Otak manusia memproduksi asumsi - asumsi secara otodidak. Entah pasal bertahan hidup atau mempertahankan hidup.
•
•
•Pasar Klewer tampak begitu sibuk. Ratih dan kelima temannya duduk di depan pelantaran Pasar Klewer, kondisi pasar yang terlihat begitu sesak membuat enam gadis itu enggan masuk.
Sinar matahari begitu menyengat, padahal masih menunjukkan pukul 8 pagi.
Semakin hari cuaca semakin ekstrim. Tiba - tiba hujan, tiba - tiba panas. Pengaruh globalisasi memang nyata.
"Masuk nanti opo sekarang?" tanya Merani sambil menghalau sinar matahari yang menyorot wajahnya.
Rina yang bersiap membuka sedikit hijabnya mau tidak mau harus kembali membenahi hijabnya, "Yowes, sekarang aja. Keburu panas kalau nanti nanti. Biar gak kesoren juga pulangnya." ujarnya.
"Yo ayo gih budal." sahut Dela. Ia langsung berdiri menarik lengan Alena.
"Weh, ojo tarik - tarik!" jengit Alena. Lengannya sedikit kebas akibat tarikan tak manusiawi dari Dela."Memang arep tumbas baju? Ya Allah, aku lagi mudhun belum kerja udah belanja ae," keluh Ratih. Memang benar 'kan? Ia baru sampai kemarin masa mau belanja gitu aja?
"Lho, kenang - kenangan dong!" sahut Rina.
Keempatnya berjalan duluan menyisakan Ratih dan Alena dibaris belakang.
"Tumbas gak?" tanya Alena berbisik.
"Enggak ah, larang. Aku baru sampai kemarin masa iya udah belanja ini-itu. Uangnya habis dong, kalau mereka beli ya beli aja. Intinya aku gak beli sekarang." jawab Ratih ikut berbisik.
"Yowis, aku yo gak beli. Bisa bahaya kalau uangnya habis duluan." cengir Alena mengingat sejumlah uang yang ia bawa kemari.
Ratih mengangguk sekedar. Ia dan Alena masih mengikuti keempat temannya yang asik memilih - milih pakaian batik.
"Pulang yok!" jumawa Rina mengangkat satu tas belanja berlogo salah satu toko disana.
***
Brak!
"Gak bisa pelan? Udah ngerasa hebat sampai banting - banting pintu mobil?" tegur Papa Putra.
Putra mendengus pelan. Kakinya langsung menuju rumah sang Kakek. Setelah bersalam - salam ria, Putra pamit untuk beristirahat.
Dan disinilah dia sekarang.
Kamar yang besarnya setengah dari kamar aslinya langsung membuat Putra malas. Ranjangnya tidak seempuk dan sehalus ranjang miliknya di Jakarta. Tidak ada AC, hanya satu kipas angin kecil. Tidak ada kamar mandi dalam. Oh, ayolah! Kamar ini tidak ada apa - apanya dengan kamarnya dulu.
"Gua bakal mati kepanasan gak ya?"
"Ah, bego banget deh nih otak. Tinggal minta kakek pasang 'kan bisa. Pasti Kakek mau deh nurutin apa mau gue." runtuknya memberi ide.
Putra menutup kembali pintu kamarnya. Di ruang tamu ia melihat kedua orangtuanya di dudukkan oleh sang kakek. Ia menghentikan langkah, menguping.
"Kita nitip Putra disini sementara waktu gak apa - apa 'kan, Pak?" tanya Mama Putra.
"Jadi, kalian benar mau nitip Putra sama Bapak? Sebenarnya, Bapak ndak masalah, wong Putra juga cucu Bapak. Bapak malah seneng disini ada temennya." ujar Kakek Putra enteng. Wajahnya berkerut penuh kharisma.
"Ya, Pak. Rencananya sampai Putra berubah. Pergaulan Jakarta lebih bebas daripada disini, kemarin Putra ketangkap tangan minum - minum di sekolah. Saya sama Mamanya jadi takut sama kelakuan Putra kedepannya." papar Papa Putra penuh fakta.
Jari kemerut Kakek menjentikkan rokok, abu itu turun tak beraturan membuat meja ikut kotor terkena sisa pembakaran tembakau itu. "Ya itu resiko punya anak laki - laki. Kalau ndak siap resiko ngapain punya anak laki - laki?"
Kedua orangtua Putra tertegun. Putra juga ikut tertegun mendengar tuturan simple Kakeknya.
"Ya, bukan apa - apa. Tiap daerah beda - beda to? Bapak ndak mempermasalahkan kalian punya anak laki atau perempuan, cuma yo kasihan anaknya kalau kalian nitip kayak gini. Anak seusia Putra pasti punya pemikiran sendiri. Bejo kalau berpikir positif, lha kalau negatif? Bisa - bisa Putra mikir dibuang amergo kalian wis ndak sanggup."
Iya. Putra sepemikiran dengan Kakeknya. Ia sempat berfikir dibuang karena permasalahan sekolah.
Dulu ia sangat dielu - elukan, disanjung karena prestasinya. Terkadang saat Papa ataupun Mama Putra mendapat undangan pesta, mereka pasti membanggakan Putra. Kenapa Putra bisa tahu? Karena subjek yang mereka banggakan ikut mendengar semuanya.
Tentang masa depan Putra yang akan secerah langit di musim kemarau.
Tapi, mereka lupa.
Pemanasan global yang terjadi bisa merubah langit cerah musim kemarau menjadi sepekat langit badai.
Dan itu berlaku kapan pun serta untuk siapapun.
Termasuk Putra.
Cowok itu kembali ke kamarnya. Niat untuk meminta pendingin ruangan lenyap begitu saja.
Ia pikir Kakeknya adalah orang kolot yang tetap memegang prinsip hidup orang dulu dulu. Nyatanya, pemikiran Kakeknya jauh lebih baik daripada pemikiran orangtuanya.
Senyum lirih tergambar di wajah Putra.
Sepertinya bukan hal buruk ia mengungsi sementara waktu disini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Beautify || Nakamoto Yuta
Poetry⋆ cukup mengerti jika kecantikan bukan milik wanita semata. ⋆ *** "Maksud lo?" "Beautify." Bibir cowok itu melengkungkan senyum sinis. Sirat akan keegoisan dan rasa putus asa, "Gue cowok asal lo tau. Dan gue gak butuh beautify yang lo maksud." "Kamu...