Part 4. Pernikahan Kontrak

196 2 0
                                    

"Mbak siapa?" Aku bertanya sambil memegang kening yang masih terasa nyut-nyutan.

"Saya Starla, sekretarisnya Pak Sergio, Mbak."

"Ooh ... istrinya Virgoun, ya?"

Si Mbak Starla malah terkekeh. "Saya belum menikah, Mbak."

"Selamat sore." Seorang dokter tampan membuka tirai biru yang menutupi tempatku berbaring. Kami (aku dan Mbak Starla) menoleh ke arahnya. Ia datang bersama seorang perawat yang kutaksir usianya sekitar tiga puluhan.

"Mbak Marimar, ya? Bagaimana keadaannya?"

"Harusnya saya yang nanya, Dok. Yaelah."

Si Dokter malah tersenyum tipis. "Maksud saya, gimana perasaannya sekarang?"

"Kesel, Dok."

Si Dokter malah mengernyitkan dahi sampai mengerut sekali, lalu dia terkekeh.

"Ya, baiklah." Dokter itu malah menyerah. "Saya akan jelaskan, ya? Begini, kehamilan Mbak Marimar sekarang menginjak usia enam minggu. Saat ini, kondisi kehamilannya sangat lemah dan rentan karena trimester pertama. Jadi, tolong jangan bekerja terlalu berat dan jangan kecapean. Banyak makan-makanan bergizi juga supaya kondisi kesehatan Mbak dan janinnya sehat."

"Iya, Dok. Saya mengerti." Aku bergegas bangun dari tempat tidur dan melepaskan jarum infus yang menempel di lengan.

"Loh, Mbak mau ke mana?"

"Saya mau pulang aja, Dok."

"Tapi cairan infusnya belum habis, Mbak. Ditunggu dulu sampai habis, ya?"

"Biarin, Dok. Saya sudah kuat untuk pulang."

***

Aku sampai di rumah diantar oleh Mbak Starla dan seorang supir. Kulihat ada motor Bang Umar di depan teras. Sungguh, aku takut kalau harus berhadapan dengannya. Dua lelaki di rumahku berperangai tegas dan keras semua.

Pelan-pelan aku melangkah masuk. Semoga saja Bang Umar dan istrinya ada di dapur supaya tidak melihat kedatanganku dan aku bisa langsung masuk ke kamar.

Aku melebarkan pintu rumah yang sudah sedikit terbuka dengan berjalan mengendap-endap.

"Rimar!" Itu suara Bang Umar. Aku menghentikan langkah detik itu juga. Detak jantungku tak karuan dan tanganku gemetaran. Aku menghembuskan napas perlahan, bersiap akan apa yang dilakukan oleh abangku itu.

"I-iya, Bang." Aku menjawab tanpa menoleh sedikit pun. Aku takut.

"Sini!" Bang Umar menarik paksa lenganku dan menghempaskan tubuhku ke sofa di ruang tamu.

"Aaw." Rasa mual langsung naik seketika sampai tenggorokan.

"Kamu berani mempermalukan keluarga, ya, Rimar?! Kenapa sampai bisa hamil?"

"Mana Rimar tahu, Bang. Emangnya Rimar yang mau? Semuanya terjadi gitu aja."

"Emang kamu gak bisa teriak! Gak bisa nolak kalau diperkosa begitu?"

"Iih Abang, namanya juga diperkosa. Pasti dipaksa. Rimar, tuh dibekep. Trus dua tangan ini dipegang kuat-kuat, Rimar gak bisa bergerak sama sekali, Bang."

Mata Bang Umar menatap tajam. Aku langsung menunduk dan tak berani memandangnya. Kedua tangan Bang Umar yang tadi sedang berkacak pinggang, tahu-tahu menggebrak meja sudut tinggi di sampingnya.

Aku terperanjat. Sungguh jantung ini rasanya mau copot.

"Rimar! Apa kata tetangga nanti kalau tahu kamu hamil di luar nikah?! Mau disimpan di mana wajah keluarga kita, hah?! Bisa tidak, sekali saja kamu tidak menyusahkan keluarga?! Sejak dulu kamu selalu jadi beban keluarga!"

Mengandung Bayi BosTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang