Pahitnya madu

516 35 2
                                    

Shafira baru saja selesai memasak. Ia merasa bersalah, karena tadi pagi tidak menyiapkan sarapan untuk suaminya. Ia lebih mengutamakan ego, sehingga mengabaikan tugasnya sebagai seorang istri.

Semua makanan kesukaan Yusuf sudah terhidang di meja. Wanita itu tersenyum, dan berjanji akan meminta maaf pada suaminya saat pulang nanti.

"Istri yang baik! Sayangnya, sebentar lagi Mas Yusuf akan menjadi milikku seutuhnya. Aku tidak ingin membaginya denganmu," ucap Almira.

Shafira mengabaikan perkataan Almira, lalu melangkah menaiki tangga. Baginya tak ada guna berdebat dengan madunya itu, hanya membuang-buang waktu dan tenaganya saja.

"Siap-siap saja nanti ditendang dari rumah ini," ucap Almira kembali.

Shafira berhenti sejenak, lalu melirik pada madunya. "Mas Yusuf tak akan pernah berani mengusirku dari rumah ini."

"Hha ... kita lihat saja nanti!"

Shafira menggeleng singkat, lalu melanjutkan kembali langkahnya menuju lantai atas. Wanita itu tak mengerti dengan apa yang ada di pikiran Almira. Ambisinya begitu tinggi untuk memiliki Yusuf seutuhnya.

Andai saja dari awal Shafira tahu, kalau madunya akan seperti ini, mungkin ia tidak akan mengizinkan Yusuf untuk menikah lagi. Namun, semua sudah telanjur. Nasi yang sudah menjadi bubur tidak akan bisa kembali lagi menjadi nasi.

Tersimpul senyum di bibir Shafira, saat melihar mobil Yusuf berhenti tepat di depan rumah. Sejenak, wanita itu bercermin, memastikan kalau hiasan make-up di wajahnya tidak luntur, lalu dengan setengah berlari Shafira menuruni tangga untuk menyambut kepulangan suaminya.

Sesampainya di lantai bawah, langkah Shafira terhenti. Ternyata Almira sudah terlebih dulu menyambut kedatangan Yusuf. Wanita itu tengah bergelayut manja di lengan lelaki itu.

Tatapan mereka beradu. Ada rindu yang mendalam di antara keduanya. Shafira mencium tangan sang suami dengan takzim. Mencoba menyembunyikan rasa cemburu yang membuncah hebat dalam diri.

Setelah itu, Shafira memutuskan untuk kembali ke kamar. Ia menaiki satu persatu tangga dengan hati yang dipenuhi kegundahan. Wanita itu tidak sanggup bila harus terus-menerus melihat kemesraan yang diperlihatkan oleh madunya itu.

"Umi ...."

"Umi ke kamar dulu, Bi!"

"Biarkan saja Mbak Shafira sendiri dulu, Mas. Ayo kita makan dulu, aku sudah memasak banyak makanan kesukaanmu hari ini."

Shafira menghentikan langkahnya, saat mendengar kebohongan yang dilakukan oleh Almira pada Yusuf. Ia tidak habis pikir, mengapa Almira rela melakukan berbagai cara hanya untuk mencuri perhatian dari lelaki itu.

Padahal banyak hal yang bisa Almira lakukan untuk menarik perhatian Yusuf. Tak harus dengan mengakui masakan orang lain sebagai masakannya sendiri.

"Mengapa rasanya begitu menyesakkan, ya? Aku yang memasak, tetapi kenapa harus dia yang mengakui kalau itu masakannya. Apakah dia lupa kalau berbohong itu dosa? Apalagi membohongi suami sendiri."

Sesampainya di kamar, Shafira langsung menumpahkan segala kekesalan yang ada di hati. Wanita itu tak dapat lagi menahan rasa cemburu yang sedari tadi menguasai hati.

