° Gemintang °

2.4K 498 47
                                    

Pukul tujuh setelah kumandang adzan terdengar, Jeonar keluar dari kamarnya untuk turun ke lantai bawah kemudian mengetuk pelan pintu kamar sang ibu yang jaraknya tak jauh dari tangga

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Pukul tujuh setelah kumandang adzan terdengar, Jeonar keluar dari kamarnya untuk turun ke lantai bawah kemudian mengetuk pelan pintu kamar sang ibu yang jaraknya tak jauh dari tangga.

"Bu, ini Jeo." Sapanya dari arah luar pintu kamar yang kemudian dibukakan oleh sang ibu dan mempersilahkannya untuk masuk.

"Kenapa, Dek? Ibu mau sembahyang Isya."

Jeonar nampak memilin ujung bajunya, nampak gelisah untuk sekedar meminta izin pergi main di malam minggu. Meski umurnya sudah cukup dewasa, dirinya memang tidak pernah dibolehkan untuk keluar malam hari.

"Adek boleh izin pergi enggak, Bu?" ucapnya yang berakhir dengan gigitan kecil di bibir. Jeonar sungguh takut.

"Mau kemana?"

"Iku, aku mau ke Sriwedari ajak Mas Haru nonton wayang orang."

Mendengar penuturan sang anak, raut Ibu Sumi yang semula nampak seram mulai melunak. Tersenyum lembut padanya sembari menepuk-nepuk lengan putra Pranawa.

"Oh, sama Mas Haruto. Boleh kalau gitu, Dek. Hati-hati nanti di jalannya. Naik motor atau pake mobil?"

"Motor aja, Bu. Jeo pamit yah ..."

Jeonar lalu menyalimi sang ibu, kemudian berlalu dari kamar wanita itu untuk keluar menuju ruang tengah yang ternyata sudah nampak orang tua Haruto lengkap dengan sang anak yang sudah berdandan rapih, memakai kemeja berwarna salem saat ini.

Meski rambut si Mahendra hanya di tata asal dengan sebagian surainya yang terkadang menutupi manik hazel miliknya, namun Haruto tetap terlihat tampan. Tak bisa ia pungkiri bahwa rupa lelaki itu hampir di luar nalar manusia saking terlihat begitu sempurna.

Hidung bangirnya, mata kucing membola yang nampak cantik. Bibirnya merekah merah walau tak memakai lipen sekalipun. Perawakan yang tinggi gagah pun selera berpakaiannya yang tidak usah diragukan lagi.

Sedang Jeonar saat ini, dirinya hanya mengenakan baju putih polos dengan bawahan celana kain hitam panjanv. Badannya dibalut dengan kardigan rajut berwarna cokelat untuk melindungi dari angin malam yang mungkin akan menerpa tubuhnya. Sungguh kepalang sederhana, ya... walau sebenarnya masih tetap manis untuk pandang

"Udah izin-Ibunya mana?"

"Udah, Ibu langsung sembahyang, Mas. Katanya engga apa-apa diwakilin aku aja bilangnya."

Mendengar penuturan Jeonar, Haruto kemudian menatap ke arah orang tuanya.

"Amih, Aa pergi dulu yah. Pih ..."

"Hati-hati di jalan yah, A. Nganggo motorna ulah ngebut." (*naik motornya jangan ngebut)

Yang lebih tua menjawabnya dengan anggukan dengan Jeonar yang sekarang bergantian menyalami orang tua si Mahendra.

Tak berapa lama hingga keduanya sudah berada di samping motor peninggalan Bapak Jeonar yang biasa digunakan oleh kakak sepupunya.

Bapak lelaki itu sudah lama tiada, menjadikan tunggal Pranawa hanya tinggal berdua dengan sang ibu.

Setapak Sriwedari | hajeongwoo [✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang