Semakin Almira mendekati Yusuf, maka lelaki itu akan semakin menjauh darinya. Hal itu membuat Almira geram, sehingga tidak dapat lagi mengontrol emosinya.
"Iya, aku semalam minum alkohol, tetapi itu semua karena kamu, Mas. Akhir-akhir ini kamu sibuk dengan urusanmu sendiri. Jangankan untuk menyentuh, tidur seranjang berdua saja tidak kamu lakukan. Mas lupa, ya, memiliki istri? Atau jangan-jangan ...."
Yusuf mengernyit. Tingkah wanita di depannya itu membuat dia semakin pening. "Jangan-jangan apa?"
"Jangan-jangan, Mas itu punya simpanan wanita lain, dan sedang merencanakan pernikahan dengannya, ya?"
Yusuf bergidik ngeri. Memiliki dua istri saja hampir membuatnya gila, apalagi kalau sampai nambah satu lagi. Tak terbayang setiap hari akan ada saja keributan yang terjadi di rumah tangganya.
"Kenapa diam, Mas? Jangan-jangan benar, ya? Hwaa, Mas Yusuf tega. Dua istri saja tidak bisa adil, apalagi kalau sampai nambah. Aku tidak setuju, titik!"
"Memangnya siapa yang mau menikah lagi, hah? Andai saja tahu dari awal, kalau rumus poligami itu lebih sulit daripada rumus fisika, aku tidak akan menikahimu."
"Mas Farrel menyesal menikahiku? Mengapa secepat ini kamu berubah, Mas? Semua ini gara-gara Shafira, seharusnya wanita itu tak menuntut keadilan terlebih dulu. Seharusnya kita masih menikmati masa-masa berbulan madu, Mas."
"Seharusnya kamu menyadari satu hal, kalau aku tidak suka dengan wanita pembantah! Aku juga tidak suka wanita yang sering keluar malam, apalagi dengan memakai pakaian yang kekurangan bahan seperti itu."
"Aku ...."
"Lihat Shafira! Dia tidak pernah sekalipun mengecewakanku. Justru, dia menjadi sosok bidadari tak bersayap yang selalu ada untukku."
Mendengar itu, hati Almira memanas. Ia tidak terima kalau dirinya dibanding-bandingkan dengan Shafira. Walau bagaimanapun, ia lebih unggul segalanya daripada Shafira.
"Jangan pernah banding-bandingkan aku dengan wanita itu, paham?"
Yusuf terkekeh. "Kenapa? Apakah kamu takut kalah bersaing dengannya. Asal kamu tahu, Al. Selama menikah denganku, tak pernah sekalipun Shafira pergi ke tempat-tempat yang kamu kunjungi itu."
"Aku tidak suka Mas terus-menerus memuji Mbak Shafira."
"Memang dia wanita yang sosok dipuji kok. Salihah, baik, dan patut ditiru oleh setiap wanita di dunia."
"Kalau dia sesempurna itu di matamu, lalu kenapa kamu memutuskan untuk berpoligami?"
"Karena aku ingin memiliki anak! Untuk sementara berhentilah mengikutiku. Aku sedang ingin sendiri."
"Mas, mengapa sikapmu dingin sekali padamu, dan sepertinha kamu sedang ingin menjauh dariku? Kurang menarik apa tubuhku di matamu? Bukankah aku masih segar dan juga seksi?"
Yusuf menggaruk tengkuknya yang tidak gatal, wanita itu terus-menerus mengintrogasinya, sehingga membuat Yusuf merasa kurang nyaman.
Pintu diketuk oleh seseorang, Shafira masuk dengan membawa segelas susu dan roti panggang.
"Makan dulu, Al!" ucap Shafira seraya duduk di tepi ranjang.
"Jangan sok baik, Mbak. Makanan itu pasti sudah Mbak racun."
"Astagfirullah, kenapa pikiranmu seperti itu, Almira! Seharusnya kamu berterima kasih pada Shafira, karena dia sudah peduli padamu. Dia juga yang sudah menolongmu tadi malam," ucap Yusuf greget.
Almira mendelik tak suka. Hati wanita itu benar-benar terbakar api cemburu. Sedari tadi Yusuf terus-menerus memuji Shafira. Lelaki itu sama sekali tidak memikirkan perasaannya.
"Keluar dari kamarku, Mbak!" usir Almira.
Shafira bergeming. Tak percaya kalau dirinya akan diusir langsung dari kamar madunya.
"Aku juga akan ke luar! Ada pekerjaam yang harus kuselesaikan," ucap Yusuf.
"Tidak! Mas di sini saja!"
"Kalau begitu biarkan Shafira juga di sini."
Almira merengut, persis seperti anak kecil berumur lima tahun yang meminta balon pada ibunya.
"Ya, sudah. Kalian berdua keluar!"
Yusuf dan Shafira langsung memutuskan untuk keluar dari kamar Almira. Pada saat Shafira akan masuk ke kamarnya. Dengan gesit Yusuf menarik pergelangan tangan wanita itu.
"Umi!"
"Ada apa, Bi?" tanya Shafira.
"Abi mau meminta maaf, karena sudah menikah dengan wanita ...."
"Tidak perlu meminta maaf padaku, Bi. Tidak ada yang perlu dimaafkan juga. Semua sudah garis takdir dari Sang Kuasa. Tak perlu juga untuk disesali. Semua sudah kehendak-Nya. Tugas Abi sekarang hanya satu, membimbing istri-istri Abi supaya menjadi istri salihah yang dirindukan Surga."
"Abi akan menceraikannya!" ucap Yusuf.
"Apakah Abi yakin akan menceraikannya? Apa alasannya?"
"Apakah harus ada alasannya?"
"Ketika seorang wanita menggugat suaminya atau seorang suami men-talak istrinya, itu harus ada alasan yang jelas untuk memperkuat kasusnya."
"Kalau tidak ada, bagaimana?"
"Kasus kalian tidak akan berakhir di meja hijau, melainkan di meja makan," ucap Shafira seraya tersenyum singkat.
Shafira langsung masuk ke kamarnya. Begitu pun dengan Yusuf, lelaki itu menguntit di belakang Shafira, lalu merebahkan tubuhnya di kasur.
"Aku lelah! Biarkan malam ini, aku beristirahat di kamarmu, Umi."
"Sebaiknya jangan, Bi! Tidak enak dengan Almira yang sedari tadi memintamu untuk tidur di kamarnya. Tidurlah di kamar Abi."
Tiba-tiba Yusuf menarik Shafira ke pelukannya. Sejenak, mata mereka beradu. Ada rindu yang membara di hati keduanya.
"Umi, cantik!" goda Yusuf. Lelaki itu berhasil membuat wajah Shafira merona.
Bersambung ....
