"Kita punya rahasia yang nggak diketahui orang lain. Dan aku datang ke Bandung untuk itu. Aku nggak tahu kamu masih ingat atau enggak, yang pasti aku ingin menuntaskan itu sebelum kembali," Fadhiel memberi jeda, "kamu masih ingat sama janji kita, Ana?"
Deg! Jantungku tiba-tiba berdetak lebih kencang.
Nggak mungkin dia Daki. Daki yang kukenal berbeda dengan orang di depanku ini.
"Aku masih punya bukti kalau kamu tetap nggak yakin sama apa yang aku bilang," Fadhiel mengambil sesuatu di saku celananya, dia mengeluarkan dompet dan mengambil sebuah foto yang langsung diberikan padaku, "ini bukti yang kumaksud."
Napasku mulai nggak teratur dan tanganku terulur mengambil foto itu.
Astaga ... Dia benar-benar Daki. Nggak ada orang yang tahu janji itu kecuali aku, Daki, dan Nisa. Dan Nisa nggak mungkin membocorkan privasiku sama orang lain.
Aku menatap Fadhiel di sampingku, dan kembali melihat foto di tanganku. Di sana ada aku, Nisa, dan Daki di tengah-tengah kami, sore hari saat masih main di sawah ketika kecil.
Tiba-tiba mukaku terasa panas, dan seperti ada banyak kupu-kupu di dalam perutku. Jadi ... Fadhiel adalah Daki, siswa pindahan yang tampan di sekolahku sekaligus teman kecilku di desa? Wah ....
"Aku memaklumi kalau kamu nggak sadar waktu pertama kali lihat aku," Fadhiel terkekeh, "wajar karena waktu itu aku masih belum merawat diri, dan karena itu juga, kan, kamu ngejek aku dengan nama "daki"."
Aku terkekeh. "Maaf, Dak- eh, Fadhiel," ucapku malu-malu.
"Oh, ya, Na. Kudengar kamu sudah banyak buat gim di sekolah ini."
Aku refleks melotot.
"Kamu yang menang, Na," tambahnya, "aku sudah lama soalnya nggak buat gim lagi setelah kita pisah waktu itu."
Jantungku berdetak semakin kencang. Aku yang menang katanya? Entah kenapa, tapi sepertinya mukaku memerah. Itu berarti Daki akan tepati janjinya, kan? Astaga ... ngucap, Na. Ini yang sudah kutunggu dari lama. Astagfirullah.
Aku berdeham. Berusaha mengontrol ekspresiku biar nggak terlalu kelihatan kalau aku lagi senang. Dan lagi, Daki udah semakin tampan. Aish, sial. Jantungku benar-benar nggak bisa kukontrol. Sekarang aku yakin kalau Fadhiel itu Daki. Aku jadi menyesal karena kemarin-kemarin nggak suka sama sikapnya.
"Dak, tolong jelasin semuanya. Kenapa kamu tiba-tiba masuk sekolah di sini dan kapan kamu datang ke Bandung? Kenapa nggak ngasih kabar? Kalau bukan ke aku, setidaknya ke Nisa, gitu? Terus ... Kenapa kamu nggak bilang dari awal kalau kamu Daki?" tanyaku karena penasaran juga.
Daki tersenyum. "Sebenarnya aku ke Bandung, ya, karena ini, Na. Aku juga cuman sebentar di sekolah ini, berkat sahabat papaku, aku dibolehkan di sini untuk nyelesain urusanku. Itu pun aku memaksa karena kalau enggak, ya, di hatiku masih ada yang janggal."
"Apa?" tanyaku sambil menahan senyum.
"Ini tentang janji yang kita buat waktu kecil, dan hadiah untuk pemenang bagi siapa yang membuat banyak gim. Aku penasaran, kamu buat banyak gim karena perjaniian itu atau memang udah hobi dari kecil," Fadhiel terkekeh, "tapi semoga aja kamu ngelakuin itu karena udah hobi ya, Na. Dan semoga kamu nggak serius nanggepin janji kita waktu kecil itu. Intinya ... Aku nggak tenang dan nggak enak kalau nggak kasih kejelasan ke kamu, kalau janji yang kita buat waktu itu nggak beneran. Cuman bercandaan aja. Jadi sebaiknya dilupakan. Oh, ya, By the way, aku ke sini juga sebenarnya mau ketemu kamu sama Nisa sekalian mau ngasih undangan."
Jantungku mencelos.
Hah? A-apa maksudnya?
Bersambung ....
KAMU SEDANG MEMBACA
Thankyouuu, I love me
SpirituellesPertemuan singkat antara Ana dan Rahman kala itu ternyata membuka banyak pintu-pintu baru. Ana jadi suka Rahman. Tapi ... Apa Rahman si laki-laki alim itu juga akan begitu? Atau ... Haruskah Ana berhenti menyukai Rahman? Tapi, Ana bukan perempuan ya...