Pecahan Ke-4

12 0 0
                                    

Setan dan bentuk helaan napas itu lewat di depanku. Pada matanya yang membara, aku menyadari sesuatu. Bahwa aku hanya manusia biasa yang besar kemungkinan termakan bujuk rayunya. Termakan manis cintanya dengan jaminan kebebasan.

Pulang ke rumah, aku duduk di ruang tengah. Kepalaku pening dan gendang telingaku kadang berdengung nyaring. Suara langkah Mbok Dasri terdengar. Suara besi klintingan di dapur membuatku sadar bahwa aku tidak hidup sendiri. Yang benar saja! Lebih dari sepuluh tahun aku bersama Mbok Dasri, kenapa aku baru menyadari eksistensinya sekarang? Barangkali aku memang lelah. Setelah melaporkan hasil asesmen kebutuhan Purnama pada Bu Indri, aku memang langsung pulang. Harusnya aku ke lapas, tapi hari ini ada cek urin. Tidak bisa juga aku membantu Pak Hadi buat konseling.

Ketika tepuk lembut Mbok Dasri menyapa pundakku, aku menoleh ke belakang. Ternyata Mbok Dasri menunjukkan padaku dua jenis buah yang berbeda. Aku hanya tertawa kecil. Tangan keriputnya masih saja membawakanku buah-buahan berbeda kala bulan puasa. Memberikanku kehendak untuk memilih mana buah yang aku suka. Tentu saja aku tidak akan memilih untukku. Aku akan memilih buah yang disukai semua orang di rumah. Untukku sendiri, buah terlalu manis.

"Ayo, pilihen. Mau melon atau mangga?"

"Melon aja, haha ... lagian kok ya, wong kan ada Anya. Tanya dia aja."

"Dek Anya kan ngga puasa. Sedang kedatangan tamu. Yang puasa kan Mas Bima. Tanyanya ya ke Mas Bima, ya Lu?" tanya Mbok Dasri ke arah Lulu yang sedang duduk anteng di kursinya.

Lulu hanya menggigit tangannya riang gembira. Di depannya ada bubur yang kelihatannya sudah habis. Aku hanya tersenyum kecut dan menganggukkan kepala seraya jalan ke arahnya. Sepertinya tuan putriku baru saja mandi, karena masih ada bedak menempel di pipi kanannya. Aku gendong badannya yang mungil dan ia langsung membuka matanya lebar seperti seorang anak bertemu ibunya untuk kali pertama. Haha ... andaikan Ibu ada di sini, Lu ... mungkin kamu lebih riang gembira. Sayang sekali Ibu memilih pergi ke Depok.

Ketika wajah Ibu melintas, aku langsung mendudukan kembali Lulu di kursinya. Aku tidak mau tuan putriku melihat wajah stres yang aku tunjukkan. Aku sendiri sudah bersumpah hanya akan menyentuh Lulu ketika aku sedang tidak stres. Jika otakku sedang seperti sekarang, maka aku memilih berjalan ke kamar. Ketika langkah kesekian sebelum naik tangga, pertanyaan milik Purnama kembali terlintas. Aku mengabaikannya. Aku tetap masuk ke kamar dan duduk di kasur. Saat itulah bisikan tanpa alamat bersemayam di telinga.

𝘚𝘢𝘬𝘪𝘵𝘪 𝘥𝘪𝘳𝘪𝘮𝘶 ...
𝘴𝘢𝘬𝘪𝘵𝘪 ... 𝘴𝘢𝘬𝘪𝘵𝘪 ....

𝘉𝘢𝘯𝘨𝘶𝘯𝘭𝘢𝘩 𝘬𝘢𝘭𝘢 𝘥𝘪𝘳𝘪𝘮𝘶 𝘮𝘢𝘵𝘪 ...
𝘣𝘢𝘯𝘨𝘶𝘯𝘭𝘢𝘩 ... 𝘣𝘢𝘯𝘨𝘶𝘯 ....

𝘊𝘢𝘳𝘪𝘭𝘢𝘩 𝘳𝘶𝘮𝘢𝘩 𝘪𝘵𝘶 ...
𝘳𝘶𝘮𝘢𝘩 ... 𝘳𝘶𝘮𝘢𝘩 ....

𝘙𝘶𝘮𝘢𝘩 𝘥𝘦𝘯𝘨𝘢𝘯 𝘱𝘦𝘮𝘶𝘥𝘢 𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘴𝘦𝘬𝘢𝘳𝘢𝘵 ....

Entah dari mana bisikan itu datang, tetapi suara gemerisik daun bambu di dekat jendela membuatku semakin hampa. Aku seperti sedang berada di tengah lautan luas. Bisikan itu membuat pikiranku kosong. Netraku entah menatap ke arah mana dan setiap bisikan itu semakin jelas, aku semakin tenggelam pada setiap kata yang terdengar. Bak aji-aji yang sering diucapkan Mbah Surdi, aku terhempas ke arah kasur. Langit-langit kamar kian mengabur.

Aku tidak kenal diriku sendiri. Tangan dan kakiku sudah tidak bernyawa. Kedip mataku sudah tak selaras dengan sukma. Hatiku seperti mati. Jiwaku sudah tak berfungsi dan ragaku hanya bisa berdiam diri. Tiba-tiba tanganku terangkat seperti akan menggapai sesuatu dari langit-langit kamar. Bisikan itu semakin jelas terdengar. Bisikan itu semakin membuatku tak sadar. Aku kehilangan diri lahir dan batin. Apakah aku sudah terbuai oleh sesuatu yang tak aku pahami?

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Aug 29, 2021 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Pecah Jadi DuaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang