Part 12. Sekamar dengan Sergio

194 2 0
                                    

Alangkah kagetnya ketika aku ke luar kamar. Kebetulan, aku melihat Mbak Sari masuk dan maskernya terlepas. Wajah itu ... tepatnya di sekitaran pipi membiru dan ada bekas luka di sudut bibir. Aku melirik ke kakinya, sama-sama membiru. Cepat-cepat dia memakai maskernya lagi saat menyadari kehadiranku.

Ada apa dengannya?

Dia tergesa-gesa untuk masuk ke kamar. Aku berhasil menahan lengannya.

"Mbak?"

"Lepas!" hardiknya.

"Mbak, ada yang bisa saya bantu?" Aku bertanya baik-baik, siapa tahu dia butuh tempat berbagi.

"Lepas kubilang!" Dia menghempaskan tanganku. "Jangan ikut campur urusan saya!"

Dia masuk kamar, tapi berhenti sebentar sebelum menutup pintu. "Anggap tadi kau tidak melihat apa pun!" Dia memperingatkan dengan serius. Sorot matanya tampak berkilat.

Aku masih berdiri di antara kamar kami. Membolak-balikkan mata untuk berpikir. Kemudian, aku meneruskan langkah ke dapur sambil mengangkat kedua bahu. Emm ... ya, sudah. Masa bodoh.

Di ruang keluarga ada Mama dan Lisa. Mama memandang ke arahku dan melihat apa yang sedang kubawa. Di sampingnya, Lisa fokus menatap layar televisi menonton drama kesayangannya yang tayang setiap malam.

"Mau ke mana, Nak Rimar?"

"Ini, mau ambil air, Ma." Aku menunjukkan botol kosong.

"Kenapa tidak menyuruh Bi Yuna atau asisten lain?"

"Rimar ti-"

"Udah mental pembantu, Ma. Semua pekerjaan pembantu ya dia kerjakan sendiri." Lisa memotong ucapanku.

"Hush, Lisa," tegur Mama.

Ya Allah, anak itu tidak ada adab dan kesopanan berbicara. Bagaimana tidak, tontonannya saja tidak mendidik begitu. Usia belia tontonannya rumah tangga. Ya, Allah. Benar-benar, zikir pagi dan sore itu sangat disarankan untuk menahan hal-hal seperti itu. Mudah-mudahan tidak berbahaya untuk kondisi hati dan janinku.

"Oh, iya, Ma. Bisa, tuh, kita kurangi satu atau dua ART di sini. Kan, ada dia yang lebih menguasai pekerjaan itu. Menghemat upah, Ma."

Aarrrgghhh! Boleh tidak, botol ini kupentung ke kepalanya? Lama-lama, kukerjai juga dia supaya mulutnya lebih beradab.
Aku paksakan tersenyum sambil melebarkan mata dengan sengaja. Lalu, kembali ke niat awalku untuk mengambil botol baru yang sudah penuh.

Aku kembali ke kamar dan melewati ruang keluarga lagi. Si bocah tengil semakin fokus pada dramanya sambil memakan camilan. Aku hanya mengangguk sopan dan menyapa mama mertuaku.

***

Sudah pukul sembilan malam, Mas Gio belum juga pulang. Ingin menghubunginya, tapi nyali menciut. Aah, aku tak mau tahu. Di sana sudah ada istri pertama yang dicintainya. Baiklah ... aku tidur saja.

Dalam tidur yang terjaga, aku mendengar suara kegaduhan. Entah dari mana, mataku terlalu berat untuk mencelik.

Kemudian dalam mimpi, aku melihat cahaya dalam kegelapan. Bayangan seseorang masuk dari arah pintu. Semakin lama, semakin mendekat, semakin membesar. Bayangan itu semakin jelas.

Mengandung Bayi BosTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang