Seperti ruang kosong pada umumnya; hati Ratih begitu hampa dan berdebu.
Sore ini langit yang menaungi Alun - Alun Kidul menampilkan semburat jingga yang begitu anggun. Membawa Ratih pada kenangan ketika ia masih bersama Putra.
Cowok Ibukota itu pasti akan menyeletuk tentang puisi senja tatkala melihat langit orange. Tidak peduli jika itu bukan waktunya.
Kaki berbalut sandal jepit hitam milik Ratih berjalan pelan menuju Kereta yang konon digunakan oleh Sultan.
Tanpa sadar Ratih bergumam mengiyakan ucapan Putra tempo lalu. Membenarkan jika kita menatap kereta itu, maka kita seperti terperosok ke dalam lingkar masa lalu. Dan Ratih sedang mengalami itu.
Dan tentu masa lalunya bersama Putra.
Tiga tahun sudah berlalu, namun perasaan Ratih untuk Putra sulit untuk diabaikan.
Putra terlalu mendominasi dikisah romansa milik Ratih.
Putra terlalu ambil bagian didalam hati Ratih.
Cowok itu dengan gaya songong khas Ibukota mengklaim seluruh sudut hati Ratih adalah miliknya.
Walau menolak, ucapan Putra adalah mantra ajaib yang sulit ditampik.
Ratih duduk di trotoar yang biasa digunakan lapak angkringan malam. Netranya menatap kosong deretan kerbau hitam, ketika menangkap kerbau putih--kebo bule, Ratih tersenyum geli.
"Yee.. itu bukan bule tapi albino! Kece amat ya disini, kerbau albino dijadiin hewan keramat." ejek Putra dengan tangan sibuk mencabuti rumput secara asal.
"Husst! Gak boleh ngomong gitu. Setiap daerah punya kepercayaan masing - masing, punya adat dan kebiasaan masing - masing. Jangan suka gitu, Put. Orang yang gak suka bisa ngapa - ngapain kamu." peringat Ratih tidak habis pikir dengan ejekan Putra.
Putra bergidik, "Ngapa - ngapain tuh maksud lo nyantet? Ngeri amat orang Jawa." ia tertawa keras setelah berucap demikian, membuat Ratih mau tidak mau tersenyum. Tawa Putra terlalu renyah untuk diabaikan.
Tepukan dipundak membuyarkan lamunan lawas Ratih. Ternyata Ibu berhijab yang menghampirinya, Ibu tersebut juga membawa payung besar.
"Neduh, dek. Udanne deres banget loh." peringat Ibu tersebut.
Ratih bahkan tidak sadar jika dirinya tengah diguyur hujan lebat.
Memori Ratih bersimpangan dengan wajah Putra yang sumringah kala itu. Suasananya sama, hanya manusianya yang berkurang satu.
Ratih berlari menerobos guyuran hujan yang menyatu dengan lelehan air mata rindu miliknya--dan juga milik orang lain, mungkin.
Hujan memang membawa kenangan tersendiri bagi penikmatnya. Dan Ratih akan menjadi salah satu dari penikmat itu.
Bibirnya bergumam menyebut nama Putra. Cowok itu pasti sudah senang disana. Walau pada awalnya Ratih mengutuk pertemuannya dengan Putra, kini ia bersyukur telah dipertemukan dengan cowok itu.
Cowok sejuta keanehan.
Cowok sejuta kejutan.
Dan cowok yang berani mengusik hati tenangnya.
Ratih lagi lagi bersyukur, setidaknya ia sudah bersama Putra walau hanya sebentar.
- Teruntuk cowok aneh Ibukota -
Terima kasih, Putra.
Terima kasih sudah memberi kisah semanis dan sepahit ini.
Tuturmu yang aneh akan selalu aku ingat.
Mengingat kobar semangat di matamu ketika mempelajari hal baru membuatku terkesan. Tidak pernah kutemukan seseorang sepertimu.
Terima kasih sudah datang walau sesaat.
Kisahmu akan terus abadi dalam relungku.
Namamu tertulis dalam prasasti cinta milikku.
Semoga kita bertemu dikehidupan selanjutnya.
Aku menunggumu, dan aku harap kamu juga menungguku.
- Ratih -
KAMU SEDANG MEMBACA
Beautify || Nakamoto Yuta
Poesía⋆ cukup mengerti jika kecantikan bukan milik wanita semata. ⋆ *** "Maksud lo?" "Beautify." Bibir cowok itu melengkungkan senyum sinis. Sirat akan keegoisan dan rasa putus asa, "Gue cowok asal lo tau. Dan gue gak butuh beautify yang lo maksud." "Kamu...