LB ~18~

13.1K 1.6K 210
                                    

"Kalau aku udah ngomong sayang, kamu harus tanggung jawab."

"Tanggung jawab apa?"

"Setia! Bisa?"

_*_

Lagi-lagi Bima dibuat heran oleh cowok yang baru saja membonceng dirinya. Jika tadi ia bingung karena Lanang menghentikan motor di pinggir jalan, kali ini ia bingung lantaran cowok itu membawa ia sampai di depan rumah mewah, dengan empat pilar yang menjualang tinggi dibagian teras.

Kening Bima berkerut, menatap rumah mewah yang didominasi warna putih tersebut.

Itu rumah orang tua Lanang.

"Kok aku dibawa kesini? Aku mau pulang." Ucap Bima menatap Lanang yang baru saja menginjakkan kakinya di bumi.

Mencatolkan helm full face nya pada setang motor, Lanang menatap remaja berseragam SMA yang masih nangkring di atas motornya. "Turun," ucapnya ketus.

"Tapi aku mau pulang, ini tuh udah malem. Nanti bapak sama ibuku nyariin." Bima mendengkus menatap kesal pada cowok itu. "Kamu kalau mukul aku sekarang aja, habis itu aku pulang."

"Kamu nggak usah kuatir, urusan kita belum selesai, aku bakal ngasih pelajaran sama kamu. Kamu juga nggak perlu takut, bapak sama ibumu nggak bakal nyari. Mereka udah tahu kalau kamu di sini, mereka juga tahu kalau aku yang jemput kamu."

Kening Bima berlipat. Remaja itu semakin tidak mengerti dengan apa yang dijelaskan cowok gagah di depannya ini. "M-maksud kamu apa?"

Lanang membuang napas kasar. "Kamu jangan ke ge-eran, kalau bukan karna ibuku yang nyuruh, aku nggak bakal sudi jemput kamu."

Bima semakin tidak mengerti, dan Lanang membuat dirinya geram. Bukan masalah GR ataupun sudi tidak sudi. Yang membuat remaja itu bingung, kenapa harus dibawa ke rumahnya, dan kenapa harus ada ibu Nur dalam masalah ini?

Apa ibunya sudah memberitahu prihal ramuan yang tertukar itu? Bima menelan ludah. Kalau memang benar, sepertinya masalah akan bertambah rumit. Ibu Nur pasti akan memarahi dirinya.

Tapi, bukankah ibunya sempat mengatakan kalau belum siap?

Bima tersentak kaget. Lamunannya membuyar, ketika Lanang tiba-tiba meraih kerah serangamnya, menariknya kuat hingga membuat jarak wajah mereka, sangat dekat.

"Denger," ucap Lanang dengan nada suara pelan, namun tajam, setajam sorot matanya menatap wajah Bima yang berkerut. "Kamu udah bikin masalah besar sama aku, aku bakal kasih kamu pelajaran yang nggak bakal kamu lupain seumur hidup."

Telapak tangan Lanang mendorong wajah Bima, hingga tertoleh ke samping. "Buruan turun." Cowok itu melepaskan cekalannya pada kerah baju Bima, sebelum akhirnya berjalan ke arah rumahnya.

Bima membuang napas gusar, sambil menatap punggung Lanang. Remaja itu terdiam sebelum akhirnya kembali bersuara.

"Kamu gitu amat sih, Lan? Bukanya kamu malah ke enakan, ya?"

Deg!

Sepertinya Bima sudah salah bicara. Pasalnya setelah ia mengatakan itu, Lanang langsung menghentikan langkah, lalu kembali berjalan mendekat padanya. Ekspresi wajah pemuda itu juga terlihat semakin tidak bersahabat.

"Ngomong apa kamu tadi?" ucap Lanang sarkas. Laki-laki itu kini sudah berada dekat di hadapan Bima. Bahkan belum turun dari atas motornya.

Wajah Bima berkerut. Ia harus mendongak melihat Lanang yang posisinya lebih tinggi darinya.

Lanang-nya Bima {Mpreg}Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang