"Yaudah."
Masa bodo dengan ramuan apa yang akan dibuat oleh sang ibu, Bima menekuk wajahnya seraya mendengkus pasrah mengikuti saran dari ibu Muna. Dengan terpaksa, remaja itu berjalan malas mendekati motor king, dimana ada Lanang masih nangkring di atasnya.
"Makasih ya Lan, udah mau ngater Bima." Ibu Muna mengulas senyum, menatap Lanang yang terlihat cuek. "Hati-hati, maaf ngerepotin."
Mengabaikan wajah jutek Lanang, ibu Muna menoleh ke arah anaknya yang masih diam mematung. "Buruan Bim, naik. Nanti ibu sekalian buatin jamu buat kamu."
Kejadian pada saat Lanang mengerjainya, membuat Bima merasa ragu untuk mengangkat kakinya, menginjak pedal. Remaja itu khawatir kalau-kalau hal itu akan diulang lagi oleh remaja sombong itu.
Namun akhirnya Bima menghela napas lega. Ternyata tidak terjadi apapun saat kakinya sudah menginjak pedal. Lanang tidak mengerjai dirinya. Bahkan Lanang tidak menghidupkan motor, sampai bokong Bima duduk di atas joknya--mengambil bagian paling ujung.
Suara berisik dari knalpot motor baru terdengar setelah Lanang menginjak engkol, atau selah stater. Detik berikutnya, telapak tangan kekar Lanang menarik gas, membuat motornya berjalan perlahan meninggalkan pelataran rumah milik ibu Muna. Remaja itu menambah kecepatan, begitu melewati jalan kampung yang masih banyak bebatauan.
Bima diam seribu bahasa, dalam perjalanan melewati gang terjal, menuju jalan raya. Remaja itu hanya memandangi pekarangan kosong atau semak belukar yang banyak ditanami pepohonan di sisi kanan dan sisi kiri gang.
Banyaknya bebetauan di sepanjang jalan, membuat motor yang dikendarai oleh Lanang sesekali oleng--membuat tubuh remaja yang duduk di belakangnya terhentak-terhentak. Posisi duku Bima yang mengambil paling ujung jok, juga membuat Lanang sedikit kesulitan, mengatur keseimbangan.
Membuang napas kasar, telapak kaki Lanang menginjak rem, menghentikan motornya secara mendadak. Remaja itu menoleh ke belakang, menatap kesal sosok Bima yang sedang menatapnya bingung.
Tatapan tidak bersahabat itu, membuat kening Bima mengernyit. Ia juga heran dengan Lanang yang tiba-tiba saja menghentikan motornya.
"Kenapa?" Tegur Bima. Nada suaranya tidak kalah ketus dengan wajah Lanang yang sedang memandangnya.
"Kamu kalau dibonceng tu yang bener," sahut Lanang.
"Kurang bener gimana emangnya? dari tadi aku diem aja kok. Enggak usil."
Lanang mendesah jengah, menatap Bima yang seperti tidak tahu bagaimana caranya duduk membonceng. Menggunakan wajah ketusnya, Lanang menunjuk posisi duduk remaja bermata bulat nan bening itu. "Kalau kamu duduknya kayak gitu, aku susah bawa motornya, goyang-oyang. Lagian ngapain jauh-jauhan? Kamu takut kena senggol? Kamu laki-laki kan?" Lanang mengulurkan telapak tangannya ke dada Bima, lalu meremasnya kuat. "Kepet gini, nggak dada dadanya."
"Au..." ringis Bima sambil memegangi dadanya. Remasan yang kuat dari Lanang, menghasilkan rasa nyeri di sana. "Sakit tau?"
"Duduk yang bener," tegas Lanang. Ia kembali memutar tubuh ke arah depan seraya mencibir, "kencleng, kaya perempuan. Nggak usah kepedean, aku juga ogah ke senggol kamu." Lanang kembali menghidupkan mesin motor, mengabaikan Bima yang sedang menatap kesal padanya.
Bima menghela napas, menahan rasa gondok yang bersarang di dadanya. Tidak ada pilihan lain, selain harus mengikuti perintah cowok galak di depannya. Tapi, setelah dipikir-pikir, Lanang ada benarnya juga. Lagi pula, kenapa ia harus duduk berjauan, dan merasa enggan bersentuhan? Padahal jelas-jelas ia dan Lanang sama-sama lelaki, jadi tidak ada yang salah kalau harus duduk merapat, apalagi cuma sekedar bersentuhan. Wajar dan juga lumrah. Tapi entahlah, hari ini ia jadi merasa begitu sensitif. Bahkan, sentuhan telapak tangan Lanang di dadanya, membuat ia merasa aneh. Bukankah seharusnya biasa saja? Entahlah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Lanang-nya Bima {Mpreg}
Novela JuvenilSampul; @Oikhoe69 {Lexa} BL Mpreg. Misteri. Horor. Comedy. Romance. Fantasi.