. Berplesiran dengan bertemankan dongeng amatlah menyenangkan. Sebab, Jimin bisa jadi apa saja yang dimau. Hari ini, Jimin bisa menjadi air yang beriak-riak dari hulu sungai ke hilir, besok Jimin boleh menjadi burung yang berkicau-kicau di langit pagi. Jimin juga boleh sebatas menjadi batu sepanjang hari di musim panas. Tidak ada batas dan aturan. Kebebasan adalah milik para pemimpi─seorang petualang sejati.
"Bu Guru, apa benar manusia jahat?" Dua belas murid yang duduk di kelas memandangi Jimin dengan tatapan 'heiii pertanyaanmu yang benar saja'. Namun, Jimin tidak memusingkan hal tersebut. Di dalam kepalanya terus berputar perkataan Kupu-kupu raksasa. "Apa benar manusia perusak? Apa benar manusia telah merusak alam dan membunuh kupu-kupu sehingga kita dilarang untuk datang ke Negeri Kunang-Kunang?"
Gelagak tawa mewarnai rendah-riuh di dalam kelas. Semua murid berpikir Jimin pandir, tak bisa membedakan mana khayalan dengan realita. Bu Guru menggelengkan kepala beberapa kali, hafal bagaimana Jimin memang sangat suka dengan dongeng-dongeng─teramat antusias, sehingga memang sering kali pertanyaan-pertanyaan ajaib keluar dari mulutnya.
"Manusia tidak jahat. Manusia adalah makhluk yang hebat dan bijaksana."
Itu adalah kalimat berulang yang Jimin selalu dengarkan dari guru-guru.
"Manusia tidak pernah merusak alam, sebab manusia adalah bijaksana. Sebaliknya, manusia itu hebat. Luar biasa. Mampu menciptakan mesin-mesin yang hebat, yang memudahkan segala urusan manusia. Dengan mesin-mesin hebat yang diciptakan oleh manusia, kita─manusia─bisa melakukan apa pun untuk bumi ini."
"Berarti kita bisa menyelamatkan alam dan Negeri Kunang-Kunang?"
Gelagak tawa kembali menghiasi suasana kelas yang sebelumnya hening. Jimin seperti berkelakar saat bocah laki-laki mengedarkan pandangannya ke seluruh penjuru kelas. Teman-teman semua tertawa, tidak ada yang tidak selain dirinya sendiri. Ibu guru bahkan menahan senyum geli. Memang, apa yang salah dengan pertanyaan Jimin barusan.
Jimin merasa teramat dongkol.
Di sepanjang jalan pulang, dengan tas punggung ransel hitam kesayangannya, bocah kecil itu tak henti-hentinya misuh. Ia menggesek-gesekan alas kasutnya dengan aspal jalan, melampiaskan kekesalannya yang sejak tadi menjadi-jadi. Bu guru tidak mejawab, semua teman-temanya hanya mentertawai pertanyaan Jimin yang menurutnya sama sekali tidak lucu. Jimin punya alasan mengapa bertanya demikian, tetapi Bu guru hanya bilang bahwa Jimin harus mulai untuk tidak lagi membaca dongeng-dongeng secara berlebihan. Memang, ada yang salah dengan itu? Jimin hanya ingin menjadi seorang pemimpi yang hebat.
Di antara gedung-gedung tinggi yang menjulang, bocah itu lantas mendongak; mengagumi betapa hebatnya gedung-gendung pencakar langit yang begitu kokoh. Pandangan bocah itu kemudian beralih menuju langit yang nampak kusam. Kedua alis Jimin menukik, ia tak mendapati keindahan langit yang tertutup oleh pekat asap yang dihasilkan oleh pabrik-pabrik di pinggiran kota. Ada yang hilang. Dada bocah itu terasa sesak, jiwanya mendadak menggigil, menahan rindu untuk kembali ke padang ilalang di Negeri Kunang-Kunang.
Gedung, mesin-mesin hebat, dan semua kemajuan adalah memang ciptaan manusia. Kehebatan yang saat ini manusia rasakan semua ialah berasal dari mimpi-mimpi para pemimpi. Jimin mungkin pemimpi, tetapi ia memiliki kemurnian─memimpikan hal kecil yang sederhana. Sesederhana melihat langit biru tanpa dihalangi kabut asap ciptaan mesin-mesin hebat manusia.
bersambung ...
KAMU SEDANG MEMBACA
Petualangan Jimin di Negeri Kunang-Kunang
Fiksi Penggemar𝐌𝐚𝐧𝐮𝐬𝐢𝐚 𝐚𝐝𝐚𝐥𝐚𝐡 𝐦𝐚𝐤𝐡𝐥𝐮𝐤 𝐲𝐚𝐧𝐠 𝐛𝐢𝐣𝐚𝐤. 𝐌𝐚𝐤𝐡𝐥𝐮𝐤 𝐲𝐚𝐧𝐠 𝐡𝐞𝐛𝐚𝐭. 𝐌𝐚𝐧𝐮𝐬𝐢𝐚 𝐭𝐢𝐝𝐚𝐤 𝐣𝐚𝐡𝐚𝐭. 𝐍𝐚𝐦𝐮𝐧, 𝐚𝐩𝐚𝐤𝐚𝐡 𝐨𝐫𝐚𝐧𝐠 𝐝𝐞𝐰𝐚𝐬𝐚 𝐬𝐞𝐥𝐚𝐥𝐮 𝐛𝐞𝐧𝐚𝐫 𝐝𝐚𝐧 𝐝𝐚𝐩𝐚𝐭 𝐝𝐢𝐩𝐞𝐫𝐜𝐚𝐲𝐚? ...