Setelah semuanya kembali ke tempatnya masing-masing, Dzalea hidup bahagia bersama Raihan dan Hana. Tidak ada lagi Dzale yang mengambil alih tubuhnya ketika sedang tertekan, dan tidak ada lagi sosok sahabat bernama Yika yang memiliki tingkat kepercayaan diri di atas rata-rata.
Siapa yang menyangka setelah lima tahun berlalu, Dzalea masih dipukul keras oleh kerinduan, sembari mencari jejak-jejak sahabatnya dalam ingatannya yang samar. Ia berdiri di tepian karang yang menjorok ke laut, bersama pecahan ombak yang menghempas silih berganti. Di tangannya terdapat botol kaca berisi secarik kertas.
Saat melihat benda tersebut, entah mengapa ia merasakan sesuatu yang familiar merasuki ingatannya. Meskipun samar, Dzalea yakin pecahan memori itu bukan miliknya, melainkan milik Dzale—alter egonya yang telah lama pergi.
Kini setelah sekian lama menanti, dan rasa penasaran sudah tak tertahankan lagi. Dzalea membuka tutup botol kaca itu, kemudian mengambil suratnya dan membacanya.
"Mungkin setelah hari ini, kita tidak akan bertemu lagi. Jadi, terima kasih karena selalu ada, Yika. Aku bersyukur memilikimu menjadi sahabat sehidup-sematiku. Dan, teruntuk Raihan. Aku hanya berharap kau bisa membahagiakan Dzalea setelah aku pergi. Bagaimanapun aku tercipta karena rasa sakitnya."
Tulisan itu sampai di sana. Dada Dzalea terasa sesak, digenggamnya surat itu seerat mungkin. Dugaannya benar, botol kaca itu bukan sekadar botol lusuh yang hanyut sejauh arus membawanya. Tetapi, ada kisah yang ikut melaju di sana, dan menjadi bagian dari ingatan yang ditinggalkan Dzale untuknya.
Kenyataannya pesan dalam botol itu menyimpan kesedihan dan kepedihan Dzale. Ombak memecah karang sekali lagi. Dzalea yang menangis sedari tadi, menarik nafasnya dalam-dalam.
Ia menghempaskan pandangannya ke laut lepas, sesekali menyeka air matanya yang semakin tumpah. Serasa ada tali mengikat dadanya, kepalan tangannya menguat, dan dengan sedikit ia menarik paksa ingatan yang tertanam di kepalanya.
Meskipun sulit ia terus mencari akar memori di mana hari Dzale menulis surat ini bersama Yika. Dzalea merindukan sahabatnya. Setidaknya dengan cara seperti ini, ia masih bisa melihat wajah terakhir Yika yang pergi tanpa pamit padanya.
Sekuat tenaga menutup matanya, Dzalea membiarkan asanya sampai ke malam itu. Malam di mana Dzale dan Yika duduk bercengkerama di tepi sungai Han, sambil bermain kembang api.
"Langit terlihat cerah malam ini," kata Yika.
Ia mengambil posisi berdiri di samping Dzale yang sedikit kecewa karena kembang api yang ia mainkan sudah habis.
"Bukankah langit malam memang gelap? Kalau terang, berarti pagi hari," sahut Dzale yang beralih duduk di tikar, dan membuka perbekalan piknik mereka (tampaknya hanya Dzale dan Yika, yang berpiknik di malam hari)
"Langit malam itu terang tahu, karena dia tidak kesepian. Lihat! Ada satu bulan yang menemaninya. Beruntung sekali rembulannya, ya."
Senyuman Yika terlihat perih ketika mengatakan hal itu. Ia menyusul Dzale dan ikut duduk sambil berselojoran kaki. Ditatapnya labuhan gamis panjangnya yang berwarna maroon kesukaannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Träumerei
RomanceTak terasa sudah lima tahun berlalu. Setelah semuanya kembali ke tempatnya masing-masing, Dzalea hidup bahagia bersama Raihan dan Hana. Kini tidak ada lagi alter ego yang mengambil alih tubuhnya ketika sedang tertekan, juga sosok sahabat bernama Yik...