All That I Am Living For

21 9 0
                                    

❗Mention of Harsh word and Mental Health. Typo dimana-mana. Mohon bijak dalam membaca. Happy reading❗


🦋

"Arunika... apa tidak bisa kamu berkuliah disini saja?" tanya Narayana memastikan kembali keputusan anaknya itu.

"Ayah.. Bandung-Jakarta tidak sejauh itu. Biarin Arunika hidup mandiri disana ya?" jawab Arunika

"Ayah hanya khawatir. Tidak ada sanak-saudara disana. Setelah Tama pindah ke Swis 10 tahun lalu, tidak ada siapa-siapa lagi disana. Hanya ada cafe peninggalan ibumu yang dikelola jarak jauh oleh Tama, nak.. mana kamu mau kerja juga di kafe itu. Uang ayah banyak Arunika, kamu boleh memakainya sepuasmu." ucap Narayana denga menatap sendu Arunika.

"Ayah.. Nika tahu ayah cemas. Takut kalau Nika berbuat hal-hal diluar dugaan, atau terjadi sesuatu diluar kehendak kita. Tapi ayah, Nika ingin jauh lebih mandiri. Dulu kata ayah, siapa lagi yang akan membantu diri kita selain kita sendiri ketika orang lain enggan membantu.. terlebih Nika harus membuka lembaran baru untuk hidup kedepannya. Sebisa mungkin ketika ada waktu, Nika pasti pulang. Ayah juga bisa berkunjung kesana, bukan?"  tutur Arunika berusaha memastikan dan menenangkan ke khawatiran sang Ayah.

"Kamu memang keras kepala, sama seperti mendiang ibumu.. Yasudah, sekeras apapun ayah memaksa kamu tetap tinggal, ujung-ujungnya kamu bakalan lebih meyakinkan ayah supaya berikan ijin. Ingat pesan ayah, handphone mu harus selalu aktif, pastikan baterainya penuh. Pastikan juga kamu lapor semua kegiatan ke ayah. Bukan ayah tidak percaya, ayah hanya tidak mau melewatkan sehari pun kabar darimu, Nak.. Setahun masih belum cukup untuk mengobati semuanya." ucap Narayana kembali sembari memeluk putri semata wayangnya.

"Siap kapten. Ayah juga harus kasih kabar terus ke Nika ya? Apalagi kabar si cerewet Bumi. Pastikan dia tidak jadi seorang playboy di kampusnya." Ucap Arunika yang diakhira dengan tawa renyahnya dan sang Ayah.

"Maksudnya apaan? Kagak ada tuh playboy-playboyan, yang ada cewek-ceweknya aja yang naksir gua. Soalnya ganteng dan gagah begini." ucap Bumi menginterupsi kegiatan adik dan ayahnya dari ambang pintu masuk taman belakang.

"Halah.. kamu deketin Andira, tapi malah jalan sama Araya itu gimana ceritanya? Udah hampir setahun lagi, kamu gantungin Andira." ucap Arunika yang sudah melepaskan pelukan sang Ayah dan berjalan menuju sang Kembaran.

"Punya mulut tuh dijaga. Andira yang gak ada kepastian, daripada gua nunggu yang gak pasti mening jalan sama Araya. Daripada lu, orangnya udah pasti tapi jalan sulit. Makan tuh malu-malu kucing." ejek Bumi sembari pergi dari hadapan Arunika menuju kamarnya.

"Nyebelin tahu gak! Orang ayah yang larang buat pergi sama Semesta!" ucap Arunika tak terima dengan menghentakan kakinya.

"Jadi kamu gak terima ayah larang begitu? Bukannya kamu waktu itu setuju buat mengurangi kegiatan jalan alias nge-date, katanya mau fokus belajar dulu buat keterima di PTN." kini sang Ayah yang mengerjai Arunika

"Ih.. bukan gitu. Tau ah ayah mah sama aja kayak Bumi. Nyebelin. Udah ah, Nika mau beresin baju yang mau dibawa ke Bandung. Bye, Ayah." Pamit Arunika dengan memberi lambaian tangan pada Narayana yang masih tersenyum atas tingkah sang putri dan putranya.

Senyumnya terinterupsi oleh notifikasi chat dari seseorang yang baru ia bahas.

'Om, maaf.. Semesta boleh ijin ajak Arunika keluar malem ini? '

'Dua hari lagi Arunika mau berangkat ke Bandung kan?'

'Tolong ijinin saya untuk menghabiskan waktu sebelum Nika berangkat om. '

'Takutnya, kedepannya kita susah buat ketemu.'

4 bubble chat dari Semesta membuat Narayana semakin tertawa. Apakah ia terlalu mengekang hubungan mereka? Dari chat yang diterimanya, Semesta sepertinya tengah dilanda khawatir berlebih, takut tidak diijinkan pergi dengan putrinya.

Narayana akhirnya menulis balasan pesan setelah satu menit ia tertawa.

'Silahkan. Pastikan dia memakai jaket dan helm dengan aman. Jangan sampai ada lecet apalagi jatuh sakit.'

'Pastikan kamu memberinya banyak kebahagiaan. Saya tahu setelah sampai Bandung, ia akan menangis semalaman di apartemennya.'

Narayana menghela nafas dengan berat. Setahun sudah ia kembali menjalin hubungan baik dengan kedua anaknya, terlebih Arunika. Waktunya masih kurang untuk membalas segala dosa yang ia buat sebelumnya. Dua tahun ia, siksa anaknya dengan makian dan ucapan tak pantas ia lontarkan. Setahun penebusan dosa belum cukup ia lakukan, terlebih Arunika masih diam-diam mengurung diri di kamar mandi dengan shower menyala sehingga ia akan basah kuyup semalaman.

Traumanya masih datang, panick attacknya pada malam hari masih belum terkendali. Narayana takut, ketika Arunika jauh dari pengawasannya, sang Anak akan melakukan selfharm seperti sebelumnya. Walaupun kamar apartemen milik Arunika sudah ia pasangkan CCTV, tetap saja jarak yang terlalu jauh sulit ia jangkau dengan waktu cepat, apabila ada hal yang ia takutkan itu terjadi. Arunika juga menolak untuk tinggal dengan bi Narti, bahkan Narayana menawarkan dirinya untuk pindah praktik ke rumah sakit yang ada di Bandung. Namun, Arunika menolak dengan tegas idenya. Bumi pun sempat menawarkan untuk daftar di PTN yang sama dengan Arunika dan melepaskan PTN yang sudah ia dambakan sejak dulu, demi menemani Arunika. Lagi dan lagi, Arunika menolak dengan tegas. Bahkan Arunika sempat mendiamkan mereka selama seminggu lamanya. Akhirnya Narayana dan Bumi luluh dan memberi ijin, dengan persyaratan yang terlampau banyak bagi Arunika. Jika ditanya kenapa banyak sekali persyaratan, dengan kompaknya Ayah dan kakaknya itu menjawab:
"KITA KHAWATIR. KALO GAK SUKA YASUDAH TIDAK JADI KAMI BERIKAN IJIN."

Over-protective, itulah yang Arunika selalu pikirkan jika kedua lelaki itu sudah banyak memberi persyaratan. Niatnya padahal baik, hanya ingin mandiri dan jauh lebih berdamai dengan masa lalunya. Tapi di lain sisi, Arunika senang di perhatikan seperti itu oleh ayah dan kakaknya. Ia merasa hidupnya jauh lebih diharapkan kehadirannya. Arunia bersyukur, dirinya sudah berjalan lumayan jauh meninggalkan lukanya, walaupun masih banyak memori buruk yang belum sempurna ia maafkan.

Bandung menjadi pilihan Arunika, setelah membaca isi surat sang Paman sebelum menghembuskan nafas terakhirnya. Bahkan, sang Paman menegaskan ia harus pergi ke Bandung dan membebaskan seseorang yang bahkan Narendra dan orang lain sendiri pun tidak ketahui, terkecuali Almh. sang Ibu. Ada amanat yang tersirat dalam surat yang di tulis sang Paman, ia harus menyelesaikan kisahnya disana dan memulai lembaran baru. Karena ia yakin, kehidupannya kali ini akan berjalan dengan baik pada porosnya jika ia sepenuhnya berdamai dan menemui sosok yang harus ia bebaskan hidupnya juga.

....

"Haksara! Gak becus banget kamu kerja. Gak tahu diuntung. Kalo kamu masih mau tinggal disini sama ibumu yang penyakitan itu, yang bener dong kerjanya! Anak haram tidak tahu diuntung kamu itu!" caci seseorang wanita yang tengah memakai gaun malam dan dengan riasan wajah yang masih belum selesai.

"Ma-maaf, tante. Saya minta maaf. Jangan usir saya dengan ibu saya. Saya mohon." ucap seorang anak laki-laki yang tadi dipanggil Haksara itu.

"Hah! Dasar bedebah. Sekali lagi kamu gak becus beresin ni rumah, segera angkat kaki dari rumah ini. Kalau saja suami saya mau mendengarkan saya daripada kakaknya itu, kamu sudah kami usir dari lama. Sana bersihin lagi yang bener, jangan sampai ada goresan lagi di lantai marmer saya!" caci perempuan itu lagi

"Baik. Terima kasih, tante." ucap Haksara sambil menundukan kepalanya dan melanjutkan kegiatannya mengepel lantai.

🥀🥀🥀

Semesta di Ujung Cerita [ON HOLD]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang