° Asmaraloka °

2.9K 425 98
                                    

Epilogue

Jeonar POV

"Pernah kepikiran buat jatuh cinta engga sih kamu?"

Sepanjang sore ini hanya aku habiskan dengan berguling di atas kasur. Terlalu malas untuk melakukan aktivitas lain pun sekedar membaca kembali revisi yang dititah oleh dosen yang membimbing skripsiku.

Aku hanya menyibukkan diri dengan menikmati terik senja yang kini mengintip melalui jendela besar yang tertutup tirai. Meski malu-malu untuk hadir, jingganya berhasil menghias separuh kamarku; membuat suasana hangat jadi kian terasa.

Jujur saja ucapan yang Ridwan siang tadi katakan terus menerus berputar di otakku. Betul juga, apa sebelumnya aku pernah jatuh cinta?

Jika diingat lagi di dua puluh satu tahun kehidupanku, sepertinya Jeonar Pranawa ini belum pernah sama sekali berpacaran.

Jangankan untuk menjalin kasih, berteman saja selalu membuahkan teguran dari ibu. Aku merinding jika mengingat betapa galaknya beliau saat diriku meminta izin pergi bersama kakak tingkat untuk acara kampus kala itu.

Lalu dengan pengalaman yang kepalang minim, tiba-tiba saja ibu menjodohkan putra satu-satunya ini dengan anak kenalannya. Lelaki yang belum ku ketahui bagaimana sifatnya, jangankan begitu rupanya pun aku tidak tahu. Aneh bukan?

Saat itu aku hanya termenung, tanpa niat mengiyakan ataupun menolak. Memang aku berhak dengan keputusanku sendiri? Sudah bisa dipastikan bahwa ucapan Ibu selalu mutlak, maka pendapatku hanya nol besar dibandingnya.

"Jeo, bagaimana kalau lelaki yang dijodohkan denganmu itu jika tertidur lampunya harus dinyalakan? Apa tidak akan menangis kamu nantinya?"

Aku meringis ngeri. Sesuatu yang terlihat sepele memang, tapi perihal seperti itu pasti membuat kita sangat terganggu.

Bagaimana bisa kita menjalin hubungan dengan seseorang yang bahkan kebiasaannya tidak kita ketahui. Bukankah menikah itu perlu mendalami pribadi satu sama lain? Dan jika begini, istilah membeli kucing dalam karung bahkan terdengar lebih mending.

Aku memdengus sebal— entah keberapa kalinya namun segala emosi yang menguras hati dan fikiranku ini membuatku melewatkan berjam-jam lamanya terlalut dalam lamunan.

Adzan sudah berkumandang sedari tadi, sedang diriku masih tak mau melakukan apa-apa. Terdiam di sudut kasur dengan ruangan yang gelap gulita. Namun tak lama, suara wanita terdengar nyaring dari balik pintu— itu Ibu.

"Adek, sudah Magrib. Sembahyang dulu?"

Aku berjalan mendekati pintu, membuka benda yang tak terkunci tersebut guna bertemu Ibu yang sudah berdiri di sana. "Kok gelap-gelapan? Nyalain lampunya, Dek."

Diriku tersenyum kecil, tak mungkin juga mengatakan semua ini berkat perjodohan yang beliau hendak lakukan. Aku terlalu takut untuk terbuka pada Ibuku.

Maka sekarang, aku paksa otakku untuk berfikir keras. Memikirkan setidaknya ada alasan yang cukup masuk akal untuk menjawab kecemasanya.

"Adek ketiduran, Buk. Barusan kecapekan kuliah."

Ibu mengangguk, memberi petuah untukku menjaga kondisi badan. Dan tak lama dariku menyalakan lampu kamar, beliau akhirnya berpamitan untuk kembali ke lantai bawah.

 Dan tak lama dariku menyalakan lampu kamar, beliau akhirnya berpamitan untuk kembali ke lantai bawah

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Setapak Sriwedari | hajeongwoo [✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang