HIRAETH (1)

1 0 0
                                    

~Sepertinya selama ini hatiku terlalu lancang sudah merindukan mu~

Anasya menyesap coffee latte yang ada di genggamannya, namun matanya menatap kosong jalanan Singapura di luar sana.

Sejak kejadian pertemuan dengan Adam tadi sore, laki-laki itu menyuruhnya menunggu di cafe dekat rumah sakit ini. Entah apa yang sedang Adam lakukan sekarang, karena setelah satu jam menunggu, laki-laki itu belum juga muncul.

Anasya mendengus, masih teringat dengan jelas bagaimana ekspresi terkejut sekaligus kecewa yang Adam perlihatkan ketika dia menyadari bahwa yang ada di depannya saat itu adalah Anasya, bukan Yasmi.

Apa kak Adam gak bisa pura-pura senang karena udah ketemu aku!?

Anasya kembali menyesap coffee latte-nya, hatinya benar-benar beku saat ini.

CRING

Pintu cafe kembali terbuka untuk kesekian kalinya. Anasya menoleh, kali ini, orang yang dinantikannya sejak tadi sedang berjalan menuju ke meja yang sedang ditempatinya.

Bahkan ketika sudah hancurpun, hati ini masih terlalu berani untuk mengharapkannya.

Andaikan laki-laki yang sedang berjalan menghampirinya itu bukan mantan tunangan kakaknya, apakah Anasya boleh berlari untuk memeluknya sekarang?

"Sorry lama ya?" Ucap Adam dengan nafas yang sedikit berderu, sepertinya dia habis berlari untuk bisa sampai ke cafe ini.

"Gak apa-apa kok kak," Anasya memaksakan senyumnya, "Oh iya, Asya belum pesen minuman buat kak Adam."

Adam menarik kursi di depan Anasya, "Gak usah, gak akan lama kok."

Anasya tersenyum getir, tidak akan lama ya?

"Oh iya, kok kamu bisa ada di Singapur?" tanya Adam.

"Asya lagi ikutan seminar di sini kak," mata Anasya tidak pernah lepas dari Adam. Memperhatikan setiap gerakan yang laki-laki itu buat.

"Sejak kapan?"

"Baru sampai kemarin kak."

"Sampai kapan?"

Anasya tersenyum, menyadari sejak tadi laki-laki ini tidak memandangnya, matanya sibuk melihat jam ditangannya, atau bahkan sibuk dengan handphone yang saat ini sedang ia mainkan, "Asya pulang 3 hari lagi, kak Adam."

Adam mendongak, menatap Anasya, "Kamu tidur dimana?"

"Hotel."

"Dengan?" bagus, kali ini matanya Adam masih setia untuk menatapnya.

"Sama teman."

Adam menganggukan kepalanya, handphone yang sedari tadi ia pegang, disimpan diatas meja begitu saja, "Jadi, kenapa tante Mawar dan om Gibran gak ngasih kabar kalau kamu bakal ke Singapur?"

Anasya mengangkat bahunya, ada dua kemungkinan, pertama karena memang mereka tidak berniat memberitahu, atau memang tidak pernah ada pembahasan mengenai Anasya saat orangtuanya dan Adam berbicara.

"Terus kenapa kamu bisa tahu kalau kak Adam kerja di sana?"

Anasya mengeluarkan kartu nama Adam pemberian ibunya itu, "Ibu ngasih ini sebelum Asya pergi."

Adam menaikan sebelah halisnya, namun tidak ada jawaban yang keluar dari mulutnya.

Mereka sibuk dengan pikiran masing-masing. Entah apa yang sedang Adam pikirkan, karena saat ini, lagi-lagi ia tidak menatap kearah Anasya.

LIMERENCETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang