Pecahan Ke-3

12 0 0
                                    

Purnama adalah seorang perempuan yang sudah mati jiwanya. Namun, raganya tetap memberi definisi kecantikan duniawi. Pada nada-nada surgawi yang mungkin menciptakan frasa baru, Purnama memberikan tandanya, uluran tangan pada mereka yang sedang bertanya.
ㅤㅤ

Dialah anak masih bau kencur yang datang ke ruang BK pertama kali. Aku sudah membaca data diri tentangnya. Seorang anak perempuan dari Kota Anteraㅡkota yang terkenal akan real estate-nya. Kota kecil yang memang khusus dibangun untuk tempat tinggal kaum elit. Di pulau Jawa yang serba ada, Kota Antera menyuguhkan perasaan sepi atas gelar yang sangat tinggi. Akan menjadi rancu dan ambigu jika buah hati mereka tidak mendapat ranking satu. Seperti Purnama, perempuan yang kini tersenyum di depanku. Gingsul sebelah kanannya mengintip, memaksaku tersenyum juga.

Purnama adalah anak seorang pejabat daerah di Pangelasan. Ia sosok perempuan yang benar-benar menjadi andalan sekolah atas banyak perlombaan baik OSN atau FLS2N. Keduanya sama-sama bisa diraih Purnama dengan mudah. Namun, senyum kecil itu kuyakin penuh derita dan perih. Binar matanya merupakan sebuah tanda kekosongan hatinya. Ah, aku siapa? Kenapa aku berani menilai dara berkulit sawo matang tersebut bahkan sebelum ia mengucapkan sesuatu?

"Gimana kabarnya? Katanya kamu mau berangkat ke Kota Mintaraga buat lomba OSN Biologi, ya? Gimana rasanya pergi keluar pulau?"

"Kotanya sangat jauh ya, Pak? Purnama ya seneng kalau ke sana. Kemarin Purnama lihat-lihat pemandangan di sana kayanya bagus."

"Kamu ngga seneng karena kamu jadi perwakilan sekolah?"

"Ah, itu ... iya, ya? Purnama seneng kok," jawabnya dalam senyum terbatas.

Sebagai seseorang yang beberapa tahun lebih tua darinya, aku cukup memahami bahwa aku sudah merasakan rasanya menjadi anak sekolah. Namun, dari kerling matanya ... rasaku definisi masa mudanya sungguh berbeda. Titik temu diriku dan dirinya adalah kami sama-sama manusia. Sorot matanya lembut sejalan dengan nadanya yang ringan. Berbanding terbalik ketika aku bertanya terkait menjadi seorang perwakilan sekolah. Sorot matanya padam dan nadanya melemah. Apa yang dipikirkan gadis ini? Apa yang sedang jawara ini tutupi?

Asesmen kebutuhan yang sedang kulakukan tidak begitu banyak memberikan hasil. Bukan karena Purnama memilih memendam perasaannya, namun karena aku belum memahami sejauh mana rasa pedih tertanam di hatinya. Ketika aku sedang mengalihkan topik sebagai media istirahat terselubung, tiba-tiba mulut Purnama terkatup diam membisu. Aku menaruh pulpenku dan mengetuk jurnal yang aku bawa. Tak lama kemudian, Purnama bertanya sesuatu,

"Kalau waktu sekolah aja Purnama udah punya beban yang sangat berat, bagaimana ketika Purnama sudah besar nanti?"

"Kenapa kepikiran kaya gitu?" tanyaku menahan pedih dari pertanyaannya.

"Jadi seorang anak, Purnama ngga diterima, karena Purnama tidak seperti anak Mama dan Papa yang lain. Jadi seorang teman, Purnama ngga diterima, karena nilai Purnama selalu paling bagus. Jadi seorang murid, Purnama juga ngga diterima, karena Purnama tidak bisa mengikuti semua sekaligus. Kalau nanti giliran Purnama jadi dewasa, bisa ngga Purnama sekali saja diterima?"

𝑩𝒂𝒈𝒊 𝒚𝒂𝒏𝒈 𝒍𝒂𝒊𝒏, 𝒕𝒓𝒐𝒑𝒊 𝒂𝒅𝒂𝒍𝒂𝒉 𝒕𝒂𝒏𝒅𝒂 𝒌𝒆𝒎𝒆𝒏𝒂𝒏𝒈𝒂𝒏
𝑩𝒂𝒈𝒊𝒏𝒚𝒂, 𝒃𝒆𝒏𝒅𝒂 𝒊𝒕𝒖 𝒉𝒂𝒏𝒚𝒂 𝒃𝒖𝒌𝒕𝒊 𝒍𝒂𝒊𝒏 𝒅𝒂𝒓𝒊 𝒑𝒆𝒏𝒈𝒐𝒓𝒃𝒂𝒏𝒂𝒏

Aku sedang berkendara pulang. Di sampingku ada lembar asesmen milik Purnama. Aku belun jadi psikolog, jadi dalam penormaan pun aku perlu disupervisi oleh Bu Indri. Meski aku belum tahu bagaimana kemungkinan awal dari hasil asesmen tersebut, tapi ada satu jejak dari gadis itu yang membekas dalam relungku. Ada pertanyaan yang belum bisa kuberi jawaban. Terkait apakah ketika dewasa bisa diterima atau tidak, ah cah ayu ... andai kamu tahu betapa runyam hidupku. Andaikan kamu mengerti kenapa aku pergi ke sekolahmu.

Berhenti di lampu merah, aku menyandarkan punggung pada kursi dan melepas tanganku dari stir mobil. Aku menatap ke depan dan berusaha mengumpulkan atensi pada apapun yang kupandang, tapi ... pertanyaan Purnama masih terdengar di telinga. Yah, mungkin karena aku sendiri merasa tidak diterima di mana pun. Bisa jadi aku dan dia bernasib hampir serupa dan aku cukup paham bahwa Purnama ingin diterima bukan sebagai jawara, namun sebagai manusia.

Pecah Jadi DuaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang