Bagian 14

113 8 0
                                    

Entah kamu atau aku yang bodoh, yang jelas kita pernah. Pernah untuk saling mencinta, pernah untuk saling membenci.

Sebentar, berapa kata yang sudah kamu ucapkan? Kata-kata cinta maksudku. Oh, sudah banyak sekali, ya.

Izinkan aku, setidaknya untuk mengucapkan selamat tinggal pada kenangan. Sebab aku ingin sedikit menepi, dari kisah pelik yang tak kunjung pergi.

Bolehkah? Aku butuh sedikit jeda, setidaknya untuk berpikir. Bukanlah kisah ini terlalu rumit? Akal sehatku bahkan tak dapat bekerja.

"Siapa yang mau jelaskan mengenai foto itu?" tanya seorang lelaki paruh baya berperawakan besar.

"Saya."

"Saya."

Kala dan Dhika mengucapkan kalimat tersebut bersamaan karena keduanya sama-sama yakin bahwa mereka dapat menjelaskan yang sebenarnya karena ini hanyalah fitnah belaka.

"Jadi siapa?"

"Dia."

"Dia." Lagi-lagi keduanya mengucapkan kalimat yang sama bersamaan. Pak Rendi--Rektor di kampus mereka hanya menggeleng.

"Oke, saya aja, Pak." Dhika akhirnya yang mengakhiri.

Lelaki itu menjelaskan dengan detail rentetan kejadian dari awal sampai akhir. Dhika juga menceritakan kecurigaannya terhadap seseorang yang memata-matainya di Amerika kemarin.

"Saya pikir ini ada hubungannya, Pak."

"Apakah anak kampus sini?"

"Saya nggak begitu yakin, Pak."

"Kalau begitu kamu jangan sampai fitnah orang lain. Saya belum bisa mempercayai kamu karena tidak adanya saksi. Kasus ini belum bisa dianggap selesai," ucap Rendi seraya menatap keduanya bergantian.

"Ta-Tapi, Pak, kita beneran nggak ngelakuin hal nggak senonoh seperti yang ada di foto itu, ini cuma fitnah, Pak." Kala lagi-lagi mencoba meyakinkan Rendi. Namun lelaki tua itu tetap pada pendiriannya, sebelum saksi ditemukan dan kebenaran terbukti, maka nama baik Kala dan Dhika belum bisa dibersihkan.

Rendi terlihat sibuk dengan ponselnya, ia tak peduli dengan Kala yang terus membeo. Selang beberapa detik, lelaki tua itu bangkit dari duduknya lantas mengambil beberapa file dari lemari lalu membacanya.

"Ada orang tua yang bisa saya hubungi?" tanya Rendi tanpa menatap lawan bicaranya.

Deg!

Masalah apa lagi ini? Jantung Kala berdegup lebih kencang. Entah kenapa Kala takut, ia hanya punya neneknya di Indonesia. Bagaimana jika nanti Rienne juga tak percaya padanya?

"Em, Pak, boleh nggak kalau urusan ini nggak usah dibawa ke orang tua? Saya berani menjamin kalau saya dan Kala tidak melakukan hal bejat seperti yang bapak dan teman-teman lain pikirkan. Saya juga akan sesegera mungkin menemukan saksi, Pak," tawar Dhika karena lelaki itu tahu bahwa Kala sedang merasa takut. Orang tuanya mungkin akan lebih percaya padanya, tapi orang tua Kala belum tentu. Maka dari itu inilah caranya menyelamatkam Kala dari masalah.

Rendi terdiam, sepertinya lelaki tua itu sedang menimbang ucapan Dhika. Di sisi lain, Kala sedang berusaha untuk menenangkan dirinya sendiri, kejadian ini sungguh membuatnya panik. Kala curiga kalau dirinya terkena panic attack karena akhir-akhir ini dirinya hampir selalu mengalami gejala yang tak biasa saat sedang panik.

"Kalian takut?" Rendi mengeluarkan tatapan mengintimidasinya.

"Em--"

"Selama kita benar kita nggak akan takut, Pak." Dhika menyela ucapan Kala yang agaknya memang benar-benar takut.

"Kalau gitu ayo telepon orang tua kalian sekarang."

"Kita perlu waktu deh, Pak. Mungkin sampai besok atau paling lambat lusa. Apa sekarang kita boleh keluar ruangan?"

"Kalau sampai lusa kalian tidak memberikan kepastian, mau tidak mau saya harus mengeluarkan kalian karena secara tidak langsung kalian telah memberikan contoh tidak baik dan dapat mencoreng nama baik kampus. Baiklah, silakan keluar," jelas Rendi dengan wajah tenangnya. Ia terlihat tidak ingin ambil pusing.

***

"Gimana?"

Lelaki berjas hitam itu menatap sekeliling, "Aman, semua beres."

"Ini buat lo, lain kali gue akan panggil lo lagi," ucap lelaki di hadapannya seraya menyodorkan amplop berwarna coklat.

"Siap, thanks, Bos."

Lelaki yang tadi memberikan amplop itu tersenyum menang. Misi pertamanya berhasil.

***

"Ayah, Ayah?!"

"Ayah, Kala di sini, Ayah."

Gadis itu merengek kesakitan, kepalanya seakan berputar. Ia tak mengerti apa yang sedang terjadi saat ini, yang jelas dirinya merasakan sakit disekujur tubuhnya.

"ARRGGHH!"

Seluruh memori seakan berputar dalam otaknya. Kala merasakan sakit yang tak biasanya, ini sungguh di luar nalar.

Tiba-tiba ingatan tentang ibunya yang tewas tertembak berputar begitu saja, keadaan seakan terasa nyata. Dirinya melihat Kala kecil yang sedang menangis terisak. Melihat dengan mata kepalanya sendiri, seseorang yang paling ia sayang tertembak dan mati begitu saja.

"AAAAAAA!"

"Hosh... Hosh..."

Damn. Ternyata hanya mimpi, tapi mengapa terasa begitu nyata? Kala tak kuasa menahan isakannya, entah mengapa ini begitu sesak. Gadis itu memukul dadanya berkali-kali.

Rasanya begitu sakit, siapa pun cepat temui Kala. Ini kali pertama Kala kambuh tanpa Dhika, Dhika tidak menghampirinya tepat waktu, apakah sudah tak ada ikatan batin lagi?

Kala menutup seluruh wajahnya dengan selimut, ia berharap seseorang segera datang memeluknya dan mengatakan bahwa semuanya akan baik-baik saja.

Pikirannya tak dapat berpikir jernih, isinya hanya ketakutan. Siapa pun, cepat selamatkan Kala. Kala benci dirinya sendiri disaat sedang seperti ini, rasanya sudah lebih baik mati.

Gadis itu mengambil air putih yang berada di atas nakas lalu langsung meneguknya. Ia mengambil ponselnya lalu mencoba untuk menghubungi Dhika. Namun nihil, tak ada jawaban.

Kala mencoba menenangkan diri dengan memeluk dirinya sendiri. Menarik napas panjang beberapa kali lalu bangkit untuk nenyalakan lampu. Tapi mengapa rasanya belum bisa tenang?

KalaWhere stories live. Discover now