Hati yang Retak

945 36 3
                                    

"Umi, bolehkah Abi menikah lagi?"

Sejenak wanita berjilbab lebar itu bergeming, lalu berbalik menghadap suaminya. "Dulu Abi menolak keras, saat Umi menyuruh Abi untuk poligami. Mengapa sekarang berubah pikiran?"

Lelaki itu menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. Mencoba mencari alasan yang tepat untuk meyakinkan hati istrinya.

"Hm ... Abi merindukan suara anak-anak di rumah ini. Apakah Abi salah? Semua keputusan Abi kembalikan kepada Umi."

Wanita itu berpikir sejenak. Hampir lima belas tahun pernikahan, tak kunjung juga dikarunia anak. Berbagai pengobatan dan program hamil sudah ia coba, tetapi hasilnya tetap nihil.

Dulu ia pernah meminta sang suami untuk menikahi sahabatnya yang kebetulan ditinggal mati oleh suaminya. Hanya saja, suaminya menolak mentah-mentah dengan alasan ia bahagia, sekalipun tanpa seorang anak.

"Apakah Umi setuju?"

Wanita pemilik nama lengkap Shafira Nailil Humnah itu menatap lembut suaminya. "Insyaallah, Umi setuju dengan apa pun keputusan Abi. Maaf, ya, Umi belum bisa memberikan keturunan untuk Abi."

Lelaki itu mengangguk, lalu mengecup singkat puncak kepala sang istri. "Terima kasih, Umi. Insyaallah rumah ini nanti akan ramai dengan suara anak-anak. Kita akan membesarkannya bersama-sama."

"Biar Umi yang mencarikan calonnya, ya, Bi!"

Lelaki pemilik lengkap Yusuf Ammar Abqari menggeleng singkat. "Tidak perlu, Mi! Abi sudah menemukan wanita yang tepat. Insyaallah, salihah seperti Umi."

"Siapa, Bi? Apakah Umi mengenalnya?"

"Umi tidak mengenalnya, tetapi Abi pernah menceritakan sosok wanita itu pada Umi."

"Siapa, Bi?"

"Almira. Masih ingat, kan? Wanita yang dulu pernah dekat dengan Abi. Kebetulan dia janda dengan satu anak. Bagaimana menurut Umi?"

"Umi percayakan semua ke Abi, ya. Semoga menjadi istri salihah buat Abi. Amin."

Setelah mengatakan itu, Shafira pamit pada suaminya untuk beristirahat di kamar. Sementara sang suami langsung menghubungi Almira untuk memberi tahu kabar bahagia itu.

Shafira bersandar di balik pintu. Butir bening mengalir di kedua sudut matanya. Entah mengapa hatinya terasa perih saat mendengar permintaan sang suami untuk menikah lagi. Padahal dulu, ia sendiri pernah meminta sang suami untuk menikahi sahabatnya sendiri, tetapi rasanya tak sesakit saat ini.

Shafira terkulai lemas di lantai. Masih jelas dalam ingatan, sosok Almira yang sempat diceritakan Yusuf padanya. Tampak jelas ada kekaguman yang mendalam di hati lelakinya itu.

"Dia tak hanya cantik fisik, tetapi juga cantik hati. Lelaki mana pun yang dekat dengannya, pasti akan langsung jatuh hati."

"Abi, suka padanya?"

Yusuf terkekeh. "Sebagai lelaki normal, tentu saja Abi jatuh hati padanya. Hanya saja, ketika Abi akan mengutarakan cinta, Almira sudah dijodohkan dengan lelaki lain."

Entah apa yang kini dirasakan Shafira. Luka dan kecewa membuncah hebat menjadi satu yang berhasil mengiris kalbu, bahkan meretakkan hatinya. Bukan tentang permintaan poligami yang membuatnya kecewa, melainkan alasan suaminya menikah lagi bukan hanya karena anak, melainkan juga cinta masa lalunya yang sempat tertunda.

Shafira menghapus air mata yang mengalir di pipi.Tak ingin bila nanti Yusuf menemukannya tengah menangis. Bagaimanapun di hadapan sang suami, Shafira tak pernah ingin menunjukkan sisi terapuhnya.

***

Acara pernikahan pun berjalan dengan khidmat. Senyum terpancar indah dari kedua pengantin yang tengah berbahagia itu.

Tamu undangan silih berganti bersalaman untuk mengucap selamat. Semua yang hadir turut berbahagia atas pernikahan Yusuf dan Almira.

Setelah ijab kabul selesai, Shafira langsung masuk ke kamar. Air mata yang sedari tadi ditahan, akhirnya tumpah juga. Selama ini dia selalu belajar menyiapkan hati untuk ikhlas, apabila suaminya memutuskan untuk menikah lagi, tetapi pada kenyataannya begitu sulit hatinya menerima sosok wanita lain yang akan hadir di tengah-tengah kebahagiaannya.

Kini, bukan hanya dirinya yang berhak memiliki hati Yusuf, melainkan ada wanita lain yang juga sama-sama memiliki hak untuk memiliki hati lelaki itu.

Shafira tak henti-hentinya berselawat. Mencoba menenangkan hati dan pikirannya yang tengah diselimuti rasa cemburu. Ia harus ikhlas, mulai saat ini cinta suaminya akan terbagi.

Malam harinya, wanita itu menyiapkan malam malam untuk suami dan istri barunya. Jika biasanya sang suami akan bermanja dan menggoda dirinya, malam ini sikapnya dingin seakan-akan tak peduli. Yusuf lebih fokus menggoda Almira dengan kata-kata romantisnya.

Tak ada yang bisa dilakukan Shafira, selain menenangkan hati dan pikirannya sendiri. Mencoba memaklumi, mereka pengantin baru, jadi wajar saja terlihat romantis dan lengket seperti prangko.

"Mas, Almira, makan malamnya sudah siap," ucap Shafira seraya menyembunyikan matanya yang mulai berkaca.

Sejujurnya, ada rasa cemburu yang membuncah hebat dalam diri. Apalagi saat Yusuf memperlihatkan sikapnya yang lain daru biasanya.

Shafira berniat untuk mengambilkan nasi dan lauk untuk Yusuf. Namun, Almira lebih dulu memberikan piringnya pada lelaki itu. Shafira hanya bisa diam dan mengalah, lalu memakan nasi itu untuk dirinya sendiri.

"Sayang, aku mau disuapi!" ucap Almira manja.

Dengan wajah ceria, Yusuf mulai menyuapi istri barunya itu. Sementara Shafira layaknya penonton yang menyaksikan kemesraan sang suami bersama madunya.

"Mas juga harus makan yang banyak. Biar nanti pas malam pertama ...."

Yusuf melirik ke arah Shafira. Takut, bila Shafira tersinggung atau cemburu dengan perkataan Almira. Dia menghela napas lega, saat wanita itu terlihat biasa saja dan tengah fokus dengan makan malamnya.

"Umi, makan yang banyak juga, biar tidak gampang sakit."

Shafira mengangguk, lalu melempar senyum singkat. "Habiskan makan malam kalian. Aku istirahat dulu, ya."

"Kenapa tidak dihabiskan, Mi?"

"Tidak apa! Perut Umi sudah kenyang."

Setelah mengatakan itu Shafira langsung melangkah ke kamar. Hatinya belum bisa menerima kehadiran wanita lain dalam rumah tangganya. Ia juga belum siap untuk berbagi suami dengan wanita lain.

"Ya, Rabb. Kuatkanlah hati hamba untuk melewati semua. Biarkan hati ini ikhlas untuk berbagi suami dengan wanita lain, dan jadikan Mas Yusuf menjadi sosok suami yang bisa adil terhadap kedua istrinya. Amin."

Sebelum tidur, Shafira mengambil wudu dan salat sunah dua rakaat. Saat ini hanya doa yang bisa menyembuhkan semua rasa sakitnya di hati. Mungkin sudah saatnya dia mulai fokus menata hatinya sendiri untuk menjadi muslimah yang lebih baik.

Ikhlas itu memang satu kata yang mudah diucapkan, tetapi sulit untuk dipraktikkan. Shafira menghela napas perlahan, berbagi suami ternyata tak semudah yang ia pikirkan selama ini.

"Kamu pasti kuat, Shafira! Allah selalu ada untukmu. Apa lagi yang harus kamu takutkan? Selama hatimu bersama Allah, insyaallah semua akan baik-baik saja."

Bersambung ....

Satu Atap Dua CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang