5| Dia Datang

16 3 0
                                        

Ujian kenaikan kelas telah usai. Semua murid SMA Cempaka bahkan sudah memasuki hari libur yang ke Sembilan. Tersisa tiga hari lagi untuk kembali masuk sekolah, tentunya dengan status baru, kelas baru, dan teman baru—karena setiap kenaikan kelas, SMA Cempaka selalu melakukan perombakan murid di setiap kelasnya.

Liburan kenaikan kelas di SMA Cempaka adalah pengalaman pertama kalinya bagi Seira dan Bara. Tiga hari lagi, mereka akan memasuki kelas dua SMA.

Seira sendiri tidak terlalu mengistimewakan liburan kenaikan kelasnya. Dia tidak berpergian ke luar kota atau ke luar negeri bersama keluarga seperti biasanya. Padahal, Seira layak melakukan liburan yang istimewa setelah seluruh tenaga dan pikirannya terkuras habis saat menghadapi ujian.

Hebatnya, usahanya itu mendapatkan hasil yang setimpal, Seira berhasil menggeser peringkat satu yang Bara tempati. Meskipun demikian, Seira lebih memilih liburan yang sederhana kali ini, seperti makan malam bersama keluarganya dan keluarga Bara di salah satu restoran mewah beberapa waktu lalu. Sisanya, Seira menghabiskan waktunya untuk belajar memasak dengan ibu Bara.

Sama halnya seperti Seira, Bara pun tidak melakukan hal istimewa di hari liburnya. Sebenarnya dia memang selalu seperti itu sejak SD, tidak pernah melakukan hal istimewa untuk mengisi hari tenangnya. Cukup dengan bermain basket, maka harinya sudah menjadi sempurna baginya.

Hari ini, kelas memasak bersama ibu Bara sudah dimulai sejak lima belas menit yang lalu di rumah Seira. Tidak seperti hari sebelumnya, kali ini Gweny ikut menjadi murid ibu Bara.

Seira dan Gweny sedang belajar membuat kue. Ketiganya sedang membuat adonan sambil bercerita.

"Ibuk Lela pasti disayang pak Bani karena jago masak." Seira memecahkan keheningan dengan kalimat yang sukses membuat ibu Lela mengangkat kedua alis matanya. Gweny pun juga menoleh ke arah Seira.

"Soalnya kata mama, pas mama udah bisa masak, papa jadi sering muji mama. Makanya Cici juga pengen belajar masak, yang penting tau aja dulu dasar-dasarnya, biar nggak kaget dan telat kayak mama."

Gweny mengangguk. "Bener juga ya. Kalau dapetnya sebaik papa Seira sih enak. Apalagi ada bi Kokom yang bantuin. Kalau dapetnya si tukang makan dan pemarah gimana?" Gweny pun menimpali.

Mendengar itu, ibu Lela terkekeh. "Ibuk juga nggak terlalu jago masak loh pas awal nikah sama pak Bani. Hari senin keasinan, selasa hambar, rabu rasanya pas, eh tapi malah gosong."

Seira dan Gweny tertawa saat mendengar cerita ibu Lela. Apalagi nada bicara ibu Lela cukup nyaring setiap kali berbicara.

"Tapi, nenek Bara selalu bilang ke ibuk waktu ibuk belum nikah. Kata nenek Bara, rumah itu akan semakin hidup jika dapurnya selalu mengepul. Nah, makanya ibuk berusaha untuk selalu masak dan masak, meskipun nggak langsung enak."

Seira dan Gweny pun mengangguk.

"Ibuk ini nggak secantik mama Cici, nggak terlahir dari keluarga yang kaya, jadi nggak bisa nyewa bi Kokom kayak mama Cici. Kalau bukan ibuk yang masak, siapa lagi? Kalian tau nggak? Sewaktu bapak belum menjadi supir pribadi keluarga Cici, hidup ibuk dan bapak terbilang sangat sulit. Selalu berpindah-pindah, untungnya pada saat itu Bara belum ada. Tapi, walaupun hidup sulit, bapak selalu memiliki prinsip biarlah hidup susah, asal dapur selalu mengepul. Masa disaat bapak berjuang untuk memenuhi daftar belanja, ibuk malah mengeluh tidak bisa masak? Nah, makanya ibuk berusaha untuk terus masak disaat ibuk masih mampu. Ngeliat bapak dan Arbara makan dengan wajah puas, wah ibuk langsung bahagia rasanya."

Seira tersenyum dengan matanya yang berbinar. "Ibuk keren banget!" puji Seira dengan tulus, bersama Gweny yang mengangguk serta mengacungkan jempol untuk ibu Lela.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Sep 11, 2021 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Teruntuk SeiraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang