Pengakuan bukan hanya di lisan, kesadaran dan rasa bersalah adalah yang kami inginkan.
•
•
•Pagi cerah di Kota Solo.
Ratih sudah siap dengan seragam hitam putihnya. Tinggal menunggu teman - temannya siap dan mereka akan meluncur menuju tempat Industri.
"Ayo! Lama banget sih, kalau telat nanti gimana?" seru Ratih.
"Yo ndak bakal telat. Deket kok darisini kesana." sahut Dela, ia sibuk membuat garis pada matanya. Membuat mata bulat Dela terlihat agak lebar.
"Tenang wis. Kalem kalem." sahut Merani menyemprotkan parfum keatas jilbabnya.
"Aku duluan aja deh." pamit Ratih. Ia bersungguh - sungguh mengatakan itu, lagipula dekat bukan?
Alena ikut mencangklong tas slempang miliknya, "Bareng ya?"
Rina menarik kasar lengan seragam Alena, "Ehh, Len. Jurnalmu 'kan belum di print, Tih, kamu lewat mana?" cegatnya memberi tanya pada Ratih.
"Lewat jalan kemarin aja. Aku taunya jalan itu, lainnya belum tahu."
"Tuh, jalan itu ndak ada tempat print. Kita nanti lewat gang satunya, disana ada mas - mas tukang print."
"Yoweslah.."
"Aku duluan aja. Kalian jangan lama - lama dandannya, percuma. Luntur." pamit Ratih memberi wejangan.
Gerbang kost tertutup, Ratih berjalan menuju arah utara. Gang kedua ternyata di tutup. Ratih terpaksa putar balik melalui jalan di gang pertama.
Memang cukup memakan waktu, namun jalannya agak teduh.
***
"Ayo, Put! Kamu ini cowok kok lelet."
"Paan sih!? Nyesel kemarin gue muji - muji tuh Aki - Aki." gerutu Putra sambil mengancingkan seragam.
Tas hitam bermerk sudah bersandar rapi di punggungnya. Tas itu hanya berisi satu buah buku dan satu buah bolpoin, membuat Putra dengan mudah melempar - lempar guna mengurangi rasa kesalnya pagi ini.
Putra keluar dari kamar dan langsung disambut dengan Sang Kakek yang bersedekap.
"Lama banget, ngapain aja kamu?" tanya Sang Kakek dengan logat Jawa. Matanya berkerut penuh rasa ingin tahu.
"Apasih, Kek? Gak jelas banget." bantah Putra dengan sugestif. Tangannya bergerak memutar kunci kamar dan langsung memasukkan kunci tersebut ke dalam saku celana.
"Loh, ngapain main kunci - kuncian? Kamu nyembunyiin apa, huh? Bukan yang itu - itu 'kan?"
"Apasih,Kek! Unmood banget." cemberut Putra. Moodnya semakin anjlok karena dituduh tidak - tidak oleh Sang Kakek.
Kakek Putra tersenyum geli. Putra satu - satunya cucu pemarah di keluarga ini. Emosinya buruk sekali, mudah terpancing, dan sangat sulit dikendalikan. Ego Putra juga sangat tinggi, sulit sekali menyadarkan satu kesalahan yang sudah ia perbuat.
KAMU SEDANG MEMBACA
Beautify || Nakamoto Yuta
Şiir⋆ cukup mengerti jika kecantikan bukan milik wanita semata. ⋆ *** "Maksud lo?" "Beautify." Bibir cowok itu melengkungkan senyum sinis. Sirat akan keegoisan dan rasa putus asa, "Gue cowok asal lo tau. Dan gue gak butuh beautify yang lo maksud." "Kamu...