Part 11. Oh, Pak Adit

137 2 0
                                    

Sampai beberapa hari kemudian, aku masih penasaran. Siapa pria yang ditemui Mbak Sari? Apa Mas Gio mengetahuinya?

Aku ingin menanyakan pada Mas Gio, apakah dia merokok atau tidak? Tidak, jangan sekarang. Huh, banyak sekali teka-teki yang dimainkan Mbak Sari.

Mulai dari wanita yang akan disingkirkan, rencana rahasianya, apa yang ada di dalam perutnya, dan terakhir pria yang ditemuinya.

Ya ampun, apa aku harus berperan sebagai detektif abal-abal. Conan ... bantulah aku menyelesaikan deduksi ini.

"Kenapa melamun?"

Aku terkesiap saat mendengar pertanyaan itu.

"Ah ... emm ... Pak Adit, selamat pagi." Aku menunduk malu.

"Pagi-pagi sudah melamun. Lihat lantai itu sampai tipis dari tadi di pel enggak pindah-pindah."

"Ooh ...." Aku terkekeh. "Ma-maaf, Pak."

"Sudah sarapan?"

"Sudah, Pak. Saya sudah sarapan."

"Baiklah. Saya tinggal, ya? Jangan melamun lagi, nanti kerasukan setan bawah tangga."

Deg

Degup jantungku seketika berlari kencang. Angin meniup bulu kudukku dan membuatku merinding.

Ya ampun, apa-apaan dia? Tidak lucu bercandanya.

Tapi otak ini masih memikirkan ucapannya. Aku langsung berlari cepat mencari tempat lain yang belum dibersihkan.

Ketika jam makan siang, Bu Hani mengajakku makan ke kantin. Aku menyetujuinya karena tadi pagi hanya sarapan sedikit. Itu pun keluar lagi karena rasa mual yang hebat.

Di meja panjang yang berbaris banyak makanan, ada sesuatu yang menarik seleraku. Siomay dan sosis bakar jumbo. Aku langsung mengambilnya tanpa berpikir panjang. Memandangnya saja sudah membuat air liurku mengalir.

Kamu mau ini ya, Nak? Jangan dimuntahin lagi, ya? Mama malu. Aku mengelus perutku diam-diam supaya yang lain tak ada yang menyadarinya. Karena setahu mereka, aku ini masih seorang gadis murni.

Aku duduk berseberangan dengan Bu Hani dan Lani--teman seprofesiku. Siang itu, aku makan dengan sangat lahap. Aku mengambil sepiring siomay dan tiga tusuk sosis bakar jumbo.

Di ujung sana, Mas Gio terlihat memasuki kantin. Ia mengambil sepiring makanan. Aku menutupi wajah dengan telapak tangan agar tak terlihat. Karena saat itu, Mas Gio sedang berdiri di sampingku membelakangiku.

Lalu, Mas Gio duduk sekitar tiga meja di depan mejaku. Dia makan sendiri. Kasihan sekali. Sementara, para karyawan lain yang lewat hanya menyapanya.

Ketika sedang memperhatikan Mas Gio, seseorang meletakkan nampan berisi makanan, lalu duduk di sampingku.

"Selamat makan, Pak?" sapa kami semua yang kepalang kaget. Apa dia biasa duduk membaur dengan karyawan lainnya?

Pak Adit mengangguk tersenyum. "Boleh saya duduk di sini?"

"Boleh, boleh. Silakan, Pak," sahut Lani. Aku tak bisa menjawab karena mulutku penuh sosis bakar. Jadi, aku hanya menanggapinya dengan senyuman manis.

Aku berniat memperhatikan Mas Gio lagi. Alangkah terkejutnya, malah dia yang sedang memperhatikanku. Dia menatap tajam, seolah garpu yang dipegangnya akan menusukku. Tatapannya membuatku terbatuk-batuk. Aku mencari minumanku. Aah .. aku lupa mengambilnya.

"Ini. Minum punya saya." Pak Adit menyorongkan segelas es jeruk.

Aku meminumnya setelah batukku reda. Tapi, minuman asam itu malah membuatku mual. Sudah dengan keras menahan, tapi rasanya sudah di ujung kerongkongan.

Mengandung Bayi BosTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang