Hearts Burst into Fire

30 10 4
                                    

Trigger warning. Mention of mental health, traumatic section. Mohon maaf apabila ada kata atau kalimat yg kurang mengenakan. Hanya cerita fiksi tidak untuk dibawa ke dunia nyata. Be wise❗

---

Arunika pikir, ia hanya kehilangan seseorang tapi ternyata ia kehilangan dua sosok penting dari hidupnya. Sang ibu yang pergi terlalu jauh meninggalkan banyak luka pada dirinya, ditambah kehilangan kehangatan dari ayahnya menambah sempurna lukanya. Rasa sakit dari memukul kaca malam itu, tidak ada rasanya sama sekali. Melihat kepergian sang Ibu dengan matanya membuat semua raganya hancur, mendengar perkataan ayahnya kala itu pun membuat raganya semakin tak berbentuk. Kehilangan arah, dimana seharusnya pada posisi terpuruk kala itu, sang ayah harus berdiri tegak dan merengkuhnya erat. Namun, apa daya. Suara saja tidak bisa ia dengar, apalagi rengkuh sang Ayah.

Setelah ucapan sang Ayah tiga hari pasca kecelakaan dan kepergian sang Ibu, membuat dunianya semakin gelap. Bahkan rasanya yang ia inginkan hanyalah memejamkan matanya, Arunika tak mau membuka dan mendengar dunia setelah perkataan menyakitkan itu terucap dengan mudah dari mulut sang Ayah. Pikirnya, bagaimana bisa sang Ayah menyalahkan dan menyuruhnya untuk menggantikan posisi sang ibu, sedangkan ia juga sama terkejutnya dengan kabar kepergian sosok penting dalam hidupnya.

"Anak bodoh. Jika tidak bisa melakukan hal sendiri, setidaknya kamu tidak merepotkan orang lain. Saya didik kamu jadi perempuan mandiri, bukan malah nyusahin dan bahkan menghilangkan nyawa orang lain. Puas kamu? Saya kehilangan sosok berharga di hidup saya. Saya harap kamu bisa menggantikan posisinya sekarang juga, kamu bisa? Jawab! Jangan diem aja, bisu kamu? Dengar, Arunika.. mulai sekarang, lakukan semuanya sendiri. Jangan merepotkan orang lain, jika kamu tidak mau ada korban lagi yang pergi."

Perkataan sang Ayah, terus berputar di kepalanya. Detik itu juga, dunianya runtuh. Bahkan saat pulang dari rumah sakit seminggu pasca kecelakaan, semua letak barang sudah berpindah posisi. Hanya poto keluarga saja yang masih menggantung di ruang tamu. Sofa, meja, hiasan rumah yang sang Ibu dan dirinya pilih, semuanya sudah lenyap. Bahkan, barang-barang favorit Arunika sudah tidak ada lagi di beberapa sudut ruangan. Buku bacaan yang sang Ibu simpan pada lemari dekat tv pun tidak ada. Saat menanyakan pada bi Narti, beliau bilang "Maaf cah ayu.. semuanya sudah dibakar bapak. Bibi ndak bisa ngapa-ngapain. Takut."

Sebegitu bencinya kah sang Ayah pada dirinya? Hingga mengganti semua barang yang berkaitan dengan Arunika. Sang kembaran, tidak bisa berbuat banyak. Masa berkabung membuatnya masih bingung harus berbuat apa. Ia hanya bisa memeluk Arunika dalam diam. Tak ada tangis, tak ada perkataan apapun. Karena Bumi pun sedang berduka. Dunianya pun seakan kelabu untuk ia lihat. Hanya peluk yang ia bisa lakukan, pikirnya siapa tahu membantu Arunika untuk sedikit tenang.

🫧🫧🫧

"Nik.. maaf ganggu.." Ucap Bumi di pagi hari setelah malam kelam lalu.

"Kenapa, bang?" ucap lirih Arunika yang tengah duduk bersila di balkon kamarnya.

"Sarapan dulu... om Tama bawa makanan semalem, sop ayam buatan tante Amara. Lu belum makan dari semalem kan?" ucap Bumi sembari menghampiri Arunika dan berakhir diam diambang pintu balkon dan kamar sang adik.

"Om Tama tahu?" tanya Arunika

"siapa yang gak tahu, kita semua kan lagi kumpul. Abang panik di telepon om Arya, ditambah om Tama juga tahu dan khawatir sama keadaan kamu.." jelas Bumi

"Gua nyusahin ya?" tanya Arunia kembali tanpa ada niatan melihat sang lawan bicara.

"Siapa yang nyusahin? Gak ada yang susah disini. Makan dulu, nanti keburu dingin sopnya.. Asam lambung kamu juga takutnya naik, semalem kamu bolak-balik kamar mandi buat muntah. Tapi, kamu gak mau makan obat atau makan berat."

"Bang..." panggil lirih Arunika

"Ya?" jawab Bumi

"Kalau gua pergi jauh, lu bakalan gimana?" tanya Arunika penasaran

Ada hening beberapa detik diantara mereka. Bumi harus mencerna tanya Arunika, supaya jawabannya jelas dan benar untuk Arunika terima.

"Pergi jauh kemana? Kalo pergi jauhnya beda kota, beda pulau atau beda negara, gak masalah. Masih ada kendaraan, dan bahkan alat komunikasi sekarang udah canggih. Terlebih kamu pergi sama siapa? Kalo sama orang yang bisa dipercaya, aku persilahkan. Tapi..." Bumi menggantungkan jawabannya lumayan lama. Ia menatap lekat tubuh bagian belakang Arunika. Ada kalimat yang masih enggan ia ucapkan, ia hanya takut Arunika memikirkan hal yang tidak-tidak.

"Tapi apa?" tanya Arunika sedikit bosan menunggu kelanjutan jawaban Bumi.

Dengan hati-hati Bumi menjawab,
"Tapi... kalo kamu pergi jauh diluar jangkauan dan terlampau jauh, sampai manusia yang masih bernapas sulit untuk meraih kamu. Maka aku, bakalan jauh lebih hancur dari sekarang, apalagi perginya sesuai dengan kehendak kamu, bukan kehendak Tuhan."

Arunika hanya bisa terkekeh kecil mendengar jawaban Bumi. Ia menutupkan matanya, sembari menghirup udara dengan dalam dan menghela nafas dengan sedikit berat.

"Jangan lakuin hal yang buruk Arunika, yang kehilangan disini bukan cuma abang. Tapi, om Arya, tante Asya, Langit, Narendra, om Tama, tante Amara, Semesta bahkan Ayah.. kita semua masih butuh kamu. Terlebih abang, aku masih butuh kamu. Kalo kamu pergi, apakabar dengan abang kedepannya?" ucap Bumi lirih.

"Gua cuma nanya, niatan buruk masih belum ada untuk sekarang.. gak tahu besok atau lusa. Hari gua terlalu berat buat di lalui. Lu tahu gak, kenapa kemarin gua sampe kunci pintu, sempet mau cutting, sampai akhirnya gua mukul cermin lemari? Kemarin sore, tante Clara kesini. Dia marah-marah, katanya 'Keluarga Sadewa bedebah. Kenapa kalian gak hilang semuanya? Kenapa cuma saya yang menderita, saya kehilangan presensi suami saya, pekerjaan saya, aset saya bahkan sekarang anak saya harus menderita. Narendra jatuh sakit, semua gara-gara kamu. Setidaknya kalo kamu menderita jangan ajak anak saya untuk menderita.' ..Wow.. hebat gua, sampe hapal kalimat per-kalimatnya.."

".... Denger kabar Narendra sakit, buat gua sengsara. Dia sakit apa sampe tante Clara dateng nyalahin gua? Lu tahu kan dia sakit apa? Waktu gua sama ayah pergi ke rumah sakit, itu bukan karena pasien lain. Tapi karena Narendra, kan? Ayah gak akan panik sampe segitunya waktu dapet telepon. Apalagi kondisinya, ayah lagi di sekolah ngurus administrasi dan laporan hasil belajar gua sama lu. Waktu itu juga, lu kemana? Lu katanya di telepon Dion temen sekelas Narendra, tapi abis itu lu ilang. Dia sakit apa?" tutur Arunika.

Bumi sedikit terkejut dengan ucapan Arunika. Bagaimana ia bisa tahu serta curiga pada dirinya dan sang Ayah? Tanyanya dalam hati. Tengah sibuk dengan penyusunan jawaban, Arunika tertawa pahit.

"Jadi bener, Narendra sakit. Pantes, semalem dia pegang dada terus. Ayah spesialis jantung, pasti penyakitnya gak jauh dari itu. Jangan pikir semalem gua bisa tidur nyenyak, waktu kalian jagain gua di kamar, gua sempet kebangun pas Narendra lagi pegang dadanya yang sakit. Lu juga kelihatan khawatir, terus nyari obat di dalam kantong Narendra. Kalo emang gua gak boleh tahu, ya gak apa-apa. Lagian gua juga siapa, bener gak, bang?" ungkap Arunika.

"Gak gitu, Nik.. nanti abang cerita, tapi bukan hari ini atau besok atau lusa. Abang harus tanya Narendra dulu, dia gak mau buat lu khawatir. Nanti, kita cerita dia sakit apa setelah kondisinya memungkinkan. Waktunya belum tepat."

"Ya, terserah kalian aja. Gua laper, ayok makan!"

Arunika bangkit dan berlalu begitu saja, meninggalkan Bumi yang masih terdiam mencerna semua perkataan Arunika. Benar ternyata, semuanya jauh lebih dari kata kacau. Pikirnya sekarang dan kedepannya adalah, bagaimana menyembuhkan banyak orang dalam satu waktu? Tujuannya agar tidak ada lagi kalimat kebencian yang terucap, tidak ada lagi menyalahkan diri sendiri, tidak ada lagi kesedihan berkepanjangan.

"Bumi, PR lu banyak ternyata.." ucap Bumi beserta helaan panjang yang keluar darinya.

🥀🥀🥀

Bagaimana melawan luka?
Bagaimana melawan duka?
Semuanya masih ambigu..
Semuanya masih berujung kelabu..

Semesta di Ujung Cerita [ON HOLD]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang