Pecahan Ke-2

14 0 0
                                    

Sekolah itu sangat berbeda dengan sekolahku dulu. Entah bagian mana yang berbeda, tapi rasanya dahulu pendidikan SMA ku sangat sederhana. Sekolah dengan lobby gaya asli Pangelasan membuatku terkesima. Apa murid di dalamnya bahagia?


Bu Indri sedang memberikanku beberapa hasil needs assessment dari sebuah program kerja yang ia lakukan di sebuah sekolah di Pangelasan. Saat itu aku menatap matanya yang menampakkan rasa mual atas laporan tersebut. Aku belum membacanya. Akhir-akhir ini banyak siswa yang mengeluhkan banyak masalah terkait manajemen emosi. Beberapa di antaranya mengidap stres kronis yang kemudian dirujuk ke rumah sakit jiwa kami. Isu tersebut menjadi perhatian dinas pendidikan Pangelasan.

Sebagai rumah sakit dengan landasan mental serta perilaku, kami sejujurnya sangat senang membantu dinas pendidikan. Apalagi salah satu kawanku memang bekerja di sana. Namun, aku menjadi bertanya-tanya. Apakah dari aku SMA hingga tahun ini, kesejahteraan mental siswa masih jadi isu yang tak kunjung selesai? Aku membaca laporan yang diberi Bu Indri. Helaan napas dari Bu Indri menjadi lagu pengiring siang ini.

"Mau ke sana kapan, Bu?"

"Kapan ya, Mas? Saya masih menimbang kapan mau ke sekolah itu lagi. Barusan abis dari sana, darah saya langsung mendidih. Mengesalkan sekali BK yang ada di sana," kata Bu Indri sambil membenarkan kerudungnya.

"Haha ... mau saya aja, kah? Kayanya saya masih bisa kalo besok ke sana. Jadwal konseling saya sama pasien di sini kayanya ngga banyak."

"Ngga papa? Saya jadi ngga enak lho sama Mas Bima. Kemarin aja kan sudah saya repotkan buat bertukar jadwal."

"Ngga papa, Bu ...," jawabku sambil tersenyum menenangkan ibu tiga anak tersebut.

Sayang sekali ...
sayang oh sayang sekali ....


Alasan mengapa aku mau ke sekolah kelas atas di kota ini hanya satu, yaitu menilik kembali sekolah lamaku. Bukan perihal pengabdian pada kesehatan mental, apalagi penasaran dengan guru BK yang membuat Bu Indri marah hingga ubun-ubun. Entah mengapa rasa ingin kembali ke SMA mulai muncul. Tidak masuk akal memang. Umur 23 tahunku bukan umur yang pantas untuk kembali ke masa-masa sekolah. Ini adalah waktuku untuk bekerja dan berusaha membayar Mbok Dasri dan Pak Engkus. Aku tidak mau dua ART kami dibayar oleh Bapak atau Ibu.

Di sinilah aku. SMA Negeri 1 Pangelasan yang sering dijadikan contoh dari Bupati hingga Gubernur. Sekolah yang dulu masih menjadi Sekolah Berstandar Internasional ini kini masih menjadi jawara di kota. Meskipun sudah tidak ada embel-embel SBI, sekolah ini masih menjaga citranya dan akreditasi. Tidak mudah. Banyak pengorbanan yang kemudian harus dilakukan. Tidak hanya uang, mental siswanya pun kemudian menjadi tumbal. Setidaknya itu yang aku rasakan dulu ....

"Mas Bima, ya?" tanya seseorang, membuatku menengok ke arah kanan.

"Iya, Pak. Bu Indri kurang sehat. Jadi, saya yang ke sini. Kemarin sudah sampai mana, ya?"

"Oh, kemarin itu wawancara sama guru BK. Kalau sekarang, saya serahkan sama Mas Bima saja."

"Kalau begitu, saya minta perwakilan murid aja Pak. Niatnya akan ada asesmen dengan beberapa anak sebagai perwakilan."

Itulah percakapanku sebelum akhirnya aku naik ke lantai tiga gedung sebelah barat sekolah ini. Gedung yang dahulu masih dua lantai, kini sudah selesai dengan lantai tiga sebagai lantai untuk ruang BK dan ruang tari untuk ekstrakurikuler seni tari. Kenanganku mulai terdistorsi. Ada beberapa memori yang menceritakan kisah sekolah saat seni tari masih dilakukan di kelas. Namun, aku juga cukup yakin bahwa dahulu aku dan teman-teman memulai pelajaran seni tari di aula sekolah.

Aku duduk di ruangan yang cukup luas ini. Ada LCD dan projector, ada karpet di bagian bawah, ada AC, serta kaca tembus pandang yang membuat ruang yang ada diseberang ikut terlihat. Punggungku bersandar pada kursi sambil netra ini memberikan atensi pada rak buku di samping kiriku. Berjajar banyak sekali piala. Sepertinya piala itu ditaruh di sini, karena sudah tidak cukup di lemari lobby.

"Juara satu ... juara satu ... juara satu ... juara dua ... juara satu ... juara umum ...," kataku sambil membaca keterangan pada piala itu.

"Siapa saja jawara-jawara ini? Apakah mereka baik-baik saja?"

Pecah Jadi DuaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang