Seira memastikan kembali jejeran buku yang tersusun rapi di dalam tas saat langkahnya menuruni anak tangga semakin dipercepat. Gadis berseragam putih abu-abu itu lantas tersenyum ceria menyapa mama dan papanya yang sudah menunggu di meja makan.
"Pagi ma, pa.." sapanya sembari mencium pipi kedua orang tuanya. Kemudian Seira ikut duduk di salah satu kursi.
"Cici berangkatnya sama Bara ya hari ini?" tanya mamanya saat memberikan roti untuk si pemilik nama kecil 'Cici' itu.
Gadis bersurai sebahu itu belum menjawabnya, ia melahap lebih dulu roti yang baru saja ia sambut dari mamanya, lalu mengunyah beberapa kali dengan mata yang merotasi pelan seakan ragu ingin menjawab apa.
"Arbara pasti udah pergi. Dia anak yang rajin, nggak kayak Cici, bangunnya aja kesiangan," sindir papanya yang berakhir dengan tawa kecil mengudara sebelum menyeduh kopi. Seira pun terbahak keras saat mendengar pujian dari papanya untuk Bara. Dia bahkan hampir tersedak roti yang sedang dalam kunyahannya.
"Astaga pa! Kalau aja papa sering ngabisin waktu bareng Bara, pasti papa bakal narik pujian tadi." Dan lagi, Seira melanjutkan tawanya.
"Loh! Papa kan sama kayak kamu, udah kenal Arbara dari kalian masih SD. Dia emang rajin tuh, selalu bantuin pak Bani bersihin mobil setiap pagi."
Sebuah gumaman mengudara bersamaan dengan mata yang merotasi pelan. "Hm.. emang iya ya pa? Cici jarang liat. Tapi pa, Bara itu termasuk murid yang petakilan, ya walaupun dia pintar sih. Dia sebenarnya nggak rajin, coba deh papa liat cara dia berpakaian, kurang rapi kan?"
Ayah dan anak itu pun melanjutkan aksi bela dan menjatuhkan Arbara. Demi Arbara yang mungkin aja lagi keselek karena menjadi bahan perdebatan mereka, mama Seira pun mencoba untuk menghentikannya dengan suara lembut yang dipertegas. "Pa, Ci! Udah ih. Kalau dilanjutin sekarang, Cici bisa telah sekolah loh! Nanti aja dilanjutin lagi pas makan malam kalau emang penting."
Keduanya terdiam, namun masih saling menatap.
"Udah, sekarang kamu pastiin lagi si Bara udah pergi atau belum. Kalau udah pergi, kamu minta tolong ke pak Bani untuk anterin kamu ke sekolah," ucap mamanya lagi.
Seira lantas bangkit dari kursinya setelah selesai mengunyah potongan roti terakhir. "Ya udah, Cici pergi dulu ya ma, pa." Lalu ia berlari menuju halaman depan untuk menemui pak Bani yang sedang mengelap mobil.
"Pagi pak Baniii.." sapa Seira begitu riang kepada supir mobil pribadi keluarganya itu.
Pak Bani yang mengenakan seragam supir itu pun tersenyum ramah menyambut Seira. "Pagi juga Cici."
"Pak Bani, kira-kira Bara udah pergi belum ke sekolah?" tanya Seira yang masih setia dengan senyum cerianya.
Pak Bani belum menjawab, dia berjalan mendekati gerbang rumah Seira, lalu memastikan sesuatu sebelum berbalik badan ke arah Seira. "Ini Bara, masih nungguin Cici disini."
Seira pun mengangkat kedua alisnya. "Loh? ngapain nunggu di luar?" tanya Seira sembari berlari mendekati pak Bani. Bara pun memunculkan diri dari balik tembok.
"Lama banget tuan putri! Gue sampe bisa nambah makan nasi uduk bu Tatang," celetuk Bara sembari menoleh ke seberang jalan-tempat dimana bu Tatang berjualan.
"Heheh.. ya maaf, namanya juga cewek. Ya kan pak Bani?" Seira mencari pembelaan. Dan pastinya pak Bani mengangguk dengan semangat empat lima.
"Loh iya benar! Gimana sih kamu Bar. Ini nih akibatnya kalau bapak dan ibu nggak bisa ngasih kamu adik cewek, jadi kamu nggak ngerti," bela pak Bani.
"Yee si bapak malah ngebela Cici, ngelunjak anaknya nanti pak," cerca Bara.
"Iri aja deh! Ya udah yuk pergi!" sahut Seira menyudahi perdebatan.
Bara yang menatap Seira kesal pun akhirnya bersalaman dengan bapaknya yang masih tertawa melihat tingkah Seira.
"Ya udah Bara pergi dulu ya pak.." pamit Bara.
Seira juga ikut bersalaman. "Cici juga ya pak Bani yang baik.."
"Benar nih nggak mau bapak anter?" tawar pak Bani.
Seira pun menggeleng cepat. "Jangan pak! Bapak ngopi aja dulu. Naik bus lebih seru!"
"Seru apanya? Dari SD sampe sekarang gue naik bus terus, nggak ada seru-serunya, repot iya!" Bara menimpali saat ia melangkah pergi.
Seira lantas mengejar Bara dan mengimbangi langkah mereka. "Tapi serius, naik bus seru tau! Lo kan tau dari TK sampe SMP gue nggak pernah dilepas sama mama papa. Apa-apa harus dianter pak Bani. Jadi, sekarang gue bener-bener menikmati hidup, bisa pergi pulang naik kendaraan umum sama lo."
"Oh, jadi maskudnya momen yang lo tunggu itu naik kendaraan umum sama gue?" Bara terkekeh.
"Bukan gitu Bambang! Ya kan biasanya gue cuma bisa liat lo naik kendaraan umum, nah sekarang gue bisa ngerasain juga."
"Lo bakal bosen dan kerepotan. Percaya deh sama gue, paling beberapa bulan lagi lo capek sendiri."
Seira menggeleng yakin setelah mereka sampai di halte bus. "Nggak mungkin! Lo liat aja, sampe tamat gue nikmatin ini!"
"Iya deh iya! Percaya percaya.." Bara lantas bergumam. "Asal naik busnya selalu sama gue, biar aman."
"Kalau doi satu sekolah sama kita, gue jadi pengen sekali-sekali naik bus bareng dia."
Mendengar ucapan itu lantas sukses membuat Bara menoleh ke arah Seira dengan hembusan napas beratnya.
"Doi siapa?" tanya Bara.
"Cowok di toko buku yang pernah gue ceritain ke lo. Gue kan juga pernah bilang ke lo kalau gue udah jadian sama dia."
Perlahan Bara menunduk, ekspresinya tampak begitu serius saat ia menatap lurus ke arah ujung kakinya. "Gue jadi prihatin sama lo."
"Prihatin kenapa? Karena dia nggak bisa naik bus bareng gue?"
Bara pun menggeleng pelan. "Lo nggak capek ngehalu terus, Ra? Pengen banget punya pacar sampai harus begini?" Lalu Bara menatap Seira sambil menahan tawa.
"Ih! Lo masih nggak percaya?! Nanti gue buktiin! Emangnya cuma lo doang yang bisa deketin cewek? Gue juga bisa, Bar! Udah jadian malah, nggak kayak lo yang cuma bisa ngebaperin banyak cewek, huuu!" jelas Seira sebelum ia melangkah mendahului Bara.
Tawa Bara mengudara. Dia tidak bisa menahan gelinya setiap kali Seira bercerita tentang sosok lelaki yang ditemui di toko buku. Bara yakin, Seira sedang membohongi dirinya. Mungkin saja Seira cemburu melihat dirinya yang kerap kali mendekati beberapa murid perempuan di sekolah, itulah mengapa Seira membangun imajinasinya untuk membuktikan kepada Bara bahwa Seira tidak kalah hebat darinya.
Iya! Bara sangat yakin bahwa Seira tidak akan mungkin membuka hati untuk lelaki selain dirinya.
TBC,
Hai, aku Lura!
Selamat datang di cerita pertamaku ya.
Semoga cerita bergenre fiksi remaja ini bisa nemanin kalian setiap Senin, Rabu, dan Sabtu.Mohon tinggalkan komentar dengan sopan ya teman-teman.
Jangan lupa Vote dan Comment, karena support kalian sangat berpengaruh dalam kepenulisan ini🥰
Terimakasih banyak 💜
Seperti apa Arbara dan Seira di mata kalian?
Aku sendiri punya visual mereka tersendiri.
Mau tau?
Kepoin ya di ig aku : @alurasaa_
Aku bakal sering-sering bikin konten cerita disitu!Sampai ketemu hari sabtu💜

KAMU SEDANG MEMBACA
Teruntuk Seira
Подростковая литература[MOHON FOLLOW SEBELUM MEMBACA] [Update setiap Senin, Rabu, dan Sabtu] "Putusin Seira!" "Kenapa lo ngatur?" "Gue yang selalu berjuang demi dia. Gue yang selalu berhasil bikin Seira senyum!" "Enggak lo aja! Gue juga berjuang." "Iya! Lo emang berjuang...