Aku menatap amplop di pangkuanku. Aku sedang mendengarkan penjelasan Bu Guru tanpa memperhatikan. Sebelum Bu Febhy masuk tadi, wali kelasku mampir sebentar sekadar memberitahu kalau Daki sudah keluar sekolah. Enggak ada alasan apapun yang diberitahu Bu Guru setelahnya. Membuat teman-teman sekelas berasumsi seenaknya. Padahal itu jelas nggak bagus karena mengatakan sesuatu tanpa tahu kebenarannya. Dan orang yang dibicarakan tentu dirugikan karena nama baiknya tercemar.
Aku menarik bibir. Ternyata sabtu kemarin adalah hari terakhir aku bertemu dengannya. Lagipula, kenapa Daki nggak memberitahu dulu? Setidaknya harus ada salam perpisahan sebagai teman kecil atau sekadar hadiah sebagai kenang-kenangan dariku.
Aku menghela napas panjang. Kutaruh amplop itu ke dalam tasku lalu kembali memperhatikan penjelasan Bu Guru.
***
"Kamu tahu, Na?"
Aku menggeleng sambil terus memakan nasi gorengku. Perasaanku mengatakan kalau maksud dari pertanyaan Nisa adalah tentang Daki.
"Hah ... Kalau aja Daki bilang, pasti, kan, kita akan kasih hadiah sebagai kenang-kenangan. Ya, nggak, Na?"
"Iya ...."
"By the way, kamu tahu tempat tinggal Daki sekarang, nggak?"
"Enggak tahu. Tapi kayaknya di undangan yang dia kasih ada, tuh, alamatnya."
"Itu, kan, di gedung, Na. Maksud aku tempat dia tidur, mandi, makan, dan sebagainya."
Aku menggeleng. Kumakan suapan terakhirku lalu meminum es teh di depanku.
"Eh, eh, di sana kenapa ramai?"
Aku menatap Nisa di depanku, lalu menoleh ke belakangku di mana Nisa menunjuk.
Tak berselang lama, Adit tiba-tiba muncul di depanku. "Ana! Aril mau nembak Kak Dewi!" seru Adit.
Aku melongo. "Hah? Untuk gim?"
Adit mengangguk. "Buruan! Yang lain udah di sana nunggu," ujar Adit dan berlalu pergi.
Aku kembali melihat Nisa. "Nis, aku ke sana dulu, ya," kataku tanpa mengajaknya, karena tahu Nisa anti sama hal kayak beginian.
Nisa mengerutkan keningnya.
"Sebentar aja, kok," kataku dan berlalu pergi menyusul yang lainnya.
Tiba di sana, Aril ternyata sudah berdiri menghadap Kak Dewi. Dia lalu senyum menatap semua orang yang berkumpul.
Cowok hitam manis itu kemudian mengambil sesuatu di kantong celananya. Dua buah bunga mawar putih, lalu beberapa cowok mulai menerobos masuk sambil memetik gitar dan memainkan sebuah lagu. Aku nggak tahu itu lagu apa. Tapi setelahnya, Aril mulai menyodorkan bunga mawarnya dan berkata, "Will you marry me, Kak Dewi?"
Hah?
Aku melongo dengan mulut terbuka. Apa-apaan si Keamanan Kelas itu? Udah gila ya, dia?"
Bersambung ....
KAMU SEDANG MEMBACA
Thankyouuu, I love me
SpiritualPertemuan singkat antara Ana dan Rahman kala itu ternyata membuka banyak pintu-pintu baru. Ana jadi suka Rahman. Tapi ... Apa Rahman si laki-laki alim itu juga akan begitu? Atau ... Haruskah Ana berhenti menyukai Rahman? Tapi, Ana bukan perempuan ya...