"Mas, andai saja kamu tahu akan rasa ini. Andai saja kamu tidak memutuskan untuk berpoligami, mungkin sakitnya tidak akan sedalam ini. Selama ini aku tidak pernah melarang untuk kamu poligami, tetapi kenapa harus dengan wanita seperti itu? Mengapa tidak mencari wanita yang benar-benar salih di mata agama?"

Shafira kembali mengingat bagaimana mesranya Almira pada Yusuf. Hal yang sering ia lakukan dulu saat menyambut kepulangan Yusuf dari kantor. Namun, kini hal itu sudah jarang ia lakukan, bahkan mungkin tidak pernah sama sekali dilakukan, semenjak kehadiran Almira dalam kehidupan rumah tangganya.

****

Yusuf mengetuk kamar Shafira. Merasa lama tak ada jawaban, lelaki itu langsung masuk ke kamar istrinya untuk memastikan kalau Shafira baik-baik saja.

Tubuh wanita itu bergetar hebat. Tampaknya Shafira belum berhenti menangis. Ternyata rasa cintanya begitu besar, sehingga sulit untuk Shafira mengendalikan cemburunya.

"Hei, kenapa Umi menangis? Apakah karena persoalan yang kemarin? Abi minta maaf, ya, sudah salah paham dan menuduh Umi bermain hati dengan lelaki lain. Mungkin karena rasa cinta Abi terlalu besar pada Umi, sehingga cemburu buta seperti itu."

Shafira tidak menjawab. Wanita itu terus terisak tanpa henti. Entah mengapa rasa sesaknya tak kunjung hilang, semakin lama malah semakin menjadi.

Yusuf menarik tubuh Shafira ke pelukannya. Lelaki itu mencoba untuk menenangkan Shafira. "Abi sebenarnya semalam ingin menemui Umi untuk meminta maaf langsung atas kesalahpahaman yang kemarin. Kebetulan di depan kamar berpapasan dengan Almira, dan ia tidak mengizinkan Abi menemui Umi. Maaf, ya, selalu membuat kecewa Umi."

Shafira masih tak bicara. Tampaknya wanita itu masih enggan untuk berkata-kata.

"Umi, bicaralah! Biar Abi tidak terlalu merasa bersalah. Seharian ini juga Umi tidak memasak. Umi mau mengabaikan kewajiban seorang istri hanya karena Abi telah berbuat kesalahan? Untung saja ada Almira yang memasakkan makanan kesukaan Abi."

Hati Shafira semakin terluka, saat Yusuf berkata seperti itu. Diam itu memang emas, tetapi bila caranya seperti ini, diam yang akan menghancurkannya. Mungkin nanti, tak hanya hatinya yang hancur, tetapi juga rumah tangganya yang akan berada di ambang kehancuran.

"Umi kecewa Sama Abi. Ternyata lima belas tahun pernikahan tidak membuat Abi benar-benar bisa mengenal Umi. Seharusnya Abi tahu, kalau Umi bukan tipe wanita yang mudah membagi hati. Seharusnya Abi juga bisa membedakan mana masakan yang dimasak Umi dan mana masakan yang dimasak orang lain."

"Maksud Umi?"

"Abi selidiki sendiri saja akan kebenarannya. Umi tak ingin menjelek-jelekkan orang lain di depan Abi. Lagi pula, kalaupun Umi mengatakan yang sebenarnya, Abi tidak akan pernah percaya."

"Katakanlah! Ada apa sebenarnya?"

"Abi kepala rumah tangga di sini, seharusnya Abi yang mencari tahu semua kebenarannya. Biar kelihatan dengan mata kepala Abi sendiri, mana yang tulus dan mana yang bertopeng. Satu lagi, Bi. Saat kita menikah, Abi belum seperti sekarang ini. Masih ingat, kan? Kita mengontrak di sebuah rumah kecil hanya beralaskan tikar saja. Jika suatu saat, ada yang menghasut Abi untuk mengusir Umi. Ingatlah tentang hal itu. Siapa yang menemani berjuang dari nol?

Bersambung ....

Yuk baca di youtube. Di sana sudah part 27.

Akun youtube : Irma Nurhidayati Stories.🤗

Satu Atap Dua CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang